23. PERMINTAAN

16K 2.8K 238
                                    

Kirana menggigit kukunya dengan perasaan gusar. Sudah lebih dari dua minggu sejak Kirana menggoda Aditya di sendang. Kirana sengaja melakukan itu agar Aditya semakin penasaran padanya dan lebih sering mengunjungi kediamannya. Namun, sepertinya ia melakukan kesalahan fatal. Pria itu malah tidak mengunjunginya sama sekali dan setiap kali mereka berpapasan, Aditya akan menatapnya beberapa detik, sebelum memalingkan wajahnya ke arah lain. Pria itu seolah menjaga jarak darinya. Apa pria itu marah? Kirana sadar apa yang ia lakukan keterlaluan, mengingat Aditya sudah lebih dari siap untuk bermalam dengannya, tetapi malah ditolak mentah-mentah.

"Apa Ni sudah mengantarkan kue basah pada kediaman Prabu Aditya?" tanya Kirana gusar sembari menggerakkan kakinya tidak tenang.

"Sudah, Bendara Ayu," jawab Ni Manika lembut.

"Kenapa belum ada balasan? Pria itu juga tida kunjung datang ke sini. Apa semarah itu Prabu Aditya hingga ia tidak mau lagi melihat wajah saya?" tanya Kirana, dengan tangannya yang seolah ingin mencekik leher pria itu. Kirana marah, karena pria itu mengabaikannya seperti ini. Tidak, Prabu Aditya yang ia kenal adalah pria yang akan melakukan apa saja untuk Kirana. Pria itu tidak akan meninggalkannya tanpa balasan dan gelisah seperti orang gila. Siapa dia pikir dirinya hingga berani melakukan ini pada Kirana? Kirana-lah yang memegang kendali. Kirana-lah yang diinginkan Aditya, maka pria itu sendiri yang harus datang padanya. Apa pria itu sudah memiliki wanita baru? Atau jangan-jangan...

"Bendara Ayu," sela Ni Manika, membuat Kirana terdiam. Ia menoleh dengan tatapan tajamnya pada Ni Manika, membuat wanita paruh baya itu tersenyum, lalu tertawa kecil. Kirana mengerutkan keningnya tidak paham, lalu barulah ia menyadari isi pikirannya tida sengaja ia ucapkan.

"M-maksud saya... wajar bukan? Prabu Aditya menginginkan saya dan seharusnya..." gumam Kirana, lalu menyadari Ni Manika kembali tertawa kecil bersama Ranti. "S-saya tidak cemburu atau apa pun itu."

"Jika Anda segusar itu, Bendara Ayu, mengapa Anda tidak mengunjungi Prabu Aditya secara langsung?" tanya Ni Manika lagi dengan nadanya yang lembut.

"Pria itu bahkan tidak mau melihat wajah saya... tidak... lebih tepatnya saya tidak akan mengunjungi pria itu. Tidak akan pernah," gumam Kirana, mempertahankan egonya yang setinggi langit. "Jika Prabu Aditya menginginkan saya, maka pria itu yang harus datang pada saya."

"Lalu, bagaimana dengan informasi yang ingin Anda ambil dari Prabu Aditya, Bendara Ayu?" tanya Ranti lagi.

Karena pria sakti itu merajuk seperti anak kecil pada Kirana, membuatnya kesulitan untuk mengorek informasi. Terpaksa, Kirana mengoreknya hanya dari Nyai Suratih yang untungnya sangat terbuka padanya. Informasi yang diberikan Nyai Suratih sebenarnya masih informasi dangkal. Kirana bisa mendapatkan lebih jika Prabu Aditya yang menceritakannya langsung. Hanya, sekali lagi, egonya terlalu tinggi untuk itu.

Dan entah apa yang diadukan oleh Prabu Aditya hingga Nyai Suratih terus memanggil Kirana setiap sorenya ke bangsal bersantai keputren dan mengajarinya hal-hal yang berkaitan dengan hubungan ranjang. Kirana biasanya hanya akan mendengar, memaksakan senyuman dengan pikirannya yang berkelana liar, termasuk bagaimana caranya menarik Prabu Aditya ke kediamannya tanpa harus meminta atau memohon.

"Saya baru mendapatkan titipan surat dari Adipati Bisma, Bendara Ayu," ucap Ni Manika sembari mengeluarkan surat dari balik kembennya. Ia memberikannya pada Kirana dengan tata kramanya yang sempurna. Kirana buru-buru berlutut di depan Ni Manika, meraih lapisan kertas kulit yang masih tergulung itu, kemudian menarik lepas segelnya. Kali ini, segel lilin itu kembali berwarna campuran; merah dan biru. Segel lilin itu sering berganti warna; awal-awal Kirana mendapatkan surat itu, segelnya berwarna merah, lalu berubah menjadi biru dan terkadang campuran keduanya.

Surat itu berasal dari Bisma. Kirana masih sedikit terbata dalam memahami tulisan itu, sebab ia masih kurang lancar dalam membaca huruf. Namun, ia masih menangkap garis besar surat itu. Bisma mengatakan bahwa ia membutuhkan informasi lebih banyak lagi mengenai rencana Prabu Aditya. Pria itu juga mengatakan bahwa tiga hari lagi, ia akan mengunjungi Kadipaten Surabaya dan meminta Kirana untuk bertemu dengannya di tempat mereka biasa bertemu. Dan di akhir, sang adipati mengatakan bahwa ia mempersiapkan sesuatu yang istimewa untuk Kirana.

Kirana mendongak, menatap Ni Manika dan Ranti yang saling bertatapan satu dengan yang lain. "Sesuatu yang istimewa?" tanyanya dengan mata berbinar.

"Anda... akan menyelinap lagi besok?" tanya Ranti perlahan.

Kirana mengangguk bersemangat dengan matanya yang berbinar. Raut wajah khawatir mulai terlihat di wajah kedua abdi dalemnya itu. Kirana mengerutkan keningnya tidak mengerti, mengapa mereka memberikannya raut wajah itu. "Sebenarnya... akhir-akhir ini, rumor beredar di keraton jika Bendara Ayu menyelinap keluar untuk bertemu seorang kekasih."

"Itu hanya rumor," dengus Kirana mengejek.

"Rumor memiliki peranan penting, Bendara Ayu, untuk memperbaiki atau pun merusak citra diri. Mungkin Anda tidak akan merasakan konsekuensinya saat ini, tetapi rumor bisa menjadi sandungan besar nantinya, Bendara Ayu," jelas Ni Manika dengan nada khawatirnya.

"Saya akan menjaga diri dengan baik, Ni," gumam Kirana berusaha menenangkan Ni Manika. "Jangan khawatir."

****

"Tidurlah dengan Prabu Aditya, Kirana."

Ucapan itu membuat Kirana mendongak dengan tatapan tidak percayanya. Bisma menatap Kirana dengan kesungguhan hatinya. Pria itu mendekati Kirana, menggenggam tangannya dengan erat dan menatap gadis itu dengan tatapan memohonnya.

"Kangmas..." gumam Kirana gemetar.

"Kirana... saya tidak memaksa kamu," ucap Bisma lagi sembari meraih Kirana masuk ke dalam pelukannya. "Prabu Aditya tidak membeberkan banyak hal, sebab ia belum melewati malam bersamamu. Percayalah, setiap pria yang melewati malam bersama wanita, akan menceritakan banyak hal pada wanita itu."

"Apa perlu sampai sejauh ini?" tanya Kirana, tidak memahami apa yang ia rasakan sekarang. Ada kemarahan yang muncul di sana, tetapi yang paling menguasai dadanya adalah kekecewaan. Kirana mendorong dada Bisma, menolak pria itu.

"Kirana... saya tidak memaksa kamu," gumam Bisma lagi sembari meraih pundak Kirana dan menggenggamnya dengan erat. Ia menunduk sembari menyatukan kening keduanya, berusaha menunjukkan kesungguhan hatinya. "... tetapi hanya itulah cara tercepat agar kita bisa mendapatkan kembali keraton kita, Kirana."

"Apa... apa Kangmas pernah mencintai Kirana?" tanya Kirana dengan nadanya yang diliputi kekecewaan luar biasa dan matanya yang berair. Bisma menyadari ia telah meminta hal yang menyakiti hati Kirana. Karena itu, ia langsung membawa wanita itu masuk ke dalam pelukannya. Bisma mencium pelipis Kirana sembari mengusap punggung gadis itu dengan lembut. Kirana menitikkan air matanya, merasakan hatinya sakit mendengar permintaan semacam itu keluar dari bibir pujaan hatinya.

"Kirana dengar... maafkan, Kangmas," gumam Bisma akhirnya, sembari menenggelamkan wajahnya di lekuk leher Kirana. "Jika kamu tidak menginginkannya, maka kamu tidak perlu melakukannya."

"Mengapa Kangmas meminta hal semacam itu?" Permintaan maaf Bisma tidak membuat kekecewaan itu pergi dari Kirana, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk tetap memaafkan pria itu. Dalam pikiran Kirana saat itu hanyalah, selama pria itu tidak memaksanya dan bahkan sampai meminta maaf, itu sudah lebih dari cukup.

"Kamu tidak merindukan keraton kita, Kirana? Kamu tidak rindu tidur bersama Kangmas?" tanya Bisma perlahan sembari menjauhkan wajahnya dari lekuk leher Kirana hingga kini nafas mereka beradu lembut. Kirana menatap kedua manik mata Bisma. Pria itu menatapnya dengan tatapan yang begitu lembut, penuh kasih dan hangat, membuat Kirana merasa dicintai lebih dari apa pun di dumia ini.

"Tetapi tidak dengan membiarkan Prabu Aditya meniduri Kirana, Kangmas," balas Kirana lagi dengan air matanya yang menitik. Bisma langsung menghapus air mata Kirana dengan lembut sembari mencium ujung hidung gadis kesayangannya itu.

"Kita akan cari jalan keluarnya bersama, Kirana. Maafkan Kangmas," bisik Bisma sembari tersenyum hangat. Kirana nenatap Bisma dalam keheningan, sebelum senyuman tipis kembali muncul di wajahnya. Ia mengangguk pelan, mempercayai perkataan pria itu.

"Apa pun yang terjadi, jangan tinggalkan Kangmas, Kirana," gumam Bisma sembari kembali memeluk Kirana dengan erat. "Kamu adalah satu-satunya dunia Kangmas."

TBC...

Selamat menikmatii

PUSAKA CANDRA✔️Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu