49. Tidak ada Vicky, hanya Laras

Mulai dari awal
                                    

Dara tertawa di tengah tangisnya lalu dia menghapus air matanya. "Kamu kok di sini? Lagi ibur? Perasaan belum jadwalnya deh."

"Bener, Laras lagi libur. Jadi di kampus Laras tuh kebetulan semua dosennya sepakat untuk meliburkan kelas seminggu sebelum ujian semester. Alasannya sih supaya ujiannya bisa maksimal. Makanya aku ke sini. Mumpung libur panjang!"

Dara menarik Laras ke sofa dan mengucapkan terima kasih pada ART yang menyajikan minuman pada mereka. "Terus, kok nggak ngasih kabar sebelumnya? Kok malah ke sini, bukan ke rumah?"

"Mas Danu yang minta. Katanya, Kakak lagi butuh temen. Ya udah deh, aku ke sini. Toh kalau pulang ke rumah juga paling disuruh kerjaan rumah terus sama Ibu. Malesin!"

Dara tersenyum miris. Kebencian Laras pada ibu mereka terasa jelas. Dara tidak bisa mencegahnya karena Laras memang masih muda, masih begitu sensitif. Suatu saat adiknya itu akan tahu bahwa tidak ada gunanya sibuk mempermasalahkan kasih sayang yang dirasa berat sebelah. Tidak ada gunanya juga bersikap membangkang karena hal itu. Bagaimanapun orang tua, mereka tetaplah orang tua. Laras belum tahu saja rasanya memiliki ibu yang lebih membuat tertekan, seperti Firly misalnya.

"Jadi, intinya kamu nginap di sini dong?"

Laras mengangguk penuh semangat. "Di kamar mana nih?" tanyanya sambil mengedarkan pandangan, lalu terhenti di pintu kamar yang dia ketahui sebagai kamar tamu. "Di sana ya?" Dia menggerakkan alis seolah menunjuk.

"Bukan. Itu kamar kami. Sejak kecelakaan Mas Danu kemarin, kami tidur di sana. Kata dia, biar Kakak nggak naik turun tangga juga. Oh ya, kamu udah makan belum? Mau makan nggak? Biar Kakak suruh Bibik siapin."

"Santai aja, Kak. Kayak sama siapa aja. Lagian Laras di sini mau nginap seminggu, bukan datang bertamu sebentar doang. Santai aja ...."

Dara tersenyum dan mereka kemudian sibuk berbincang tanpa kenal waktu.

"Ekhem!"

Suara dehaman itu membuat Dara dan Laras sama-sama menoleh ke atas tangga di mana Firly sedang berdiri mengharap ke arah mereka dengan tangan bersidekap di dada.

"Mami ...." sapa Dara gugup. Cara Firly melihat ke arah mereka, jauh dari kata ramah. Dara langsung menoleh pada Laras dan merasa tidak enak jika sang ibu mertua membenci keberadaan adiknya.

"Jam tidur siang terlewat berapa lama, Dara?"

"Hah?" Dara melongo beberapa saat, lalu dia melirik jam. "Eum, maaf, Mi. Soalnya Dara sedang kedatangan ... tamu."

"Dia bukan tamu. Dia keluarga. Dan dia bukan datang untuk sejam dua jam, tapi seminggu. Tunda reuni menggemaskan kalian itu, dan pergilah ke kamar. Aku tidak suka mendengar keluhan yang berkaitan dengan kesehatan ibu yang terganggu karena tidak bisa menjaga diri."

Setelah berkata seperti itu, Firly kembali menaiki tangga. Suasana jadi tegang. Wajah Dara memanas, merasa malu karena sikap yang jauh dari kata ramah diberikan sang ibu mertua pada adiknya padahal Laras baru saja tiba.

"Ya udah, Kakak ke kamar gih. Nanti mertua Kakak ngoceh lagi."

"Terus kamu?" tanya Dara cemas.

"Aku mau makan!" ucap Laras dengan senyum terlewat lebar, seolah hal tadi itu tidak bisa mengusik keceriaannya sama sekali. "Dan habis itu, aku akan nanya ke Mas Danu kamarku di mana. Dibanding salah kamar terus disindir Mayang, kan."

"Mayang?" Kening Dara berkerut.

"Mami kesayangan," jelas Laras dengan ekspresi wajah yang menjelaskan kalau maknanya justru berbanding terbalik.

Dara tertawa pelan lalu memukul Laras yang jahil. Syukurlah adiknya bermental baja. Hanya saja, Dara cemas jika selama tinggal, Laras gagal menjaga emosinya padahal di rumah ini semua serba membuat emosi. Meski begitu, dia lebih memilih menarik napas dalam dan meredam keinginan untuk memberikan wejangan pada Laras mengenai hal-hal yang perlu dia ketahui selama menginap agar tidak salah langkah juga tidak terkena masalah. Nanti. Dara akan menjelaskannya nanti karena penjelasan itu tidak akan berlangsung sebentar, sedangkan Dara sudah bisa menebak jika dia tidak ke kamar segera, setengah jam lagi, sang ibu mertua akan kembali patroli.

"Ya udah, Kakak ke kamar, ya."

Laras tersenyum sambil mengangguk. Dara pun berdiri lalu melangkah menuju kamar. Sesampainya di salam, dia membuka aplikasi pesan lalu mencari kontak Danu.

Ada banyak yang ingin Dara tanyakan, tapi dia tahu Danu tidak akan menjelaskan. Jadi, dia hanya menulis, "Makasih, Mas. Laras udah sampe" lalu dia meletakkan ponsel di atas nakas dan kemudian berusaha untuk tidur siang. Kali ini, dengan senyum sedikit mengembang.

***

Danu membaca pesan Dara, tapi tidak membalasnya. Dia tersenyum, karena bisa membayangkan bagaimana bahagianya sang istri. Di dunia Dara, hanya ada Laras. Maksudnya, sebelum kini Danu paksakan keberadaan dirinya dan anak mereka. Danu tahu sekali Dara tidak dekat dengan siapa pun secara emosional, hanya pada adiknya itu. Jadi, keberadaan Laras akan menghentikan usaha Dara untuk meminta kehadiran Vicky sebagai teman curhat dan usaha Lucy pun gagal.

Tidak akan ada rencana yang berhasil, selain rencananya. Baik itu rencana baik, maupun buruk. Semua yang bersiasat di belakangnya, hanya akan menemukan kegagalan. Dia akan membuat semua orang paham bahwa dirinya sudah terlalu matang untuk dipermainkan.

NB



Dikit dulu, timbang tak ada, yakaaaannnn

DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang