XI

21.9K 2.6K 313
                                    

Short chapter allert!

Selamat membaca^^

Gadis kecil itu menatap ragu sebelum menghampiri saudarinya. Di tangannya selembar kertas yang menjadi karyanya selama seharian ini ia bawa. Begitu ragu untuk menunjukkan hasil karyanya pada saudarinya itu.

" kakak Chanmi." gadis itu memanggil sang saudarinya lirih. Untungnya suaranya masih bisa ditangkap dengan baik. "Kakak lagi apa?"

Gadis kecil dengan kulit tan yang disebut namanya tadi menoleh, begitu sumringah saat melihat adiknya menghampirinya. "Menggambar ini." jawabnya semangat. Matanya kemudian terantuk pada sebuah gambar bunga favorit bundanya. Namun dengam warna yang berbeda. Merah muda. "Minji mau menggambar bersamaku?"

Tentu saja gadis dengan kulit putih ini mengangguk cepat. Kemudian mengambil posisi disebelah sang kakak dan beberapa batang krayon untuk menggambar. Menggambar adalah hal yang sangat disukai oleh Lee Minji. Dulu, bahkan sang ayah selalu membelikannya berbagai macam alat mewarnai dan mengajaknya menggambar bersama.

Ayah~

Minji jadi merindukan ayahnya itu.

**

Hari ini benar-benar melelahkan.  Entah apa yang membuat mantan suamiku itu begitu meledak-ledak setelah menjemput kedua anak Taeyong Hyung. Intinya aku hanya tidak suka karena ia melampiaskan kekesalannya padaku.

Maksudku pekerjaanku yang menjadi imbasnya. Bagaimana ia tiba-tiba memanggilku untuk ke ruangannya, menginterogasiku dengan pertanyaan-pertanyaan tidak penting. Kemudian dengan gaya bossynya memerintahkan ku untuk menemaninya sepulang kerja nanti.

Demi tuhan, ada banyak hal yang lebih penting yang bisa kulakukan saat ini. Chanmin, Chanmi, dan Minji pasti menungguiku. Dan pria ini dengan egoisnha berkata jika ia tidak menerima penolakan.

Apa pentingnya menanyakan hubunganku dengan Hyunjin timjangnim? Aku memang sedang tidak dalam sebuah hubungan apapun dengan Hyunjin timjangnim atau siapapun itu. Andaikata aku memiliki hubungan pun tidak ada hubungannya dengan pria beralis camar yang menjabat sebagai atasanku ini.

"Jadi bagaimana kabar anak-anakmu?"

Ya tuhan, ingin sekali rasanya aku berteriak dihadapan pria ini. Apa ia benar-benar serius tidak mengakui Chanmin dan Chanmi sebagai anaknya waktu itu? Demi seorang bayi kecil yang berafa di kandungan wanita yang menghancurkan bahtera pernikahan kami.

"Aku harus berapa kali mengatakan padamu, Lee daepyo?" ujarku lelah. "Mereka anak-anakmu juga."

Pria dihadapanku ini tampak tidak terpengaruh dengan ucapanku. Kepalanya menunduk dalam saat mengaduk-aduk minumannya tanpa minat.

"Aku minta maaf." lirihnya pelan. Sangat pelan, hingga andai saja aku tidak menajamkan telingan, mungkin gendang telingaku tidak mendapatkan getaran frekuensi yang diciptakan oleh pita suara Mark.

"Karena?"

Aku sejujurnya tertegun dengan gestur yang ia buat. 2 tahun masa pacaran, kemudian 4 tahun bersama dalam ikatan pernikahan membuatku hafal dengan tiap gestur yang ia buat. Penyesalan? Apa yang sedang ia sesali?

Sejujurnya, sempat terbesit dalam pikiranku jika ia ingin meminta maaf karena ucapannya yang menyinggung soal anak-anak itu. Sungguh, aku hanya ingin Mark tidak melupakan anak-anaknya saja. Tidak apa jika ia tidak ingin lagi bersentuhan denganku atau kedua anak kami. Aku tidak akan menuntutnya macam-macam. Memangnya siapa aku yang berani menuntutnya?

AyahWhere stories live. Discover now