Mulmet: Location Unknown - Honne
Selamat membaca, Bor❣️ semoga suka Aamiin.
19. DIFFERENT FEELINGS
Kamu tidak boleh hancur, remuk, apalagi hilang. Karena selalu ada seseorang yang membutuhkan kehadiranmu, tanpa kata, tanpa alasan.
...
Aurora. Perempuan itu sekarang sedang berada di balkon kamarnya, dengan boneka teddy bear yang berada di dalam pelukannya. Aurora menatap bintang yang berkelap-kelip di langit dengan tatapan kosong, sesekali menatap handphonenya yang sejak tadi menandakan ada banyak pesan masuk dan telfon yang tidak ia pedulikan.
"Angkasa udah punya pacar," kata Sekala yang sukses membuat Aurora menatapnya nanar.
Perempuan itu lalu menarik senyum kecil untuk menghilangkan keterkejutannya, "Nggak masalah kalau di udah punya pacar, gue juga nggak suka sama dia, dan di antara gue dan Angkasa emang nggak ada apa-apa," jelas Aurora.
Kali ini perempuan itu sedang membohongi perasaannya, bohong kalau ia merasa baik-baik, bohong kalau ia tidak merasakan kepedihan ketika mendengar penuturan Sekala.
Sekala menatap Aurora lekat, laki-laki itu berusaha untuk membaca ekspresi perempuan yang ada di depannya, "Lo nggak marah?"
"Buat apa?"
"Gue sama Angkasa emang nggak ada apa-apa, kalau dia punya pacar, itu urusannya, bukan urusan gue," lanjut Aurora enggan menatap Sekala.
"Sorry kalau yang gue katakan, buat lo sakit hati," kata Sekala hati-hati.
"Gue nggak sakit hati," tepis Aurora cepat. "lo jadi nggak ngantar gue pulang? Kalau nggak gue pulang sendiri aja," Lanjut Aurora mengalihkan pembicaraan lalu berjalan lebih dulu.
"Gue anter lo pulang,"
Tiba-tiba alarm yang ada di kamar Aurora berbunyi dan membuyarkan ingatannya yang sejak tadi merekah semua peristiwa setelah latihan musik. Perempuan itu lalu beranjak, menatap jam 18:50. Ia menaikkan alisnya, bingung. Dia harus apa?
Angkasa Naufal Merapi: jgn lp minum obat.
Aurora hanya menatap pesan itu tanpa mau membalasnya, ia lalu beranjak mengambil air dan meminum obatnya. Sejujurnya, ucapan Sekala tadi terlalu berpengaruh baginya, karena jika dia memang sudah punya pacar, lantas untuk apa dia mendekat?
Handphone Aurora kembali bergetar dan nama Angkasa terpampang nyata di layar itu, sudah ada 5 panggilan yang ia abaikan sejak tadi, dan sampai sini, Aurora merasa susah untuk mengatur sikapnya, walaupun ucapan Sekala tadi belum tentu benar.
Angkasa Naufal Merapi: Angkt tlfon gue atau gue manjat naik ke rumh lo.
"Halo?"
Suara Angkasa langsung terdengar di seberang sana, beberapa helaan nafas panjang juga terdengar.
"Ra?"
Ulang Angkasa, karena sejak tadi Aurora memang tidak menyahut, hanya panggilan tersambung yang menandakan kalau perempuan itu mendengar suaranya.
"Apa, Angkasa?" tanya Aurora.
"Jgn lupa istirahat, gue tahu lo capek," ujar Angkasa yang terdengar jelas dari panggilan itu.
Aurora yang sedang mendengarkannya tetap diam, ia mencerna baik-baik ucapan Angkasa, perhatian kecil yang selalu saja membuatnya hanyut untuk berpikir bahwa Angkasa 'Mengistimewakannya'. Lalu, jika ucapan Sekala benar, perhatian ini untuk apa?
"Iya."
Setelahnya hening. Keduanya memilih terdiam dengan panggilan yang tetap tersambung.
"Kalau udah nggak ada lagi yang mau lo bicarakan, gue matikan sambungan ya?" tanya Aurora hati-hati. Perempuan itu merasa jenuh dengan perasaannya sendiri, entah karena lelah atau tubuhnya yang memang sedang tidak fit sekarang.
Detik kemudian, Angkasa menyahut, "Ra?"
"Apa?"
"Buka tirai jendela, dan atur penglihatan lo membentuk sudut 90 derajat," kata Angkasa di sambungan telefon itu yang sontak membuat Aurora bergerak melakukannya.
Di sana, ada Angkasa, Angkasa Naufal Merapi. Cowok itu berdiri pas di depan gerbang rumah Aurora dengan pandangan yang mengarah ke kamar Aurora, ditangannya ada handphone yang ia dekatkan di telinganya.
"Liat orang itu lekat, Ra, dalam dirinya mungkin nggak ada yang spesial bagi lo selain anak berandalan yang suka menghajar orang, ketua geng yang kerjaannya masuk ruangan BK,"
"Tetapi satu hal yang perlu tahu, bagaimanapun keadaannya, tangannya tidak akan pernah diam jika ada yang menyakiti lo,"
Aurora terpaku, dadanya tiba-tiba sesak mendengarnya ucapan Angkasa, lalu air matanya mengalir begitu saja. Ucapan Angkasa memang sangat sederhana, bahkan bisa saja terdengar biasa, tetapi entah kenapa Angkasa selalu bisa membuatnya merasa terlindungi, merasa aman, dan juga... nyaman.
"Kenapa lo lakuin itu buat gue?"
"Karena, lo adalah kelemahan gue."
Sebelum sambungan telefon benar-benar terputus, Angkasa kembali bersuara, "Good night."
**
Aruna Naura Terra: Bang, lo ke rmh skit skrng, Mama dari tadi manggil nama lo.
Tanpa membalas pesan itu, Angkasa lalu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Malam ini ia memang merasakan perasaan kosong yang jarang sekali ia rasakan, dan anehnya Angkasa tidak tahu apa sebabnya.
Sesampai di sana, cowok itu lalu berlari masuk rumah sakit tanpa peduli dengan tatapan orang-orang yang melihatnya di sepanjang lorong. Dengan menggunakan tangga darurat, Angkasa sampai di lantai 5 karena lift sedang bermasalah saat itu.
Bruk!
"Anjing!" umpat Angkasa ketika tubuhnya bertabrakan dengan seseorang yang badannya hampir sama dengannya.
Cowok yang ada di depannya juga tidak kalah sewot, "Lo yang anj-"
Bara langsung melototkan matanya kaget, kalau ternyata Angkasa yang ada di depannya, "Ngapain lo di rumah sakit lari-lari, Bos?" tanya Bara.
"Gue nggak punya waktu ngeladenin bacotan lo, Bar," ujar Angkasa, cowok itu kemudian pergi dari hadapan Bara dengan langkah yang ia percepat.
Bara berbalik menatap punggung Angkasa, ketuanya, yang semakin menjauh, "gue ikutin aja kali, mami gue juga masih lama," ujar cowok itu sambil menatap ke arah arlojinya.
Kamar 127A.
Terlihat banyak dokter yang sedang berjuang di dalam sana, beberapa perawat juga ikut membantu menangani Bela yang kondisinya benar-benar buruk malam ini.
Angkasa berjalan mendekat ke arah Aruna, wajah adik perempuannya terlihat sangat cemas, kedua bola matanya juga terlihat berkaca-kaca menahan tangis. Aruna yang sadar akan kehadiran Angkasa, perempuan itu lalu sontak memeluk kakaknya erat. Seolah Angkasa memang bisa menjadi penenangnya di bandingkan Adiran yang sejak tadi duduk di sampingnya.
"Bang, Aruna nggak mau kehilangan Mama, Aruna masih butuh Mama, Aruna nggak bisa tanpa Mama," ucap Aruna. Detik kemudian air mata yang tidak bisa Aruna bendung sukses menetes sekarang.
"Everything is gonna be okay," bisik Angkasa menguatkan.
"Aruna mau kayak dulu lagi, Aruna mau keluarga kita kembali utuh, Aruna mau kita kumpul lagi," kata Aruna memberontak di pelukan Angkasa. Cowok itu menenangkan adiknya dengan pelukan yang ia eratkan.
Adiran yang melihat kedekatan Angkasa dan Aruna lalu merasa hampa seketika, ada perasaan kosong yang langsung menyeruak, memenuhi semua ruang yang ia rindukan tetapi selalu gagal untuk ia ungkapkan.
"Mama tadi manggil lo," kata Adiran saat Angkasa duduk di depannya. "Mama butuh, lo."
Angkasa tidak membalas Adiran, cowok itu tetap diam dengan sorot mata elang dan tatapan datar, hatinya ikut berkecamuk, entah keluarga seperti apa yang ia rindukan, yang pastinya, bukan seperti ini.
Dokter lalu keluar dari ruangan diikuti dengan beberapa perawat lainnya. "Keluarga pasien?" tanyanya pada 3 orang yang ada di depannya.
"Iya Dok, kami anaknya," kata Adiran.
"Kemungkinan pasien melewati masa komanya sangat tipis sekali, kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi komplikasi yang menyerang tubuh ibu anda terlalu ganas dari yang kami pikirkan, saya sudah memberikan penolongan terbaik semampu kami, dan beberapa obat yang bisa membantunya. Kami harus sama-sama berdoa, serahkan semua kepada Tuhan," jelas Dokter Wijaya. Lalu berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
"MAMAAAAA!" teriak Aruna di depan ruangan Bela di rawat.
"Mama bukan perempuan lemah, Run, dia pasti bisa melewati semua ini," kata Adiran menguatkan.
Dari depan pintu kamar, Angkasa berbalik melihat Mamanya yang terbaring lemah di atas brankar rumah sakit, matanya terpejam, entah sudah berapa lama, dengan wajah yang semakin hari terlihat pucat. Di sampingnya, Ada layar monitor EKG yang menyala yang menampilkan garis hijau bergelombang, menandakan kalau masih ada kehidupan dalam tubuhnya.
Happy mothers day, Mama.
Ingatan Angkasa lalu berputar bak film yang sedang di mainkan, menampilkan semua peristiwa yang ia lalui dengan Mamanya, dan semuanya bercerita tentang anak laki-laki nakal, keras kepala, susah di atur, dan tidak pernah membanggakan keluarganya. Lalu secara bersamaan, ucapan Aurora menggema di benaknya.
Harusnya lo ada di sampingnya, nemenin dia terus. Dia pasti butuh itu.
Karena yang namanya Mama enggak akan tega ngebeda-bedaiin anaknya, setiap anak punya tempat tersendiri di hatinya, dan semua sama.
Semua akan terlihat omong kosong, sampai lo baru menyadari dan menyesal.
Ucapan perempuan itu terlalu membekas bagi Angkasa, ucapan itu sukses membuat Angkasa tertampar dengan sendirinya. Apa ia memang harus berdamai dengan keadaan?
**
Analisa Elara: Now, I'm in Indonesia.
**
G spnjng kemarin, sengaja:v
SEE U❤️🍫