XV

16.3K 1.8K 381
                                    

"Kakak?" Aku mengerutkan keningku heran mendapati apa yang tengah terjadi dihadapan mataku. Chanmin yang kuketahui dengan sangat baik menyukai buah apel menyingkirkan sepiring apel yang tedi sempat kupotongkan untuknya. "Kakak tidak mau makan apelnya?" 

Sulungku itu tidak menjawab, terlalu sibuk menyingkirkan buah dengan nama latin Malus Domestica ini dari hadapannya. Wajahnya mengerenyit tidak suka. Kemudian, membawa tubuhnya itu kedepan lemari es dan mengambil sebuah pir dari sana. 

"Bunda, bisakah bunda menyingkirkan buah itu dari sini?" Tanyanya dengan jengkel sembari menunjuk beberapa buah apel yang berada di kulkas. "Aku tidak suka ada buah itu di lemari es." 

"Jangan dibuang, kak." Minji lah yang menjawab kalimat Chanmin. "Kata bunda dan tante Chenle, kita tidak boleh membuang-buang makanan."

"Kakak tidak mau apelnya?" Chanmi melemparkan pertanyaan pada sang kakak dengan raut bingung. Tubuh kecil yang berisi itu perlahan beringsut kedepan lemari es. Mengambil sebuah apel lainnya. "Apel ini dari ayah. Kalau kakak tidak mau, untuk Chanmi saja, ya?" 

Gadis kecil itu kembali membawa dirinya untuk duduk di kursi. Mengambil piringan berisi apel tadi dan mulai melahapnya dengan sumringah. Mengabaikan sepiring buah lainnya yang sudah kukupaskan untuk Chanmi. Chanmi menyukai buah pir, dan Chanmin menyukai apel.  "Dede gak mau buah pirnya, bunda. Dede mau buah apel saja." katanya. 

Chanmin merotasikan matanya malas. Sulungku itu kembali duduk di kursi meja makan, dan menarik piring dengan buah pir itu untuk ia konsumsi. Sedikit berjengit, saat memakan buah itu. Yah, tentu saja aku paham. Chanmin sejujurnya kurang menyukai buah pir. 

Aku menghela nafas pelan melihat bagaimana kelakuan Chanmin dan Chanmi. Setelah mereka bertengkar kemarin malam, karena kehadiran dua orang pria yang 'katanya' ingin menjenguk Chanmin. Chanmi yang begitu senang karena ayahnya datang, dan Chanmin yang dengan keras kepalanya itu menolak kehadiran sang ayah. Memilih Hyunjin tim . Dengan ekspresif menunjukkan ketidak sukaannya pada kehadiran sang ayah disana. 

"Kalau begitu, apa Minji boleh menikmati Apel dan pirnya, bunda?"

**

Sekali lagi, aku mengerjapkan mataku tidak paham pada meja yang kutempati. Seingatku, meja kerjaku berada di ruang administrasi, dan bukannya berada di ruangan milik CEO partner perusahaan. Maksudku, apa yang tengah terjadi dengan mejaku? Bagaimana bisa aku tiba-tiba berbagi ruangan dengan Mark Lee, mantan suamiku itu?

Belum lagi Hwang timjangnim dengan wajah kesalnya. Berulang kali menelfon tim logistik untuk memindahkan meja milikku agar kembali pada ruang administrasi. Aura kesal sangat terkuar dari setiap tubuhnya. Membuatku bergidik ngeri. Bagaimanapun, aku tidak pernah melihat Hwang timjangnim sekesal itu sebelumnya. 

Salah seorang rekanku yang bernama Jinyoung yang memberitahuku. Dengan gaya khasnya menceritakan bagaimana orang-orang logistik yang diperintahkan oleh Mark, untuk memindahkan mejaku. Agar satu ruangan dengannya. Yatuhan, sekarang apalagi yang pria Lee itu inginkan dariku?

"Woah Lee Haechan! Aku tidak menyangka jika ternyata dua orang berpengaruh di perusahaan ini sudah berhasil kau taklukan. " Begitulah kata Baejin saat ia mendapati kerenyitan tidak mengerti pada keningku. Berikut dengan sebuah tatapan tajam dari sudut mata untuk memintanya menjelaskan kalimatnya tadi. 

"Kau ternyata sangat lamban dalam hal seperti ini, ya?" tanya pria dengan marga Bae itu. Ia bersandar pada kubikelnya, sembari menikmati segelas Cappuccino dengan pose bak modelnya itu.  "Kau tidak mengerti maksud mereka berdua?" Aku menaikkan sebelah alisku sebagai respon untuknya agar menjelaskan maksudnya. 

AyahWhere stories live. Discover now