XXI

5.1K 663 103
                                    

"Lee Chanmi, yang kita miliki selama ini hanya bunda. Hanya bunda yang ada untuk kita. Kakak mohon dengarkan kakak kali ini saja. Alasan kenapa kita tidak memiliki ayah lagi adalah karena Minji. Karena bundanya. Ayah memiliki bunda yang lain. Ayah menyakiti bunda dan kita karena bunda yang lain."

Aku tidak tahu bagaimana kalimat seperti itu bisa terucap dari bibir kecil putra sulungku. Aku tidak bisa berpikir jernih. Semua seperti menyerangku dalam satu serangan.

Aku hanya bisa terdiam. Tubuhku seolah membeku, tidak dapat digerakkan. Bibirku terkatup rapat. Sudut hatiku terasa nyeri. Aku baru saja hendak menghampiri Chanmin dan Chanmi saat sesuatu yang gaduh terdengar diluar sana. Keningku berkerut, wajahku sempurna pias saat Chanmin dan Chanmi tengah berpelukan erat sambil mengurai air mata.

Mataku mengedar, menatap sosok pria yang sejak beberapa hari lalu begitu dirindukan oleh kedua putriku berdiri disana. Sama piasnya, kepalanya tertunduk dalam. Aku dapat melihat pundak yang dulunya kokoh itu beberapa kali bergetar saat menatap Chanmi dan Chanmin yang menangis.

"Aku benci ayah." Gadis kecilku berlari. Matanya terbelalak begitu mendapati kehadiranku. Tubuhnya ia hamburkan padaku, memeluk kakiku erat-erat.

Kedua mata kami saling bersitatap. Mark menatapku dengan sendu, sedang aku menatap matanya datar. Entahlah, aku juga bingung harus bereaksi bagaimana pada pria Lee yang bodohnya membuat kedua anakku menangis lagi.


Hatiku miris. Terlebih pada Chanmin, anak itu tidak biasanya menangis sampai seperti ini. Seperti mengeluarkan semua yang disimpannya selama ini.


Namun anggap saja aku bodoh disini.  Disisi lain, aku juga tidak tega melihat Mark terus saja mengalami penolakan seperti ini. Aku melempar tatap dengan mata berkaca-kaca bergantian. Pada Mark, juga pada dua anak yang memelukku erat.

"Haechan, aku.."

"Apa anda bisa meninggalkan kediamanku untuk saat ini, tuan Lee?" Potongku cepat. Entahlah, aku harap keputusanku saat ini benar. "Biarkan aku menenangkan Chanmi dan Chanmin terlebih dahulu. Nanti kita bisa bicara kembali saat semuanya lebih tenang."

**

Lee Chammin mungkin masih terlalu kecil untuk memahami kondisi keluarganya. Namun, lingkungan sekitar membuatnya harus berpikir lebih luas dan dewasa dari usia aslinya.

Bocah 10 tahun itu melangkahkan kakinya tergesa. Paman Jisung kebetulan menjemputnya dari sekolah. Pria Park itu membawa Lee Chanmin dengan terburu ke rumah sakit. Katanya, salah satu adiknya terluka dan membutuhkan pertolongan medis  di rumah sakit.

Lee Chanmin cemas. Adik kesayangannya paling takut dengan jarum suntik. Paman Jisung bilang jika Onti Chenle sudah menghubungi bunda. Lee Chanmjn jadi merasa tidak enak pada sang bunda karena gagal melindungi adiknya sendiri.

Paman Jisung bilang, Chanmin bisa ke ruangan sang adik terlebih dahulu. Pamannya itu lupa mengambil sesuatu dari mobilnya. Kedua langkah kecil bocah itu terhenti saat siluet sang bunda yang tengah tergopoh-gopoh tertangkap sudut matanya. Matanya memicing tidak suka, pria jahat yang selalu menyebut dirinya sebagai sang ayah turut serta dibelakang sang bunda.

"Dia putrimu, brengsek!"

Bocah Lee itu sempurna mengerutkan kening. Siapa yang bunda sebut sebagai putri ayahnya? Lee Minji? Matanya melebar. Hatinya ikut tercubit saat sang ayah kembali menolak gadis kecil yang merengek kesakitan. Merengek sembari menjulurkan tangan minta digendong. Merengek pada ayahnya!

AyahWhere stories live. Discover now