III

34K 4.3K 3.2K
                                    

Entah sudah berapa lama ia mendekam dalam ruangan itu. Kulitnya yang pada dasarnya berwarna putih itu, tampak makin pucat saja karena ia sangat anti untuk meninggalkan ruangannya. Sosok pria dengan wajah aristokrat yang tenggelam dalam pekerjaannya, tergila-gila dengan segala 'proyek' yang katanya bernilai besar itu.

Sebuah pengalihan, sebetulnya. Agar ia bisa mengalihkan rasa sesalnya yang berlebih, setelah kepergian belahan jiwanya, dan pemantik semangat kehidupannya.

Ia bahkan tidak peduli saat perutnya berbunyi karena belum ia isi sejak semalam. Ia tidak layak! Sungguh, pria itu tidak merasa layak untuk menyentuh makanan. Ia lebih layak untuk mati dari pada terus dikelilingi rasa penyesalannya itu.

Ada saatnya dimana pria itu kelelahan, kemudian meraung-raung seorang diri menyesali kebodohannya. Ia merindukan belahan jiwanya, pemantik semangat hidupnya. Orang yang ia 'buang' karena kebodohan dan keserakahannya.

Bajingan! Brengsek! Tolol! Mungkin semua kalimat umpatan masih belum sepadan dengan kebodohannya Itu. Diraihnya sebuah pigura dengan gambar awut-awutan khas anak kecil. Diusapnya pelan saat kemudian airmatanya mulai jatuh membasahi pelupuk pipi dan matanya.

"Aku merindukan kalian~"

**

"Mau sampai kapan kau terus begini, Mark?" Wanita itu menatap frustasi pada suaminya. Ia sudah lelah dengan semua abaian yang ia terima dari suaminya. Merasa tidak ada respon berarti dari suaminya, wanita itu menghela nafasnya lelah. Disodorkannya selembar surat yang sudah lama ia simpan. 

"Tanda tangani itu segera. Aku ingin secepatnya berpisah denganmu."

Yang diajak bicara baru menolehkan wajahnya pada wanita yang telah ia nikahi beberapa tahun lalu. Wajah dinginnya yang datar ia tampilkan dihadapan wanita tersebut. Sedetik kemudian, ia menandatangani surat tersebut tanpa repot-repot membaca isi surat itu. Ia sudah bisa menebak apasaja yang wanita menjijikan itu inginkan. 

Matanya memicing jijik menatap penampilan wanita yang masih berstatus istrinya itu. Wanita murahan, yang dulu menjadi alasannya membuang permata paling berharga yang ia miliki.

"Bisa kau segera enyah dari hadapanku, Ko Eun Ji?"

"Kau mengusirku?" wanita itu tersenyum remeh pada Mark. Di dekatinya meja kerja milik suaminya, kemudian diambilnya selembar kertas itu. "Tidak perlu mengusirku. aku juga sudah muak melihat wajahmu itu."

'Tentu saja, yang kubutuhkan itu uangmu, bukan dirimu.'

**

Hingar-bingar bar sepertinya tidak berpengaruh apa-apa untuk Mark. Ia selalu ke bar itu, disaat-saat ia merasa jika dirinya itu menyedihkan. Sangat menyedihkan. Begitu bodoh. Lebih rendah dari sebuah kotoran mungkin. Penyesalannya yang terbesar, membuat segala pemikiran negatifnya melambung tinggi.

Adalah satu saat dimana Mark, akan meratapi nasibnya. Meratapi kebodohannya yang dengan tega membuang istri manisnya, Chanmin, putranya dan seorang bayi kecil yang tengah ada dalam kandungannya. Mark bahkan akan bertindak seperti orang gila, saat mengingat-ingat bagaimana kejamnya dia pada istri dan anaknya. Bagaimana bisa ia percaya pada kalimat yang keluar dari bibir wanita murahan itu. 

Harusnya, sejak awal ia sadar. Bahkan, orang tua yang ia anggap sebagai sosok yang ia panuti juga turut menjebaknya. 

Sebuah fakta besar, jika dia bukanlah anak dari orang tuanya. Dan Orang tua angkatnya yang serakah itu, terlalu larut dalam rencana licik milik wanita bermarga Ko. Iming-iming kucuran dana investasi, dan berbagai kemewahan lain membutakan mata mereka. Meskipun setelahnya, mereka menyadari jika itu semua hanyalah isapan jempol belaka. 

AyahWhere stories live. Discover now