42. PERCAKAPAN DI SENDANG

14.7K 2.4K 130
                                    

"Baru Anda satu-satunya yang mengajukan hal itu pada Nyai Suratih, Bendara Ayu Kirana," ucap Bendara Ayu Diyana dengan senyuman terpukaunya. Kirana membalas perkataan Bendara Ayu Diyana dengan senyuman tipisnya.

Bendara Ayu Diyana adalah perwujudan asli putri kahyangan dengan kulitnya yang cerah dan mulus, senyumannya yang manis, matanya yang kecil dan hangat. Kirana menduga, Sang Hyang Karsa sedang jatuh cinta ketika menciptakan wanita di depannya. Diyana sangat berbanding terbalik dengan Kirana. Wanita itu begitu lemah lembut, gemulai dan setiap tutur katanya penuh kasih. Diyana naif dan tatapannya selalu berkilat-kilat penuh semangat. Wanita itu menginginkan kisah cinta sejati, tetapi sayangnya Prabu Aditya bahkan tidak pernah mau melirik ke arahnya sedikit pun. Diyana selalu mengatakan ia iri pada Kirana, tetapi wanita itu tidak tahu jika Kirana jauh lebih iri pada Diyana. Kirana iri pada kenaifan dan semangat wanita itu.

"Di hari tumbuk-nya, saya hanya ingin memberikan Prabu Aditya pertunjukan yang menyenangkan hatinya," jawab Kirana lembut sembari menyentuh air sendang permandian keputren itu.

"Kehadiranmu saja sudah cukup membuat Kangmas bahagia, Bendara Ayu Kirana," jawab Diyana dengan senyuman lebarnya, sembari berenang mendekati Kirana.

Hari itu, Kirana memutuskan mandi lebih awal dan ia tak sengaja bertemu Bendara Ayu Diyana yang juga ikut membersihkan diri jauh lebih awal dari wanita lain. Dari situlah, percakapan hangat mengalir dan Bendara Ayu Diyana tampak sangat mengagumi Kirana, bukan hanya karena kecantikannya yang unik, tetapi juga mengagumi rumor keberanian Kirana dalam membunuh bandit dan berbagai rumor lain -di balik rumor jeleknya tentu saja.

"Panggil, Kirana saja," sergah Kirana pelan, membuat senyuman polos Diyana semakin lebar.

"Baiklah," jawabnya ringan. "Apa yang akan kamu tampilkan untuk Prabu Aditya, Kirana?"

"Sebuah tarian," jawab Kirana pelan. "Tarian yang cukup populer di desa saya dulu. Mereka menyebutnya Ronggeng Segara."

"Menarik," seru Diyana dengan matanya yang berbinar. "Saya tidak sabar."

"Biasanya dalam hari istimewa Prabu Aditya, siapa saja yang akan datang?" tanya Kirana perlahan.

"Banyak." Diyana membasuh rambut panjangnya dengan senyuman cantiknya, sebelum melanjutkan kembali perkataannya. "Sasuhunan, para tumenggung, adipati dan juga beberapa bupati. Namun, karena ini 'tumbuk', sepertinya acara akan jauh lebih besar dari yang biasanya. Bahkan kemarin dengar-dengar, Nyai Suratih mengundang penari dari negeri Timur sebagai hadiahnya untuk Prabu Aditya."

Kirana mengangguk dengan wajah terpukaunya. Nyai Suratih memang tidak perlu diragukan lagi. Dedikasinya pada Prabu Aditya adalah sesuatu yang begitu tulus, murni dan dilandasi dari hati. Terkadang, Kirana berpikir Nyai Suratih adalah wanita paling bodoh yang ia temui. Untuk apa mencintai seseorang yang bahkan tidak mau meliriknya sedikit pun. Kenaifan Nyai Suratih mengingatkannya pada dirinya yang dulu. Ketulusan berdalih cinta. Sudah berapa orang termakan ilusi cinta itu sendiri?

"Apa rasanya? Sakit?" tanya Putri Diyana lagi dengan nada pelannya.

"Sakit?" balas Kirana tidak mengerti.

"Bermalam dengan Prabu Aditya," tambah Putri Diyana membuat Kirana tertawa pelan. Rasa penasaran wanita itu sepertinya masih belum terobati juga. "Saya hanya takut jika suatu hari saya di posisi itu," tambah Putri Diyana lagi dengan pipinya yang memerah.

"Awalnya sakit, tetapi setelahnya baik-baik saja. Prabu Aditya memperlakukan saya dengan baik," balas Kirana lembut. Umur Kirana jauh lebih muda dari Putri Diyana, tetapi pengalaman Kirana yang banyak membuatnya terlihat jauh lebih dewasa.

"Sebenarnya..." Putri Diyana berucap lagi, membuat Kirana menatap wanita itu lamat-lamat. Pipi wanita itu kian memerah bahkan hingga ke telinganya. Semburat merah itu begitu kontras dengan warna kulitnya yang cerah. 

PUSAKA CANDRA✔️Where stories live. Discover now