2. KEHIDUPAN BARU

25.8K 4.1K 227
                                    

"Hei, sedang apa di situ? Ayo cepat, sebelum terlambat!"

Teriakan itu membuat Kirana terlonjak kaget dari kegiatannya yang berusaha menyembunyikan bekas luka di lehernya. Ia langsung melompat masuk ke dalam kereta kuda tersebut, bersama pekerja serabutan lain yang memang bertugas mengantar bahan segar ke keratonan. Bekas luka itu memang sudah mengering, tetapi tetap meninggalkan jejak mengerikan di kulitnya. Sialan, kini ia tidak bisa ke mana-mana tanpa kain yang menutupi lehernya.

Kereta kuda itu mulai melaju menembus rimbunnya hutan menuju ke kota pusat. Cikar itu melaju dengan dikawal beberapa abdi dalem yang berasal dari kekeratonan Pasoeroean sendiri, mengingat para bandit kini tidak hanya beraksi saat malam saja, melainkan juga ketika matahari berada di atas langit. Perjalanan menuju kota pusat bukanlah perjalanan yang panjang, hanya membutuhkan 2 jam jika tidak hujan. Namun, jika hujan turun, maka akan membutuhkan waktu yang lebih lama, karena tanah yang becek.

Kota pusat jauh lebih ramai dari desa nelayannya. Orang yang berkeliaran pun lebih beragam dan akhir-akhir ini, Kirana sering melihat mereka yang bertubuh jakung, berkulit cerah kemerahan dengan hidung yang bengkok, berpakaian sedikit tak biasa berkeliaran di kota pusat. Ah ya... londo... lintah darat yang senang memeras rakyat kecil sepertinya.

Kereta itu berhenti tepat di depan gerbang kayu tinggi. Sang kepala cikar menunjukkan medali izinnya pada penjaga, lalu pintu itu perlahan-lahan terbuka, menampilkan taman hijau yang begitu menawan dengan beragam bunga bermekaran. Kereta itu terus melaju hingga ke belakang kekeratonan, berhenti tepat di depan bangsal yang digunakan sebagai penyimpanan bahan segar. Kirana pun turun dari keretanya, kemudian membantu membongkar bahan segar tersebut untuk dimasukkan ke dalam bangsal. Ia mulai melancarkan tipuannya dengan mengatakan jika ia ingin buang air pada kepala cikar.

"Selalu saja! Merepotkan! Cepat sana, kalau kamu terlambat sedikit saja akan saya tinggal," ancam kepala cikar membuat Kirana tersenyum penuh minta maaf, lalu bergegas menjauh dari situ. Tak jauh dari bangsal itu adalah tempat untuk menjemur pakaian dan juga peralatan makan keluarga keraton. Di sanalah, tempat Kirana biasa mencuri dari kekeratonan. Tempat yang sepi dan letaknya yang dekat dengan sungai permandian kerabat dan putri keraton membuat tempat itu jarang dikunjungi, memberikan kesempatan emas bagi Kirana.

Sungguh mencuri dari kekeratonan adalah hal yang paling mudah -lebih mudah dari mencuri di pasar. Seolah itu belum cukup, apa yang ia curi juga merupakan barang-barang yang mewah dan jika dijual lagi, Kirana bisa membiayai makannya selama dua minggu penuh. Pakaian kerabat keraton bukanlah pakaian biasa. Kainnya begitu halus, terkadang juga berbulu dan adem ketika dipakai. Kirana tidak pernah merasakan yang seperti ini, mengingat seumur hidupnya ia memakai pakaian dari kapas kering yang ditenun menjadi kain.

Ketika dirasanya sudah aman, Kirana menyelundupkan barang-barang itu ke dalam tas kain yang ia bawa. Biasanya, untuk menghindari pemeriksaan di akhir, Kirana akan meletakkan barang curiannya di bawah kursi kayu yang ia duduki. Ia berjalan menjauh dari tempat itu dengan langkah yang pasti dan wajah yang netral. Tak jauh dari sana, matanya menangkap segerombolan abdi dalem yang berjalan ke arahnya. Tak ada kecurigaan, mengingat abdi dalem memang terkadang menghampiri tempat itu. Namun, anehnya, abdi dalem itu berjalan lurus ke arahnya membuat jantung Kirana mulai berdegup tidak karuan.

Firasat buruknya menjadi kenyataan. Kumpulan abdi dalem itu berhenti tepat di depannya. Seorang pria paruh baya menatapnya serius, lalu mengangguk pada abdi dalem estri di belakannya. Kepanikan mulai menjalari diri Kirana.

"Saya tersesat. Bisa tunjukkan..." Belum sempat Kirana menyelesaikan perkataannya, abdi dalem estri itu mulai mendekatinya dan berniat untuk menangkap tangannya. Kirana mundur dengan wajahnya yang penuh teror.

"Apa yang saya lakukan?" tanya Kirana dengan wajahnya penuh dengan ketakutan.

"Saya adalah wedana ngalebet* di sini dan diperintahkan untuk mempersiapkan Bendara," ucap pria paruh baya itu dengan sopan. "Saya mohon kerela..."

PUSAKA CANDRA✔️Where stories live. Discover now