XXVI

3.9K 528 88
                                    

Karena katanya suka yang panjang, nih kubuat panjang-panjang. Semoga suka, ya!

Updatenya kemaleman ga menurut kalian?

Met baca, bestie🍉💚

"Bagaimana perasaan Chanmin?" Haechan menyuap perlahan sesendok bubur hangat pada mulut Chanmin. Kondisi Chanmin sudah jauh lebih baik. Demamnya sudah turun, namun tubuhnya masih lemas. Wajahnya juga masih tampak kuyu.

"Masih sakit, bunda." Jawabnya lemas. Tubuh Lee Chanmin bersandar lemah pada ranjang yang agak ditinggikan pada bagian punggung. Sesekali ia memejam mata, mengeluh segala yang dipandangnya berputar-putar. "Pusing."

Lee Haechan mengelus rambut putranya lembut. Berusaha membujuk Chanmin yang tampak enggan menghabiskan buburnya. "Makan dulu, ya." Katanya. Chanmin mengerutkan kening sembari menggeleng pelan. Lagi-lagi meringis pusing dan tidak mau makan. "Buburnya dihabiskan dulu, lalu minum obat. Setelah itu, Chanmin boleh tidur lagi, ya?" Bujuk Haechan lagi. 

"Pahit, bunda." Rengek Chanmin. Matanya berkaca-kaca, ingin menangis. Huft, Chanmin yang sakit memang sesuatu sekali. Butuh kesabaran super extra untuk membujuknya makan. 

"Chanmin makan dulu, ya? Atau Chanmin ingin makan makanan yang lain?" Tanya Haechan lagi, berusaha membujuk Chanmin untuk makan. Tapi Chanmin masih bergeming. Ia menggelengkan kepalanya lemah sembari mengerang pelan.

Drrt... Drrt...

Ponsel pintar Haechan bergetar, sebaris pesan di layar ponsel membuat kedua alis pria manis itu bertaut. Mark diseberang sana, meminta Haechan untuk keluar kamar Chanmin dan menemuinya di lobby ruang VVIP. Ada sesuatu yang ingin ia berikan katanya.

"Bunda keluar sebentar, ya." Pamit pria manis itu. Dikecupnya kening si bocah kecil yang masih memejam mata rapat. Ia menghela nafas sebal.  Entah apa yang mantan  suaminya itu inginkan, semoga bukan hal sia-sia.

**

"Sup ayam?"

Mark menggaruk tengkuknya kikuk. Ia tersenyum kaku, membentuk kerutan bingung pada kening Haechan saat menatapnya. Matanya menatap kesembarang arah. Ia canggung?

"Chanmin biasa menyantap sup ayam saat sakit, kan." Ucapnya ragu. Lebih seperti pertanyaan sebenarnya. Nada pada akhir kalimat lebih mirip seperti sebuah pertanyaan saat pria itu mengucapkan kalimatnya.

"Tidak sepertinya." Jawab Haechan datar. Pria manis itu melempar tatapan malas pada Mark. Ia sepertinya benar-benar lupa bagaimana menghadapi Chanmin saat sakit. "Kau lupa bagaimana dirimu saat sakit, ya? Chanmin kan sama sepertimu..."

"Tidak, Chanmin memang suka makan sup ayam saat sakit, Haechan." Potong Mark, kali ini dengan nada mantap.

"Tadi kan kau bertanya?"

"Aku tidak bertanya. Aku memberi tahumu." Jawabnya. Ia menggigit bibirnya gugup. "Aku ingat Chanmin pernah sakit waktu itu.  Chanmin sangat manja, ia sangat lengket dan tidak mau dilepaskan dari pelukanku saat tidur. Kemudian ia berulang kali menyebut 'sup ayam' 'sup ayam' 'sup ayam' dalam tidurnya." Kenang Mark. Senyum pria Lee itu mengembang, mengenang kenangan manisnya dengan putra sulung kesayangannya dulu.

"Kau mungkin tidak ingat. Waktu itu aku sampai berkeliling kota agar bisa menemukan sup ayam paling lezat untuk Chanmin. Pulangnya kau marah-marah karena mengira aku meninggalkan Chanmin, padahal saat itu aku membawa satu porsi sop ayam untuk Chanmin. Ingat tidak?"

Kedua alis itu bertaut. Sekilas potongan ingatan mampir dalam kepala cantiknya. Senyum tipis terulas dibibir. Ia membuang wajah, diam-diam tersenyum tipis. Ia ingat bagaimana kesalnya dia dulu saat Mark pergi alih-alih menjaga Chanmin. Haechan tengah pergi ke supermarket untuk membeli beberapa bahan makanan waktu itu, menyetok beberapa sosis dan nugget untuk sang putra. Biasanya putra kesayangannya itu akan luluh dengan makanan berbahan dasar sosis atau nugget kesukaannya.

AyahWhere stories live. Discover now