33. PENDIRIAN

18.9K 2.9K 130
                                    

"Saya tidak menyesal, Bendara Ayu," ucap Ni Manika perlahan, membuat Kirana mengerutkan keningnya tidak senang mendengar hal itu. Tatapannya yang awalnya terpaku pada pantulan diri di cermin kini berlabuh pada Ni Manika.

"Mengkhianati saya bukan penyesalan, Ni?" balas Kirana tajam dengan nafasnya yang memburu. Hal itu membuat Ranti panik setengah mati, padahal Ni Manika tetap tenang di tempatnya. Kirana mencengkeram sisir kayunya dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

"Untuk pengkhianatan yang saya lakukan, maafkan saya, Bendara Ayu. Namun, jika waktu bisa kembali diputar, saya akan tetap melakukannya," balas Ni Manika lagi dengan nada dan gerak-geriknya yang begitu tenang, membuat Kirana mendengus tidak percaya.

Kali ini, Kirana marah. Amarahnya cukup besar, tetapi ia tidak menampar Ni Manika atau pun membentak wanita paruh baya itu. Kirana bukan lagi gadis pasar yang kasar dan tak bertata krama. Ia kini mulai bisa lebih mengontrol dirinya sendiri dan berjanji tidak akan lagi bertingkah gegabah, sebab apa yang diperbuatnya hari ini bisa berdampak pada masa depannya. Selain itu, Ni Manika, tetaplah orang yang Kirana sayangi dan percayai, meskipun wanita paruh baya itu telah mengkhianatinya.

"Kenapa?" tanya Kirana pelan, menyisakan keheningan tegang dalam ruangan itu.

Ni Manika perlahan mengangkat pandangannya hingga tatapan keduanya bertemu. Tidak ada rasa bersalah atau pun tatapan menantang di mata wanita paruh baya itu. Ni Manika malah menatapnya dengan tenang dan penuh kasih keibuan membuat dada Kirana panas. Sungguh, Kirana lebih berharap Ni Manika bersikap kurang ajar daripada memberikannya tatapan seperti itu.

"Adipati Bisma bukanlah pria yang terbaik untuk Anda, Bendara Ayu. Cinta Anda terlalu besar pada pria itu membuat Anda lupa bahwa Anda pantas mendapatkan lebih," balas Ni Manika perlahan yang disambut dengan anggukan dari Ranti.

"Seperti Prabu Aditya?" tanya Kirana sembari menaikkan sebelah alisnya, menguji Ni Manika.

"Benar, Bendara Ayu," balas Ni Manika mantap. "Dia mengimbangi Anda dalam setiap hal."

"Apa yang membuat Ni Manika merasa berhak memutuskan apa yang pantas untuk Kirana atau tidak?" tanya Kirana dengan nada tajamnya. Ia menyipitkan matanya, menilai gerak-gerik Ni Manika dalam keheningan.

Ranti sendiri gemetar ketakutan di sebelah Ni Manika, menyadari nona mereka yang liar, bebas dan senang bercanda itu kini telah berubah. Ranti menoleh menatap Ni Manika dan menyadari wanita yang tenang itu kini tampak gentar di tempatnya ketika melihat perubahan sikap Kirana. 

Ni Manika memutuskan kontak matanya sembari menundukkan kepalanya, seolah menyatakan kekalahannya. Ni Manika melatih Kirana untuk ini. Ia tahu gadis itu ditakdirkan menjadi sesuatu yang besar, bukan hanya sebagai pemuas nafsu adipati tinggi. Namun, Ni Manika tidak mempersiapkan dirinya untuk sisi Kirana yang tajam. Wanita paruh baya itu menyadari ia masih belum siap kehilangan Kirana-nya yang liar dan berjiwa bebas.

"Maafkan saya, Bendara Ayu..." gumam Ni Manika perlahan.

"Saya bukan lagi gadis pantai itu, Ni. Saya bukan lagi Kirana yang rela dipukuli betisnya dengan lidi oleh siapa pun, bahkan oleh Nyai Suratih sendiri," gumam Kirana, menekankan setiap kata demi katanya pada Ni Manika. "Saya, Bendara Ayu Kirana dan saya tahu apa yang terbaik untuk saya. Saya tahu apa yang tidak boleh saya lakukan dan saya tahu apa yang saya inginkan."

Kirana perlahan berdiri dari kursi riasnya, membuat Ranti buru-buru menundukkan kepalanya dengan perasaan takut luar biasa. Nona mereka menjadi sesuatu yang tidak ia kenali. "Tidak ada satu pun orang di dunia ini yang boleh mengatur saya. Tidak, Ni Manika, tidak Nyai Suratih dan tidak Prabu Aditya. Mengerti?" ucap Kirana lagi sembari mengepalkan tangannya erat.

PUSAKA CANDRA✔️Where stories live. Discover now