30. PERSIAPAN

23.9K 3.3K 147
                                    

Kirana merasakan pelukan di tubuhnya perlahan melonggar, sebelum kecupan lembut berlabuh di pundak dan pipinya. Ranjangnya melesak dan semuanya kembali hening. Wangi cendana yang memenuhi ranjang Kirana perlahan memudar. Kirana sadar jika Aditya sudah kembali ke kediamannya sendiri di pagi buta, seperti yang biasa pria itu lakukan. Namun, Kirana terlalu lelah untuk menahan Aditya atau pun mengantar pria itu pergi. Jadilah, ia kembali terlelap dalam tidurnya yang menyenangkan.

Kirana sepenuhnya bangun ketika sinar matahari mulai berada di langit, yang mana itu termasuk siang untuk kerabat keraton. Ia perlahan beranjak duduk dari tidurnya sembari mencerna apa yang baru saja terjadi. Kirana menatap telapak tangannya, dadanya yang terbuka dan rambutnya yang terurai feminin. Rambut gelombangnya tidak beraturan pagi itu, membuat Kirana buru-buru merapikannya seadanya dengan jemarinya. Ia sedikit jengkel dengan Aditya yang senang meninggalkan jejak di tubuhnya. Jika ada yang mengatakan Aditya seorang macan, mungkin Kirana akan langsung mempercayainya.

Kirana menggeser selimut yang ia pakai dan menyadari ada bercak darah di sana. Mengapa kemarin malam, ia tidak melihat bercak ini? Pipi Kirana langsung merah padam dan ia mulai panik ketika melihat warna itu. Ia mencoba untuk menggosok dan menggaruk bercak darah itu, berharap tidak akan terlihat oleh Ni Manika atau pun Ranti.

"Sudah bangun?"

Ucapan itu membuat Kirana menoleh kaget ke arah kelambu ranjangnya. Kelambu itu menerawang, tetapi cukup menutupi apa yang terjadi di dalam ranjang. Setidaknya ada lima bayangan wanita yang berdiri tak jauh dari sisi ranjangnya. Kirana mulai panik, sekaligus gugup. Ini sangat memalukan. Orang lain mengetahuinya melewati malam panas dengan Prabu Aditya adalah hal paling memalukan bagi Kirana. Kirana dengan segera mengipas udara di sekitarnya, berusaha menghapus jejak wangi pria itu. Terlebih, ia sangat sungkan pada Nyai Suratih yang kini menunggu balasannya.

"S-saya baik-baik saja, hanya sedikit demam semalam, jadi terlam-"

"Sakit?" tanya Nyai Suratih, memotong kebohongan Kirana yang sia-sia itu. Nyai Suratih tentu sudah mendengar informasi ini dari Prabu Aditya. Tidak... pakaian Kirana di lantai sudah cukup membuktikan semuanya.

"T-tidak, Nyai. S-saya baik-baik saja. Saya bisa menangani ini," balas Kirana cepat sembari mengintip sedikit di balik celah kelambu itu.

Hembusan nafas lembut terdengar dari Nyai Suratih. Wanita itu mengangguk pada abdi dalemnya, juga pada abdi dalem Kirana sebagai isyarat untuk undur diri. Ketika terdengar pintu menutup, Nyai Suratih mendekati Kirana perlahan, menyibak kelambu ranjang itu. Tidak ada ekspresi kaget atau pun ekspresi aneh di wajah Nyai Suratih ketika melihat Kirana pagi itu. Wanita itu malah mengikat kelambu ranjang dengan tenang, lalu duduk di sisi Kirana. Kirana buru-buru menarik selimut, menutupi tubuhnya.

Nyai Suratih menatap Kirana dengan tatapan tenangnya, membuat Kirana semakin kikuk di tempatnya. Wanita itu mengusap bekas di leher Kirana, membuat Kirana berjengit pelan. "Kamu... baik-baik saja?" tanya Nyai Suratih perlahan. Kirana mengangguk pelan.

"Apa Prabu Aditya menyakiti kamu?" tanya Nyai Suratih lagi, membuat pipi Kirana memanas.

"Di awal," ucap Kirana sembari menundukkan kepalanya malu. 

Di awal, percintaan antara dirinya dan Prabu Aditya terasa seperti neraka. Rasanya cukup sakit dan tidak nyaman, tetapi Kirana harus menahannya untuk harga dirinya. Namun, semakin lama perasaan itu berubah menjadi sesuatu yang panas, intim, hangat dan menyenangkan. Aditya menyentuhnya dengan lembut, menggodanya dengan sensual dan menjadikannya bunga yang mekar sepenuhnya. Percintaan kemarin cukup lama dan selesai ketika larut malam, tetapi Kirana tidak merasakan sakit  dan malah sangat menyukainya. Barulah ketika pagi, tubuhnya terasa seperti ingin patah, termasuk pinggang dan pahanya.

PUSAKA CANDRA✔️Where stories live. Discover now