XXV part 2

3.7K 527 157
                                    

"Mark, Chanmin seperti ini karenamu."

Kosong. Kepala pria Lee itu terasa kosong saat mendengar ucapan mantan istrinya. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Suara melengking terdengar ditinganya. Sebuah suara ziiing yang mengosongkan kepalanya. Ia berdenyut nyeri!

Mark tidak akan bertanya apa yang ia lakukan sampai membuat putra sulungnya seperti itu. Tidak perlu diingatkan, ia sudah paham. Ulahnya memang tidak termaafkan.

Haechan juga mengakui kesalahannya. Ia terlalu sibuk mempersiapkan kepindahan mereka, sampai-sampai kurang perhatian pada Chanmin dan Chanmi. Haechan bilang, putra sulungnya akhir-akhir ini berubah. Ia sampai menerima panggilan dari Bae Joo Hyun, istri dari Kim Joon Myeon—salah satu kerabat partner bisnisnya. Wanita Bae itu kebetulan menjadi guru konseling, sekaligus wali kelas Chanmin. Ia bilang, Chanmin akhir-akhir ini sering bertengkar dan melamun. Ia tidak lagi bersikap ceria seperti biasanya. Chanmin mudah marah, bahkan sering keluar-masuk ruang konseling akhir-akhir ini.

Bukan satu, dua, atau tiga kali. Ini sudah ketujuh kalinya dalam 9 hari. Konsentrasi anak itu menurun, bahkan nyaris seperti kehilangan semangat belajar. Ia hanya termenung, menyendiri, jarang bermain dengan teman-temannya.

Meskipun Chanmin tidak dapat dikatakan sebagai anak yang memiliki banyak teman. Ia hanya terlihat sangat akrab dengan Lee Do Hyun, salah seorang anak yatim-piatu yang sekelas dengannya. Selebihnya, Chanmin hanya sekedar mengenal dan berbicara akrab, namun tidak begitu dekat.

"Nanti siang saya akan ke sekolah Chanmin."

Suara Haechan menyentak lamunan Mark. Pria itu menoleh dengan wajah kosong. Entahlah, satu-satunya yang terpikir dikepala Mark adalah mengikuti Haechan. Ia ingin bertemu dengan wali kelas putranya, dan mendengar sendiri penjelasan keadaan putranya di sekolah.

"Aku boleh ikut?" Tanya Mark. Haechan menggeleng pelan.

"Maaf, aku masih belum nyaman jika berpergian denganmu." Balasnya. "Taeyong hyung bilang, ia akan menemaniku."

Mark tertunduk dalam. Dalam hati tertawa getir. Sebagai orang tua Chanmin, ia tidak ada gunanya sama sekali, ya?

"Lalu Chanmin?"

"Aku berencana membawa Chanmin ke dokter bila panasnya masih belum mendingan. Nanti Jaehyun hyung akan menjemput dan mengantar kami ke dokter terlebih dahulu. Taeyong hyung sudah menyiapkan salah satu anak buahnya untuk..."

"Biar aku saja, Haechan." Potong Mark cepat. Diraihnya kedua tangan Haechan dan menggenggamnya erat. Matanya menatap lekat manik cokelat Haechan yang bergetar. "Izinkan aku yang melakukan itu semua. Izinkan aku bersikap layaknya seorang ayah untuk Chanmin."

Lee Haechan balas menatap manik cokelat muda Mark. Ia meragu, jujur saja. Ia takut jika Chanmin kembali histeris. Kemarin saja putra sulung mereka menangis histeris saking takutnya bertemu dengan ayah. Namun, mata cokelat itu berisikan kesungguhan.

Haechan tidak tega! Mark tidak pernah seputus asa itu kala meminta. Manik mata Mark berisikan sorot penyesalan, kesungguhan, dan putus asa. Batinnya kembali bergejolak, haruskah ia memberi kesempatan pada ayah?

**

Chanmin ditempatkan di kamar paling mahal di rumah sakit ini. Kamarnya besar, diperuntukkan untuk satu orang,  dengan fasilitas tv dan sofa besar untuk penjenguk. Terdapat kamar mandi dalam. Ada pelembab udara, juga ac yang disetel sedang.

Mark yang memilihkan kamar ini. Haechan awalnya menolak, rasanya terlalu berlebihan. Namun, Mark, ayah Lee Chanmin, menolak. Bersikeras mengatakan jika putranya layak mendapatkan fasilitas nomor Satu. Ia tidak peduli soal kocek yang harus ia rogoh, yang terpenting Chanmin merasa nyaman dengan ruangan rawat inapnya.

AyahWhere stories live. Discover now