64. TUMBANG

12.3K 2.4K 297
                                    

Kirana menatap kue basah dan berbagai hadiah lain yang diantarkan ke kediamannya dengan tatapan datarnya. Hadiah itu berasal dari Nyai Suratih yang tampak sangat menyesali perbuatannya. Kirana mendengus tidak percaya, kemudian meminta Ranti untuk mengembalikan semua bingkisan itu pada sang pengirim. Sudah empat hari berlalu dan hadiah itu selalu hadir di kediamannya. Kirana akan selalu mengirimkannya kembali tanpa memberi pesan apa pun, membuat Nyai Suratih semakin geram, sebab Kirana semakin kurang ajar padanya.

Tepat pada hari kelima, Nyai Suratih yang membawa hadiah itu sendiri pada Kirana. Kali ini, tidak hanya manisan dan makanan saja, melainkan juga berbagai perhiasan yang indah. Kirana turun dari tangga kediamannya dengan tatapan datarnya pada Nyai Suratih yang sudah menunggunya. Kirana mengatupkan tangannya dan memberi salam pada sang garwa padmi.

Nyai Suratih mengetatkan gerahamnya ketika melihat wajah arogan Kirana. Keinginannya untuk menampar wanita itu harus ia tahan sebaik mungkin, sebelum reputasinya semakin buruk di keraton itu. Nyai Suratih meraih tangan Kirana dan menggenggamnya dengan lembut.

"Maafkan saya, Kirana. Apa yang saya lakukan saat itu sangatlah tidak patut," gumam Suratih lagi dengan senyuman dewasanya. "Saat itu, saya hanya terbawa emosi, sebab saya tidak pernah mendapat perlakuan kurang ajar seperti itu."

"Maafkan saya, Nyai," ucap Kirana dengan wajah prihatinnya. Kirana balas menggenggam tangan Nyai Suratih dengan erat. "Saya tidak tahu jika memberikan konde kesayangan Prabu Aditya melukai hati Anda. Mungkin saya harus lebih peka di masa yang akan datang."

"Jika kamu menyesal, Kirana, mengapa kamu terus menolak hadiah dari saya?" gumam Nyai lagi dengan wajah terpukulnya.

"Kirana meminta maaf bukan berarti Kirana menyesal," balas Kirana, membuat Nyai Suratih kembali diliputi amarah. Suratih adalah wanita yang sabar, tetapi ketika menghadapi Kirana, yang ia inginkan hanyalah menampar wanita itu karena sudah berlaku tanpa tata krama. Ia tak sengaja meremas tangan Kirana, membuat Kirana mengaduh pelan dan menarik perhatian abdi dalem di situ.

"Sakit, Nyai," ucap Kirana dengan wajah paniknya sambil menarik tangannya kembali, membuat Nyai Suratih kembali gelisah dan berusaha menjelaskan dirinya.

"Permintaan maaf ini tulus adanya, Kirana," ucap Nyai lagi sambil menganggukkan kepalanya pada abdi dalemnya. "Tolong terimalah hadiah ini dan jangan menolaknya lagi."

Kirana mengangguk pada abdi dalemnya dan Ni Manika serta Ranti memahami maksud bendara ayu mereka. Kedua abdi dalem Kirana menerima hadiah itu kemudian membungkuk, sebagai salam hormat mereka. Kirana menatap manisan buah yang berjajar dalam kotak kaca itu dengan tatapan tertariknya. Manisan buah itu tampak menggiurkan dan tentulah ini bukanlah makanan dari kadipaten Surabaya. Kirana menduganya berasal dari negeri lain.

"Izinkan Kirana mencobanya, Nyai. Ini tampak sangat menggiurkan," gumam Kirana dengan senyuman lembutnya, yang ditanggapi anggukan dari Nyai Suratih. Ni Manika membuka kotak kaca itu dan Kirana meraih manisan buah mangga dan mencicipinya. Ia tersenyum puas ketika rasa manis itu menjalari lidahnya. "Anda ingin mencobanya, Nyai?"

Nyai Suratih menggeleng. "Senang jika kamu menyukainya, Kirana."

Kirana tersenyum sembari kembali mencoba manisan buah itu lagi dengan perasaan puasnya. "Anda memang peka, Nyai. Sejak kemarin saya memang menginginkan sesuatu yang manis," ucap Kirana, dengan sengaja mengusap perutnya, membuat Nyai Suratih mengerutkan keningnya.

Kecemburuan mulai melingkupi Nyai Suratih, sebab Kirana tampaknya mengalami gejala kehamilan lagi. Namun, dalam situasi seperti ini, tidak banyak yang bisa ia lakukan. "Jika kamu menyukainya, Kirana, saya bisa kembali ke kediaman saya dengan tenang," ucap Nyai Suratih dengan suaranya yang gemetar.

PUSAKA CANDRA✔️Where stories live. Discover now