50. Drama meja makan

Mulai dari awal
                                    

Dara sudah melepaskan genggaman tangannya. Dia menyeruput teh, lalu berkata, "Mas Danu nggak suka bicara, tapi dia pintar."

"Ih Kakak! Masak dibandingin sama Mas Danu. Mas Danu itu laki-laki dan dia nggak lagi kuliah. Kalau kita suka diam di kampus, memangnya siapa yang nerka kita pintar? Nilai ujian bagus bisa dituduh nyontek loh!"

"Aku mencontek?" Kali ini, gentian Danu yang menginterupsi perbincangan mereka.

"Eh bukan!" Laras dan Dara berucap serempak.

Danu tertawa lalu berjalan ke arah Dara. Sambil merendahkan tubuh, lelaki itu menjalarkan jemari tangan kanannya di belakang leher Dara. Sesuatu yang tidak ingin Dara lakukan di depan Laras, tetapi harus, karena ini kebiasaan Danu. Kecupan yang lebih lama dibanding biasa.

Dasar tukang pamer, batin Dara.

"Mas mau ngeteh juga?"

Kepala Danu menggeleng. "Aku mau istirahat dulu sebelum nanti malam pergi lagi. Ada acara."

"Acara? Acara apa? Pesta?"

"Acara." Danu memberi penekanan seolah tidak ingin menjelaskan lebih.

Dara paham. Dia hanya mengangguk sambil menepuk pelan lengan Dara, yang membuat Dara melebarkan senyum untuk menunjukkan dia paham dan dia tidak masalah dengan sikap tertutup Danu itu.

"Selamat datang, Laras."

Setelah mengucapkan itu, Danu pun pergi. Sebuah sapaan singkat yang meninggalkan suasana canggung. Dara tersenyum pada Laras, dengan senyum yang kaku. Dia semakin tidak nyaman saat melihat raut wajah Laras yang menunjukkan banyak tanya.

***

Saat Dara memasuki kamar, Danu sedang berbaring di atas ranjang dengan pakaian yang sudah diganti. Jelas, lelaki itu sudah mandi. TV dinyalakan tetapi Danu tidak menonton. Tatapannya tadi ke langit-langit kamar, seakan merenungkan sesuatu. Namun, begitu melihat Dara, ketegangan di wajahnya mengendur. Dia tersenyum dan mengulurkan tangan, memanggil Dara untuk berbaring di sebelahnya.

Dara menarik ujung selimut dan masuk ke dalamnya, terus bergeser sampai akhirnya dia begitu rapat dengan sang suami.

"Katanya Mas mau istirahat. Kirain mau tidur."

"Ini tidur," jawab Danu singkat.

"Maksudnya ... benar-benar tidur, bukan cuma baring."

"Tidur itu, tidak semudah memejamkan mata dengan tubuh terbaring."

"Mungkin Mas terlalu banyak pikiran, makanya otak Mas nggak mau istirahat, padahal badan Mas butuh."

Dara bisa mendengar Danu tertawa pelan. "Tau apa kamu soal apa yang dibutuhkan tubuhku, Dara?"

Dan seketika, Dara merasa gugup. Antara takut Danu tersinggung atau justru sedang meremehkan jawabannya.

"Se ... semua orang butuh beristirahat, terutama yang aktivitas hariannya banyak."

"Dan apakah aktivitas harianku banyak?"

"Mas ...." Dibanding terus ditanyai baik, Dara pun mengangkat kepalanya dan menempelkan bibirnya di bibir sang suami, hal yang setidaknya dia yakini tidak akan dipertanyakan apalagi ditolak.

Terbukti, Danu membalas pagutannya dan kini menarik Dara agar berbaring miring agar memudahkan aktivitas mereka. Tangan lelaki itu melingkar memeluk tubuh belakang Dara. Satu tangan lagi, sibuk bergerilya di pantatnya (nggak tau bahasa sopannya).

"Dan!" Pintu terbuka dan pagutan itu terhenti.

Dara ingin menoleh ke pintu, tetapi Danu sudah memeluknya dan menyurukkan wajah Dara ke leher lelaki itu.

DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang