21. SENDANG

17.4K 3.2K 245
                                    

Mengandung adegan dewasa yang ringan

***

Kirana hampir ambruk ketika ia sampai di depan pintu kamarnya sendiri. Ni Manika dan Ranti refleks memekik dan menghampiri nona mereka. Tanpa Kirana sadari, ia sudah menghilang dari siang sampai malam dan hal itu menggemparkan seisi keraton. Nyai Suratih -lah yang tampak begitu gelisah bahkan sampai mengerahkan seluruh abdi dalem untuk mencari Kirana. Di sisi lain, Prabu Aditya tetap tenang, meskipun ia juga memerintahkan prajuritnya melacak keberadaan Kirana.

Ranti tidak berhentinya menangis sejak kehilangan Kirana. Ni Manika sendiri baru menangis ketika matahari mulai terbenam, sebab ia tidak bisa lagi meredam pikiran negatifnya. Kirana tiba-tiba saja muncul di depan gerbang alun-alun utara keraton di malam hari, membuat abdi dalem langsung bergegas menghampirinya termasuk Ni Manika dan Ranti. Ia diantar ke kediamannya sendiri. Kirana tampak lemas dengan sanggulan rambutnya yang beberapa terurai dan pakaiannya yang cukup kotor.

"Prabu Aditya menunggu Anda di dalam, Bendara Ayu," ucap Ni Manika, sebagai isyarat tak langsung bahwa mereka tidak bisa menemani Kirana di dalam.

Kirana hanya mengangguk pelan, kemudian membuka pintu kamarnya dan melangkah masuk. Matanya langsung bertemu dengan Prabu Aditya yang tengah duduk di sisi ranjang kelambunya. Posisi duduk pria itu menghadap langsung Kirana, membuat kontak mata tersebut tidak bisa terhindari.

"Kamu terlihat kacau, Kirana," gumam Prabu Aditya datar. Dari nadanya yang tidak bersahabat, Kirana menyadari, pria itu sedang tidak dalam suasana hati yang baik. "Dari mana saja? Apa seseorang menyakiti kamu?"

"Menyelinap," jawab Kirana singkat, padat dan jelas sembari memaksakan senyum tipis. "Acara itu sangat membosankan."

"Sampai malam?" tanya Prabu Aditya dengan nada tidak senangnya. Pria itu memicingkan matanya, menatap Kirana tajam. Kirana hanya tersenyum, menanggapi pertanyaan Prabu Aditya. Ia berjalan ke arah meja rias dan mengurai sanggulan di rambutnya.

"Kamu bukan lagi seorang gadis pantai, Kirana, tetapi kamu adalah garwa saya, putri keraton. Bersikaplah dengan baik," gumam Prabu Aditya dengan nadanya yang tenang, tetapi menusuk.

"Saya tahu," jawab Kirana perlahan.

"Dari mana, Kirana?" geram Aditya sambil mengepalkan tangannya kuat.

"Jalan-jalan. Tidak boleh?" jawab Kirana santai, sembari menaikkan sebelah alisnya merendahkan Aditya. "Saya ingin mandi. Jika tidak ada lagi yang ingin dikatakan, silahkan pergi."

"Siapa kamu berhak mengusir saya?" tanya Prabu Aditya perlahan sembari bangkit dari ranjangnya, membuat bulu kuduk Kirana berdiri. Tidak pernah sekali pun, pria itu berlaku sekeras ini sebelumnya. Namun, Kirana menyadari itu adalah kesalahannya, karena sudah menguji kesabaran pria itu.

"Lalu?" tanya Kirana sembari menaikkan sebelah alisnya. "Kamu mau ikut mandi bersama saya?"

"Kamu kira saya akan menolaknya?" tanya Aditya sembari menaikkan dagu Kirana ke arahnya.

"Kamu bisa menolak saya?" tanya Kirana dengan senyuman miringnya, membuat Aditya menggeram pelan. Kirana melepaskan kebayanya hingga meninggalkan jarik dan kembennya. Gerakan sensual itu tak lepas dari pandangan Aditya. Wangi melati yang menguar dari tubuh Kirana membuat pikirannya kembali liar.

Ketika Aditya memejamkan matanya, meresapi wangi wanita itu, Kirana mengalungkan lengannya di leher pria itu. Dengan sengaja, ia menekan tubuhnya di tubuh tegap Aditya, membuat geraman itu terdengar semakin jelas. Tubuh Kirana yang feminin dan lembut membuat Aditya tidak bisa berpikir. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah membawa Kirana ke ranjang dan menandai apa yang seharusnya menjadi miliknya.

PUSAKA CANDRA✔️Where stories live. Discover now