RED CITY : ANNIHILATION

由 MilenaReds

751K 138K 46.2K

Sequel of RED CITY : ISOLATION Aku sudah pernah dengar tentang ramalan itu. Ramalan bahwa akan terjadinya Per... 更多

Exodus
Illude
Abience
Obscure
Oblivion
Beginning
Desolate
Passage
Trace
Origins
Fragments
Entangled
Benign
Aegis
Resolute
Curvature
Axis
Protocol
Unison
Avior
Matter
Covert
Storm
Ambush
-Left Behind-
Trapped
Tides
Haywire
Mayhem
-Left Behind-
Hurdles
Symbiote
-Left Behind-
Underground
Emblem
Chivalry
Changes
Hero
Target
-Left Behind-
Threat
Visitor
Reverie
Encounter
Insanity
Inhuman
Initiation
Equals
-News Update-
Contra
Nights
-Enigma-
Selfless
Stranded
Turn
Side
Glass
- Ultra Malström -
-The Syndicate-
Divide
-Bloodline-
Reality
Lies
Trust
-Left Behind-
Demands
-Left Behind-
Promises
Lead
-Enigma-
Calling
Mind
Dare
Fate
Stalling

Crossing

8.4K 1.6K 706
由 MilenaReds

Sebuah tangan dingin menarik-narik bahuku.
"Hei kau lagi bicara dengan siapa? Hei Luce!"

Aku menoleh sekilas pada wajah Pierre yang sudah sepucat kertas.

"LUCY!"

"Apa itu suara si putra billioner?"

Aku menarik napas tegang.

Oh God jangan seret Pierre juga-

"Maaf kami telah meremehkanmu sebelumnya. Kirimkan salam kami untuk aliansi barumu yang kuat itu."

"Kalian!-"

Tik!

Aku merabai komunikasi ditelinga setelah mendengar nada itu.

Hening. Tak ada suara balasan lagi.

Sambungan komunikasinya telah diputus.

"LUCY-"

"P-pierre!"
Aku berbalik dengan wajah memanas, mau menangis saking pusingnya.
"Dengar, ada hal penting-"

"Tuan Malstrom! Tuan Malstrom!"
Seru satu tentara yang berjongkok berusaha menekani luka diperut sang penembak itu.
"Dia takkan lama lagi, lukanya terlalu parah!"

"Memang dia itu sekarat!"
Pierre berdecak kesal berjalan meninggalkanku yang sekarang berusaha menahannya.
"Sudah kubilang kenapa kalian menembak perutnya?! Kenapa tidak kakinya saja-"

"Pierre!-kumohon tunggu dulu ada hal yang-omyGod!"

Orang yang rasanya harus paling terakhir dapat penjelasan tentang hal ini malah muncul.

"LUCEY!"
Panggil kakakku dari kejauhan, ia berusaha mendorong maju melewati kumpulan orang yang mulai ramai berdatangan ingin ikut menyaksikan insiden penembakan.

I-ini bagaimana?!

Aku kalang kabut bergantian menatap Pierre masih saling adu kesal dengan para tentara dan Regi yang atas bantuan seorang tentara memperbolehkannya untuk melewati barisan masa penyintas.

"Oh ya ampuun-"
Gerutuku sambil memutuskan berlari menghadang Kakakku.

"Lucy bagaim-"

"Eh!"
Tahanku segera tepat setelah berada didepannya. Kutariki kencang lengannya supaya kembali bergerak mundur.
"Nanti saja kita-"

"Tunggu- itu pelaku penembaknya-"

"Iya dia sudah tertembak di perut dan sekarat-"
Kutarik terus Regi mundur. Kubuka asal sebuah pintu disebelah kiri kami supaya bisa berbicara disitu.
"Kau kok bisa turun? Katanya akses naik turun diblokir-"

Regi akhirnya membalikkan badannya.
"Ya kan bisa terobos saja tangga daruratnya-"
Dahinya mengerut.
"Kau nangis?"

Aku mengerjap-ngerjap.
"Tidak-"

"Ada apa?!"

"Enggak--"
Aku bergeser kesamping ingin mengajaknya keluar ruangan lagi.
"Enggak apa-apa aku cuma-"

"Lucy,"
Malah ia yang gantian memberhentikanku.
"Hmm?"

Aku jadi ingin menangis dan tertawa sekarang karena tampang Regi mengingatkan persis pada jaman Tk dulu ketika aku menangis mengadu padanya karena ada yang mengambil Lego ku.

Sungguh aku berharap bisa kembali ke jaman dengan masalah amat simpel itu.

"A-pa pe-nembak itu-"

Aku mendongak mendengar nadanya berubah tergagap.
"Hah?"

"Dia--mengincarmu ya?"

"Okey sebentar-"
Kutarik lagi lengannya.
"Jadi memang ada yang perlu-OTIDAKTUNGGUREGI!"

Ia malah berbalik berlari keluar mendekati dimana pria penembak itu terkapar.

Aku mengebut mengejarnya.
"Tunggu dulu jangan-"

Aku bisa melihat punggungnya yang menegang tepat berhenti didekat kaki pria terkapar itu.
"Hei,"
Ucapku sambil menepuk bahunya.

Perlahan sekali mataku bergeser menurun ke bawah pada pria itu.

Apa dia sudah mati? Semoga sudah-

Jonas malah masih hidup. Ia menatap Regi dengan terbatuk-batuk.

Oh Tuhan tidak!

Jonas terbatuk-batuk seperti ingin mengatakan sesuatu.

Tidak Tuhan!

Teriakku keras dalam hati.

Jangan biarkan dia bicara aneh-aneh didepan semua kerumunan tentara Aegis ini-

"Hei-"

Aku meringis melihat Jonas yang paksa diri bicara sambil terbatuk darah.

"-hu-man-superior-"

Kuliriki Regi.

Tampangnya campuran antara marah, bingung dan jijik.

"Aku-"
Jonas lanjut tertawa sekarat sambil menatapku.
"Hampir ber-hasil lho ledakkan-kepalanya-"

Semua disekitar jadi memandangku.

"Nik-ma-ti-sa-ja-hari-terak-hir-mu-gadis-mu-da-"

BAGH!

Aku, Pierre bahkan tentara disekitar tersentak kaget ketika kaki Regi yang tiba-tiba terangkat menghantami keras tepat tengah leher Jonas.

Jonas langsung batuk termegap-megap.

Tentara disekitar ada yang mengeluarkan tawa.

BAGH!

"Astaga boss!"
Salah satu tentara yang sebelumnya tertawa sekarang jadi terkejut melihat Regi mengulangi injakan kerasnya.

BAGH!

"STOP!"
Tanganku mulai bergerak menahannya.
"Cukup-"
Aku jelas bisa merasakan tentara disekitar mulai bergumam-gumam ketakutan.
"Jangan-"

BRAGH!

Suara tulang-tulang remuk terdengar jelas pada injakan Regi kali ini.

"KUBILANG SUDAH HENTIKAN!"
Lontarku lagi.

Regi benar terhenti kali ini.

"Demi Tuhan-kak kau ini-"
Aku menelan ludah.

Napas kakakku masih bergetar marah.

Kuperhatikan lagi wajah Jonas dan ia pun sudah diam, memandang kosong ke langit berawan di atas kami.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Jadi, itu semua rentetan lengkap yang terjadi pagi tadi?"

Aku menyimpuhkan tangan keatas meja.
"Ya, seperti itu. Tunggu, kalian tidak ada bertanya ke Pierre-"

"Kami akan bertanya pada dia nanti. Dia sedang sibuk untuk ditanyai-"

"Ooh."
Sahutku pada tim pencatat insiden yang duduk di hadapanku.

"Terimakasih kau sudah menyempatkan waktu. Hal ini harus dilakukan, sebagai arsip untuk kapal ini dan militer Aegis juga. Semua insiden, terlebih insiden penembakan seperti ini harus ada jejak catatannya."

"Oke, tak masalah."
Anggukku.
"Jadi aku, Terrence, Pierre, Dokter lalu Kadet Silv yang harus ditanyakan-"

"Terrence sudah memberikan kesaksiannya, dan ada satu orang sipil sewaktu kejadian berdiri dekat kalian ikut memberi testimoni--"
Tentara pencatat itu membolak-balik buku catatannya.
"Tentang pertengkaran awal mula kau dan Tuan Malstrom yang dilerai oleh Kadet Silv-"

Aku memijiti kepala.
"Y-ya-"

"Pertengkaran tentang ketidakpuasan gaji-"

"Maaf..."
Potongku segera.
"Tapi--apa?!"

"Dia bilang kau minta paksa tambahan uang-"

"Aduh ampun,"
Aku mencondongkan badan memelototi catatan dimeja.
"Siapa sih itu?! Dia salah paham! Aku tidak-"

"Tidak apa Miss Lucian."
Ia menarik buku catatannya dengan cepat seakan bakal aku rebut.
"Itu urusan pribadi, tak masalah. Mungkin nanti bisa kami sedikit edit-"

"Masalahnya memang bukan tentang uang waktu tadi pagi itu-"
Tanganku terangkat.
"T-tapi terserahlah!"
Ungkapku menyerah total.

Memang imejku jadi tak karu-karuan dalam satu hari singkat.

Dianggap telah mesum bareng Vincent dilantai kapal teratas, minta-minta uang pada Pierre, belum tentang Regi yang beringas gila seperti tadi.

Besok apalagi ya...

Tak terlalu penting hal itu Lucy, lebih penting mereka yang menyecar kalian sekarang-

"Oke-"
Dehamku.
"Boleh aku permisi sekarang?"

.

.

.

.

.

.

.

Kututup pintu ruang pertemuan yang rasanya berubah menjadi ruang interogasi.

"Fokus Lucy,"
Kataku pada diri sendiri sambil mulai melangkah.
"Fokus...tenang...hanya itu saja yang bisa dilakukan saat ini, oke!"
Aku melirik sekilas pada pria berjas rapi yang berdiri ditangga turun samping kiriku.
"Permisi Sir-"
Ucapku ringan, kemudian melirik balik lagi kepadanya.
"What the-Vincent?!"

"Kau kemana saja?! Dan rapih sekali-"

Ia segera menaiki tangga dan ketika mendekat tangannya mengulur, meraup badanku kedalam pelukannya.

"Woa-oke-oke-"
Tanggapku.
"Woa-Vincent-"

"Lucy, bagaimana? Kau tak apa kan?"
Tanyanya sambil membenamkan wajahnya ke dalam leher kananku yang sukses membuatku merasa merinding geli.

"Oke... Vincent-aku tak apa kok-"

Ia memiringkan kepalanya. Napas hangatnya kembali berhembus dileherku.
"Aku tadi disuruh menetap di ruang perlindungan keluarga Malstrom-"

"Eng Vincent-bisa kau tidak-"

"Ehem-"
Kata suara tiba-tiba yang terdengar dibelakang kami.

Dan ternyata para tentara pencatat insiden yang sudah kelar dengan keperluannya telah meninggalkan ruangan juga.

Mereka pun lanjut menganggukkan kepala menyapa kami. Aku yakin sekali wajahku pasti memerah, sedangkan Vincent hanya memberi mereka tatapan biasa saja.

"S-silahkan lewat-"
Sambungku.

Aduh ini bakal jadi omongan baru lagi deh pasti-

"Vincent,"
Omongku tepat ketika mereka berlalu pergi.
"Jangan seperti tadi lagi ya, banyak yang sudah anggap kita suka melakukan hal yang tidak-tidak dibelakang-"

Alisnya terangkat.
"Hal tidak-tidak?"

"I-iya-"
Mulutku jadi mengering mengingat omongan penyimak pagi tadi.
"K-kau harus mendengar sendiri deh, aku malas menceritakan ulang-"

Vincent malah terkekeh geli.

Pertama kali melihatnya terkekeh begitu.

"Hih kok malah ketawa. I-itu memalukan dan membuat jadi salah paham besar-"

"Hahah- aku sih tak masalah Lucy-"

"Bagiku itu masalah dan tak enak juga dengan kau yang ikut jadi tercoreng-"
Aku menggeleng-geleng.
"Oke lupakan. Ada hal yang penting ingin kubicarakan."
Kutarik dirinya mendekati jendela terdekat.

"Hal penting apa-"

Kubuka jendelanya. Anginpun bertiup dingin sekali sampai membuat kami jadi mendesis ngilu.

"I-ini kenapa dingin sekali astaga-"
Desisku kencang.
"Niatku biar nanti suaraku saat bercerita jadi tertelan angin..."
Kutarik lagi jendelanya jadi hanya seperempat terbuka.
"O-ke-"
Aku mengawasi kiri kanan sebelum menyenderkan diri dikusen jendela.
"Kau ada lihat Regi gak? Tak kulihat semenjak insiden tadi pagi..."

"Aku sih tak ada lihat- tapi dia dengan Komander sepertinya-"

"Hah?! Komander Pride sudah dikapal ini-"

"Tadi Hugo memberitahuku. Dan sekali lagi maaf Lucy aku dari tadi pagi tak ada mendatangi kau-- benar-benar keluarga Malstrom- menahanku-"

"Tak apa,"
Kuayunkan tangan.
"Aku memang sempat bingung tadi. Tadi Sophia menelpon kekamarku menanyakan kabar tapi dia memang menyebut kau bersama mereka--"

"Tuan Karl- dan Aunty Cheryl resmi menjadikanku keponakannya."

"Resmi gimana maksudnya?"

"Mereka tadi menunjukkan ku surat resmi bahwa kami memang punya hubungan keluarga-"

"Gimana bisa sih? Memang nanti keluarganya yang lain takkan-"

"Kata mereka, mereka keluarga tua yang besar dan hanya peduli dengan keperluan masing-masing-"

Aku benar-benar terperangah.

"Oke-oke ini bisa dibilang absurd sekali-"
Kupijiti jidad.
"Oke. Mungkin hal ini ada hubungannya dengan yang ingin kubahas denganmu."

Vincent menggosok lehernya.
"Apa yang mau kau bahas?"

"Vincent, kau sadarkan aslinya kau datang dari mana?"

"Apa maksudmu?"

"E-eh- maksudku-"
Ku mempaused diri, berusaha mencari kata yang tepat.
"Maksudku, ingat kan tempat pertama kali kita bertemu?"

Ekspresinya berubah jadi seakan berhati-hati.

"Iya- tentu aku ingat-"

"Oke jadi,"
Aku mendekatkan diri.
"Insiden penembakan tadi, pelakunya itu yang mengirim adalah kelompok mereka yang punya pulau itu juga."
Lidahku terasa kelibet.
"Bagaimana ya bahasanya- k-kau mengerti tidak?"

Tak disangka, Vincent mengangguk mengerti. Ia cukup kalem, mengalihkan pandangannya ke lautan gelap disekitar sebelum kembali menatapku.

"Aku tahu ini akan terjadi, walau aku belum ingat apapun, tapi jelas aku kategori yang aneh bukan? aku terbangun di mesin-"

"Tidak, kau tidak an-"

"Tak apa Lucy. Kau tak perlu menyangkal! Bahkan kalau tak karena kemurahan hati Komander Pride dan kau, mungkin aku bakal masih terkurung ditempat itu!"

Aku menarik napas segera menyergah.
"O-oke Vincent maaf tapi aku benar-benar tak ada niat untuk membicarakan-seakan kau diposisi terlemah atau apa-"

"Kuakui aku diposisi terlemah jika dibandingkan dengan yang lain, apalagi dibandingkan dengan dirimu."

"Aduh Vincent hayolah!"

"Tapi-"
Ia menahan tanganku.
"Tapi aku sungguh belajar Luce. Aku belajar ingin kuat, belajar membaur juga dengan yang lain. A-ku ingin bisa kuat bagimu Lucy."

Aku membelalak, terhenyak mendengar perkataannya.

"Oke,"
Aku tersenyum kecil.
"Oke kuakui -waw Vincent kau jarang bicara tapi sekalinya bicara jadi dalam sekali ucapannya."

"Aku sungguh-sungguh!"

"Iya aku tahu,"
Cengirku.
"Bagus Vincent pikiran positif mu itu. Kita harus sama sama saling menguatkan untuk menghadapi ini semua."
Kugenggam sekilas bahunya.
"Karena setelah ini-- mau tak mau harus pergi, meninggalkan keluarga Malstrom-dan semua perlindungan ini dibelakang. Tapi sebelum pergi, aku ingin menceritakan sedikit saja setidaknya supaya Pierre berhati-hati--"

"Dia- sudah berjam-jam berada diruang minum- Aunty Cheryl yang bilang."

"Hih-tadi padahal kata tentara pencatat itu dia sedang sibuk seharian?!"

Vincent berdecak resah.
"Tapi Luce, jika kita pergi dari sini nanti kira-kira kita mau kemana?"

"Nah hahah-"
Aku pun seketika mengeluarkan tawa pedih.
"Tak tahu Vincent, belum kupikirkan. Maksudku-"
Kusenderkan kepala kebelakang.
"Ada sih yang tujuan yang kupikirkan, tujuan kembali diriku--tapi tak tahu tepat atau tidak."

"Kau?! Kau mau kembali padanya ya?!"

Kepalaku menoleh lagi.
"Padanya?"

"That man! Yang kau tunjukkan fotonya sewaktu kita terjebak di toko furniture!"

Aku membuka lalu menutup mulut.

"Tunggu, aku tidak mengerti! Sebenarnya kau yang meninggalkannya atau dia yang meninggalkanmu?"

Punggungku menegak mendengar pertanyaannya.

"S-sebenarnya aku sih yang pergi-tapi aku-"

"Lalu kenapa kau mau kembali lagi?!"

"Aku kepikiran dan aku juga janjinya mau-"

"Kau sungguh benar mengenal dia?!"

"I-iya dia kawan kakakku-"

"Kau kenal dia sudah lama?!"

"Belum lama juga sih-tapi-"

"Lho? Bagaimana bisa kau anggap dia tujuan aman?! Bagaimana jika dia adalah bagian dari orang-orang jahat itu-"

"Demi Tuhan, kau kenapa jadi penuduh seperti ini?!" Nadaku berubah meninggi.
"Yang jelas aku lebih mengenalnya dari pada mengenalmu!"

Lalu kami pun jadi sama-sama terdiam.

.

.

.

Setelah menyadari emosi tak jelasku, aku balik menoleh padanya namun dia duluan yang memulai pembicaraan.

"Lucy. Aku tak maksud- aku hanya ingin memastikan dia benar baik atau tidak, maksudku hanya ingin berhati-hati-"

"Dia baik kok Vincent."
Sahutku dengan lembut meyakinkan.
"Aku belajar banyak banget ketika bersamanya. Ya secara dia lebih dewasa diatasku. Dibawah beberapa tahun umurnya dari Regi, tapi tetap diatasku."
Tiba-tiba aku jadi terkekeh malu.
"Kesan terakhir diantara kami sungguh tak enak sekali-Sebenarnya--aku ingin pinjam tab Pierre- tapi bingung mintanya karena saat ini kita mau meninggalkan dia-- Aku berharap sekali Kapten inisiatif menghubungi kita karena tahu kita disini--tapi entahlah-"
Kugosoki wajah.
"Astaga aku plin-plan sekali ya-"

Vincent menghembus.
"Bisa dimengerti."

"Emm-"
Aku melanjutkan.
"Dengar, tak seharusnya aku menyentak seperti tadi. Kau tentu berhak tahu dengan alasan kan kita akan pergi bersama-sama. Jadi kau harus tahu sekiranya orang yang akan ditemui-ya kan?"

Vincent menatapku lama sekali seakan ingin mengatakan sesuatu, namun ia pada akhirnya hanya bilang.
"Well yeah,"
Tatapannya lalu berpindah pada lantai sekilas.
"Jika boleh tahu siapa namanya, buat kuingat?"

"Kapten Ryan-"

"Kapten Ryan, oke-Lucy."
Ia tersenyum tipis.
"Emm- ngomong-ngomong, kita jadi mau samperi Pierre bersama-"

"Ah iya kau benar!"
Aku berdecak.
"Mari, kita bicara dengan baik-baik. Kita jelas berutang sedikit penjelasan padanya."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Ini mungkin rencana ingin melarikan diri paling aneh sedunia. Karena sebelum pergi kami malah 'pamitan' dahulu dengan pemilik Kapal.

Aku yang berpikir berhutang sedikit penjelasan pada Pierre jadi berpikir sesedikit apa memang yang bisa kujelaskan padanya.

"Disitu-"
Tunjuk Vincent pada sebuah pintu kayu tebal disebelah kanan setelah memasuki jalur lantai kamar khusus kepunyaan keluarga Malstrom.

Jantungku bahkan berdegup kencang sekali. Aku benar-benar takut dengan reaksinya.

Vincent mendorong buka pintu. Dan benar kami menemukan dia sedang duduk di sebuah kursi tinggi. Dihadapannya berderet lemari bar berisi botol-botol minuman keras berbagai jenis.

"Hei Pierre Malstrom-"

Sang empunya nama pun seketika menoleh.

Tampang wajahnya sungguh tak enak sekali dan berhasil membuat diriku tambah takut.

Sungguh benar jika bukan karena menyangkut hidup mati seseorang- bahkan hidup matinya dia sendiri, aku akan segera berbalik keluar lagi dan pergi menuju ke kamar untuk langsung mengambil tidur.

Pierre balik menghadap kedepan lalu menenggak habis cairan merah gelap digelas kristalnya.

I-ni dia normal apalagi mabuk ya?

Kami pun berjalan mendekat.
"Hei Pierre,"
Ulangku, berusaha terdengar normal.
"Kau kemana saja kok tak kelihatan dari semenjak tadi pagi. Aku sudah dapat interogasi tadi-"

Pierre terdengar mendengus.
"Oh ya?"

"Ya."
Jawabku. Vincent menarik kursi duduk disebelah kirinya, sedangkan aku tetap berdiri, berposisi menyender pada meja bar sebelah kanannya.

Ia menoleh kiri kanan seakan sedang dikepung.

Tapi ia memutuskan mendaratkan perhatiannya pada Vincent.

"Kau terlihat bagus-cousin-itu jas Prada cokelat kubeli dua tahun lalu, harganya hampir lima ribu dollar-"

"Si pria penembak tadi bagaimana?"
Tembakku.

Pierre meraih dulu botol wiski didepannya sebelum menjawab.
"Sudah digeledah, tak ada apa-apa. Kosong dompetnya. Mungkin hanya gembel miskin yang iri dengan kita--"

"Pierre, aku rasa kau pasti tahu deh dia bukan sekedar gembel seperti itu. Kau dengar juga kan perkataannya ketika sekarat?"

Ia tak menjawab, hanya menenggak habis wiski digelasnya.

"Kalian mau minum juga?"
Tanyanya diluar jalur.
"Duduk saja, akan aku sediakan."

Vincent menatapku, namun kami membiarkannya mengambil gelas dan menuangkannya untuk kami.

Ia lalu mengangkat gelasnya.
"Cheers!"

Aku mengangguk dan ikut meminum setenggak. Dan tubuhku dalam waktu beberapa detik terasa hangat nyaman.

"Pierre,"
Mulaiku lagi.
"Kami kesini ingin membicarakan tentang keberadaan kami dikapal ini, keberadaan kami sebagai tim-mu-"

Si putra bilioner langsung tertawa pahit.

"Bisa tidak kalian-"
Ia menggeleng.
"Bisa kalian bebaskan aku hari ini saja dari pembicaraan itu?! Hari ini sudah cukup gila dan-"
Ia melirik jam tangannya.
"Ini baru masuk jam delapan malam, belum ada sepuluh jam setelah kejadian tadi dan kalian mau menambahi lagi bebanku-"
Ia menatap Vincent dengan kesal.
"Kau juga kenapa jadi ikut-ikutan mau memberontak seperti Lucy sih?! Sepupu macam apa kau ini--"

"Kami-"

"Diam! Sungguh keterlaluan sekali kalian! Padahal baru aku sebut waktu itu aku mempercayai kalian! Dan sekarang mau pergi begitu saja di kesulitan pertama!"
Ia membanting gelasnya ke meja.
"Ayahku dan Uncle Cyril sudah memulai tim investigasi mencari siapa sekiranya lawan perusahaan disekitar kami yang berani mengirim pembunuh bayaran untuk kita! Dan kau!"
Ia menunjukku.
"Aku kan sudah bilang akan menambahkan sejumlah uang sebagai kompensasi perjuangan kemarin-"

"Itu bukan lawan perusahaanmu. Kau bisa berhenti mencari."

Wajahnya mengerut.
"Apa maksudmu?!"

Aku menarik keluar earbuds komunikasi kepunyaan Jonas yang sudah kurusak dulu itu dan menaruh disamping tangannya dimeja.

"Apaan tuh?"

"Ini pecahan earbuds punya Jonas."

"Jonas?"

"Itu nama si penembak-"

"Bagaimana kau tahu-"

"Ingat-kan waktu kau bertanya aku bicara dengan siapa ketika dia sekarat tadi? Benda ini kuambil dari telinganya. Dan aku berbicara pada majikan pesuruhnya. Jonas itu memang disuruh untuk menghabisiku-"

"Apa?!"

"Dan karena gagal mereka jadi menargetkan dirimu juga."

Pierre memandangiku penuh horor seakan kepalaku tumbuh jadi dua.

"Dan itu bukan lawan perusahaanmu Pierre, itu lawan kami bertiga-makanya kami ingin memperingati kau supaya hati-hati ketika kami pergi-"

Pierre tertawa kecil sebelum tertawa keras-keras.

"Lucu sekali! Ini hanya bercanda kan?"
Ia menatap urgensi pada Vincent.
"Kalian sebenarnya hanya bercanda kan? Karena kalau iya kuminta tolong hentikan karena aku tak suka dengan jokes kalian."

Aku menggeleng.
"Jadi kami harap kau supaya berhati-hati-"

"K-kalian memang terlibat apa sih sampai ada yang mengejar-membunuh-"

"Aku tak bisa memberitahu itu. Karena sedikit yang kau tahu akan lebih baik-"

"KALIAN TERLIBAT APA? BISNIS NARKOBA YA?"

"B-bukan Pierre astaga! Kenapa ya jika berurusan denganmu kesimpulan tentang kami jadi melenceng kemana-mana-ini-"

"Jadi apa?!"
Ia menghempaskan tangannya keatas.
"Kalau sampai seperti itu pasti kalian terlibat masalah besar! Siapa disaat seperti ini mau dan bisa mengirim pembunuh bayaran kemari-bahkan jika karena alasan kalian punya hutang atau apa- kecuali kalian membunuh orang-"
Ia tertawa nyeleneh.
"Atau mungkin karena kalian tahu kali ya tentang kegilaaan wabah zombie yang terjadi saat ini-sampai ada yang mau usaha cecar kalian kesini hahaha! Karena mustahil sekali--"
Ia terhenti lalu menoleh perlahan padaku.
"Tidak mungkin sekali--"

Aku pun mengerjap-ngerjap.

K-kenapa tebakan Pierre jadi bisa tepat begini-

Pandangan matanya menurun pada pecahan earbuds Jonas sebelum padaku lalu pada Vincent.

"T-tidak mungkin kan kalian-"

Aku menyapu pecahan Earbuds nya dengan tangan dan mengembalikannya kembali kedalam sakuku.
"Pokoknya hati-hati ya Pierre-"

"TIDAK!"
Pierre mengelak dari tempat duduknya.
"Kalian? Masa kalian?!"
Jarinya menunjuk-nunjuk.
"TIDAK!"

Vincent pun sampai jadi berdiri melihat reaksi keras Pierre.

"Ya Tuhan! Memang apa yang telah kau perbuat Lucian?!"

"Lho Aku?"
Responku lemah.
"Aku tak ada berbuat apapun-"

"P-pantas kenapa kalian--kau jago dan tahu sekali seluk beluk m-makhluk itu-"
Ia terkesiap ngeri.
"D-dan kalian berniat ingin menjebakku-"

"Menjebak?!"
Sergahku keras.
"Kau sendiri yang menghampiri dan mengaku-ngakui sendiri bahwa kami adalah keluarga dan temanmu!-"

"Oh ti-dak--tidak!"
Ia termundur.
"Tidak-Tuhan-apa yang telah kuperbuat ini-"

"Pierre-"

Ia lanjut meraung-raung histeris.

"Pierre-tenang saja kami akan pergi. Tapi kami minta satu atau dua hari saja untuk tinggal karena ada barang yang kami butuhkan mungkin bisa sebagai bukti namun hanya Kadet Silv yang tahu dimana ia menyimpannya-"

"INI GILA-"

"Pierre,"
Kucoba panggil lagi.
"Tolong. Kami bisa saja pergi tanpa memberitahumu. Tapi sungguh kami merasa tak enak dan berhutang penjelasan padamu! Tidakkah kau mengingat betapa setianya kami padamu selama misi kemarin? Aku bahkan menggiring semua zombie itu supaya kau bisa lari membawa semua penyintas itu keluar! Jika aku jahat mustahil aku akan mau melakukan hal seperti itu! Tidakkah kau sadar aku sungguh bisa mati sendirian dibawah tanah ketika melakukan hal itu?!"

Pierre perlahan menurunkan tangannya dari wajahnya. Mengamatiku masih dengan amat kesal.
"Mungkin hanya akal-akalan mu-"

Kutatap matanya lurus-lurus. Berusaha memberikan kesan sesungguhnya bahwa aku ini memang berkata jujur.

"Kami bisa saja tetap diam dibelakang. Tak mengikuti timmu-hingga kau merekrut prajurit Aegis lain yang sebelumnya masih minim pengalaman-"

"FINE! OKAY FINE!"
Ia menyelak.
"Aku tak punya pilihan bukan? Kalian silahkan pergi! Dua hari lagi! Aku akan tutup mulut!"
Ia kembali menghempaskan tangannya ke meja.
"Aku akan cari alasan sendiri kenapa kalian pergi!"

"Apa yang kami sebutkan itu benar, Pierre. Kami sungguh tak punya niat jahat. Kami saja sebenarnya masih bingung dengan apa yang terjadi-"

Dering ponsel tiba-tiba terdengar dari saku Pierre membuatku menghentikan omongan.

Ia menarik ponselnya keluar dan sudah langsung berdiri membelakangi.

"Luce-"
Panggil Vincent, mengajakku keluar. Dan aku pun mengangguk.

"Vincent,"
Bisikku tidak menyembunyikan kesedihan ketika melangkah disebelahnya.
"Mungkin tadi lebih baik aku bilang kita ini geng penjual narkoba saja ya--supaya tidak sekacau ini pembahasan-tapi aku muak juga harus terus bohong-"

"Stop kalian berdua!"

Kami berdua jadi menoleh balik pada si putra bilioner.

Ia memasukkan lagi ponselnya kesaku.
"Komander memanggil kita, ada pertemuan penting bersama militer negara lain di lantai satu."

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Authors note.

Chapter ini 3260 kata.

Godspeed ...see you soon!

继续阅读

You'll Also Like

2.4M 206K 68
[FOLLOW SEBELUM BACA] Refara, seorang gadis cantik yang hidup sebatang kara. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan dan memutuskan untuk hidup mandir...
12.1K 635 17
Tentang anak berandalan yang di jodohkan dengan CEO yang sangat amat terkenal di kota nya. Ini tentang MARKNO ‼️ Jangan salah lapak‼️ BXB‼️ BL‼️ ga s...
45.7K 7.4K 99
⚠️TERJEMAHAN GOOGLE 31 MARET 2022 JUDUL Jenderal, Inhibitor-mu Jatuh [Memakai Buku]\将军,你抑制剂掉了[穿书] PENULIS Xiao Chi Qing\笑迟情 Status 139 bab lengkap d...
50.6K 290 22
𝘾𝙀𝙍𝙄𝙏𝘼 𝙈𝙀𝙉𝙂𝘼𝙉𝘿𝙐𝙉𝙂 𝙐𝙉𝙎𝙐𝙍 18+, 𝘿𝘼𝙉 21+, 𝘽𝙊𝘾𝙄𝙇 𝘿𝙄 𝙇𝘼𝙍𝘼𝙉𝙂 𝙈𝘼𝙈𝙋𝙄𝙍!!! 🔞🔞🔞 menceritakan seorang pria bernama A...