BLUE [Completed]

Galing kay Listikay

5.7K 1K 119

Biru yang mengikuti langkah semesta, seolah mata angin tak lagi berbicara. Memendam benak di dalamnya, di jal... Higit pa

Prolog
1. Tetangga baru
2. Kesalahan
3. Murid baru
4. Siluman tokek
5. Ada apa-apa
6. Bungkam
7. Telepati rasa
8. Dugaan Leo
9. Dekapan
10. Dekap lara
11. Pengakuan temaram
12. Sang pelepas rindu
13. Pemecah kesunyian
14. Lenyap
15. Semesta tak bersuara
16. Blood and Rain
17. Mendung
18. Bulan di hidupku
19. Tertangkap basah
20. Hangat dalam senyap
21. Sebuah permintaan
22. Berdamai dengan sang tokoh utama
24. Stuck with me or stuck with him?
25. Di balik kelembutan
26. Tiga cahaya malam
27. Mr. Omilar Cava dan mulut manisnya
28. Asterales
29. Cowok tanpa ikat kepala
30. Malam penuh kegelapan
31. I lose You
32. Memudar
33. Cela
34. Why?
35. Jatuh
36. Semesta buka suara
37. Dia yang beda
38. Jatuh
39. Lunar
40. Setitik cahaya
41. Kembali terluka
42. Titik terendah
43. Memori masa lampau
44. Jangan lagi
45. Kembali berdiri
46. Euphoria
47. The first
48. Dia Alterio
49. Lunar dan Malam
50. Blue
Epilog
Ceraunophile

23. Definisi kebebasan

67 10 0
Galing kay Listikay

Rio melangkahkan kakinya memasuki kelas. Seperti biasa, tidak mungkin cowok berikat kepala biru terang itu tak menarik perhatian beberapa pasang mata. Padahal ia juga tidak pernah tebar pesona, hanya berjalan semestinya dengan langkah lebar.

Ia mendudukkan diri. Matanya memandang Luna yang tengah menatap layar ponsel tanpa berkedip. Cowok itu menghembuskan nafasnya setelah tau jika seseorang yang memenuhi layar ponsel gadis itu adalah Justin Bieber.

Rio menyenggolkan sikunya, barulah gadis bersurai itu menoleh sembari menunjukkan deretan gigi putihnya. "Minta minum dong, Na."

Luna mengerutkan keningnya, menatap Rio penuh keheranan. "Minum?" ulang gadis itu berniat memastikan.

"Iya."

Sedikit ragu, Luna merogoh loker mejanya, mengeluarkan botol minumnya dari sana dan menyerahkannya tepat di hadapan Rio. Tanpa menunggu, cowok berikat kepala itu segera menenggak air minum Luna. Berlari dari kejaran Devandra sedikit membuatnya kehausan di pagi yang cerah ini.

"Ri," panggil Dove dengan badan yang sudah menghadap ke belakang.

Rio berdeham di sela-sela tegukkannya. Sementara Luna, tanpa sadar memandang Rio dari samping dengan kefokusan membara. Apa lagi saat ia melihat jakun Rio yang naik turun dengan pasti.

"Gue mau nanya lupa mulu, deh."

"Muka doang kelihatan seumuran sama gue, otak Lo udah kayak Aki-aki aja. Pikunan," timpal Rio sembari menutup botol minum Luna.

"Enak aja, Lo!" Dove melotot tak terima. "Kayak Lo nggak bakal tua aja."

Rio terkekeh. "Nanya apa?"

Dove sudah siap membuka mulutnya, tapi matanya tak sengaja mengarah pada Luna yang masih saja menatap Rio dengan gairah. "Anjir, zina mata!" Cowok bergelang karet itu memekik heboh dengan ibu jari yang mengarah pada gadis bersurai lurus itu. "Luna ngelihatin Lo pake nafsu, masa!"

Refleks, kepala Rio memutar ke samping. Menatap Luna yang memasang wajah bodoh dengan mata yang dikedipkan berkali-kali membuat bibirnya terangkat ke atas membentuk sebuah senyuman.

Luna menggelengkan kepalanya, terlalu kuat hingga terlihat seperti mengelak dalam kebenaran. Menambah keyakinan Dove samakin besar. "Enggak! Enak aja Lo kalo ngomong," sangkal gadis bersurai lurus itu.

"Ri, gue mau ngomong benaran ini." Dove kembali memandang Rio membuat cowok berikat kepala itu mengalihkan pandangannya menatap Dove hingga Luna berhasil bernafas lega. "Bodo amat sama Luna yang lagi berzina, yang penting bukan gue yang kena dosanya," lanjutnya.

Jika sekarang ini mereka sedang berada di dunia kartun, mungkin saja kepala Luna sudah mengeluarkan dua tanduk dengan hidung dan telinga yang mengeluarkan asap. Ia sudah siap berdiri, berniat menghantam rahang Dove dengan tonjokkannya saat Rio justru menahan tubuhnya sembari menggeleng yakin.

Merasa mendapatkan sebuah pembelaan, Dove bersorak dalam hati. Memberikan acungan jempol ke arah Rio yang menjunjung tinggi keadilan karena cowok itu tanpa ragu tetap membela Dove meskipun Luna sudah menyandang gelar menjadi cewek Rio sekalipun.

"Nanya apaan?" tanya Rio santai. Sedangkan Luna kini sudah bersungut-sungut di tempat duduknya.

"Cewek yang waktu itu di rumah Lo... siapa?

Rio sempat terdiam. Bertanya-tanya dengan dirinya sendiri siapa orang yang dimaksud Dove hingga menemukan sebuah jawaban. Hanya sekali Dove datang ke rumahnya, itu artinya, Dove sempat berpapasan dengan Helma tanpa ia ketahui. "Ohh, itu anak SMA di sekolah gue yang lama," jawabnya kemudian.

Dove manggut-manggut. "Terus kenapa dia nangis-nangis waktu itu?" tanya Dove dengan rasa penasaran yang memuncak.

Diam-diam, Luna memasang telinganya dengan tangan yang sibuk menari-nari di atas layar ponsel. Menunggu jawaban seperti apa yang akan Rio lontarkan.

"Lagi bahagia mungkin," jawab Rio sekenanya.

"Heh, itu kalo nangis ya berarti sedihlah, bukan bahagia!" teriak Dove merasa tak puas dengan jawaban Rio.

"Mungkin, dia nangis haru karena lagi bahagia."

Dove memicingkan matanya penuh curiga, kepalanya ia miringkan dangan tatapan terfokus pada Rio. "Jangan-jangan... dia minta pertanggung jawaban Lo, ya?" tuduhnya kemudian.

"Yang ada semua cewek kelas ini yang minta pertanggung jawaban ke elo."

"Termasuk Luna?"

"Kecuali Luna."

Dove membelalakkan matanya tak terima. "Gini-gini gue bukan cowok brengsek, ya! Gue aja belum pernah mantap-mantap sama satu cewek pun, ya kali dengan enaknya Lo menyimpulkan kalo gue mantap-mantapin semua cewek di kelas ini... kecuali Luna."

Rio memandang Dove penuh keheranan. "Otak Lo emang ngeres, ya. Ngaku aja kalo diem-diem Lo sering ngambilin pulpen yang jatuh ke ubin."

Wajah Dove pucat basi, seolah Rio mengetahui dalamannya yang berwarna pink dengan gambar karakter kartun.

"Makanya gue jadi makin waspada, tiap mau ke kantin harus mastiin kalo pulpen gue satu-satunya udah masuk dalem loker biar nggak jatuh dan Lo ambil gitu aja," imbuh Rio mengungkapkan fakta yang selama ini tersembunyikan. "Tanggung jawab, dah, tuh, ke semua cewek yang Lo ambilin pulpennya."

Sama halnya dengan pelajar cowok di luar sana, sangat besar kemungkinan bila tinta mereka hanya hasil rampasan dan untitan pelajar cewek. Jadi sedikit mustahil bila tinta Dove berasal dari para cowok di kelasnya.

Dove memajukkan wajahnya membuat Rio cukup terkejut. "Jangan keras-keras Lo kalo ngomong. Jangan bilang-bilang, lho, awas aja," peringatnya setengah berbisik.

Rio terkekeh, disusul suara Bejo yang berteriak memasuki kelas. "Yuhuu! Orang ganteng di sini."

Sebelum sempat memberikan makinya terhadap Bejo yang membuat acara ghibah para siswi terganggu, bel masuk lebih dulu berbunyi nyaring. Membuat kelas sunyi karena guru yang mengajar telah datang.

***

"Kenapa? Nggak enak, ya?" tanya Rio saat Luna terlihat tidak berselera memakan siomay yang dijajakan Bu Sa.

Seperti biasa, suasana kantin selalu seramai pasar setelah bel istirahat berbunyi.

Luna menggeleng sembari tersenyum, memakan siomaynya semangat dengan kepura-puraan. Sebut saja, Rio sudah mengerti banyak hal tentang gadis di hadapannya ini. Termasuk bagaimana usaha Luna menutupi sesuatu darinya.

"Semakin kamu nutupin, justru makin kelihatan bohongnya."

Kunyahan Luna mendadak terhenti, ia mengangkat kepalanya. Memandang Rio dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kenapa nggak mau cerita?"

Luna bukannya tidak mau bercerita apa lagi tidak mempercayai jika Rio bisa menjaga rahasia. Hanya saja, orang yang tidak merasakan hal yang sama tidak akan mengerti bagaimana yang ia rasakan sekarang.

Sampai detik ini, ia masih saja memikirkan alasan dari sikap Darma. Tidak mungkin perlakuan berlebihan itu diberikan tanpa ada alasan di baliknya. Luna sampai memutar ulang kehidupannya ketika ia masih kecil, bertanya-tanya akankah ia terlalu nakal hingga Darma memberikan balasan itu ketika Luna sudah remaja?

"Di sini ramai, mereka nggak akan denger apa yang kita omongin." Rio kembali buka suara. "Atau kalo kamu mau privasi yang lebih, kita bisa cari tempat yang sepi. Aku bakal dengerin apa pun cerita kamu, apa yang bikin kamu masih ragu?"

Luna menghembuskan nafasnya sembari menatap siomay di hadapannya dengan nanar. Sebelumnya, ia sudah pernah menceritakan hal yang satu ini pada Rio, dan cowok itu juga memberikan tanggapan yang baik. Tapi sayang sekali saat keraguan Luna saat itu sudah cukup pudar, justru ada milk shake yang mengalihkan semuanya.

Dengan ragu, Luna mengangkat kepalanya. Sepertinya apa yang diucapkan Rio ada benarnya, jadi tak masalah tampaknya jika ia bercerita di sini. "Masih inget cerita aku yang waktu pulang sekolah?"

Rio terdiam sejenak, tampak sedang berpikir. "Tentang kebebasan?"

Sepertinya membagi cerita dengan Rio merupakan solusi yang tepat, bahkan cowok berikat kepala itu masih mengingatnya dengan cepat. "Iya. Masih inget apa aja yang udah aku omongin waktu itu?"

Rio mengangguk tanpa ragu. "Masih."

Luna menghembuskan nafasnya sebelum mulai berucap, "karena kamu udah tahu inti dari masalahnya, jadi aku nggak mau ngulang dari awal. Sama kayak yang kamu bilang, semua itu punya alasan, kan?"

Rio mengangguk.

"Mereka nggak mungkin segitunya tanpa alasan yang jelas." Luna menjeda kalimatnya. "Mungkin nggak kalo aja Leo muncul sebelum adanya ikatan pernikahan? Karena sebuah kesalahan. Dan mereka jadi ngatur pergaulan aku di luar rumah. Sama yang pernah aku bilang waktu itu, aturan tanpa alasan mereka itu hanya berlaku untuk Luna, bukan Leo. Karena mereka nggak mau semua itu terulang lagi...."

"Mungkin, sih, mungkin. Tapi kamu nggak bisa nyimpulin sendiri gitu aja, kan? Gimana kalo kamu coba buktiin."

"Gimana buktiinnya?" tanya Luna hampir putus asa.

"Hitung jarak pernikahan orang tua kamu sama hari di mana Leo lahir," sahut Rio cepat. "Normalnya mungkin bakal berjarak sebelas bulan atau satu tahun. Tapi kalo kurang dari itu, mungkin apa yang kamu perkirakan emang bener, apa lagi kalo jaraknya cuma sembilan bulan. Itu nggak mungkin banget."

Sembilan bulan hanya waktu yang cukup untuk mengandung, jadi kapan buatnya kalo gitu? batin Rio melanjutkan.

Luna tidak menyangka jika Rio mempunyai solusi secepat itu, bahkan Luna yang sudah bertanya-tanya selama bertahun-tahun saja tidak pernah memikirkan hal tersebut.

Rio tersenyum lega saat wajah Luna kembali berseri, tersenyum sangat lebar ke arahnya. Tapi tetap saja, kemungkinan akan ada banyak orang tengah melihat senyum Luna yang memukau di matanya itu. "Udah, makan lagi," suruhnya kemudian.

Luna mengangguk penuh semangat, lalu mulai memasuki siomay ke dalam mulutnya dengan senyuman yang tak kunjung luntur. Membuat Rio mendadak pening, ia menyuruh Luna makan agar gadis bersurai lurus itu juga bisa memudarkan senyumannya.

Tapi ternyata. Ah, sudahlah!

***

Senja tiba sore ini. Menghiasi langit yang tidak pernah sepi, menimbulkan kesan tenang saat sinar orangenya memancar, menciptakan keindahan yang tidak bisa disangkal.

Langit selalu membagikan keadilan, mengatur dengan baik siapa yang akan bertugas menemaninya di sepanjang waktu. Seperti pagi dan malam yang datang dengan waktu yang berbeda, matahari dan bulan dengan cahayanya masing-masing, juga pelangi dan bintang yang menjadi pelengkap keindahannya.

Orang lain mungkin akan menganggap Rio tak waras, karena sudah mengajak seorang gadis duduk di pagar yang menjadi pembatas rumahnya dengan rumah Luna. Tapi tidak untuk Luna, Rio selalu memberikan hal baru yang tak memburu.

Dengan dibantu tangga dan keberanian, Luna berhasil duduk dengan kaki menjuntai ke bawah. Ketinggian bukan masalah, karena ia sudah terbiasa dengan itu. Tak lama setelah ia sampai, Rio menyusul naik ke atas. Duduk tepat di sebelah Luna.

"Kalo lihat dari atas gini lebih enak," ungkap Rio sembari memandang warna orange di ujung barat. "Lebih nyata dan deket. Rooftop mungkin tempat yang lebih nyaman, tapi udah terlalu kenal. Kalo gini, kan, kerasa asing, tapi menantang."

Luna membenarkan dalam hati. Untung saja ujung pembatas memiliki permukaan yang rata dan cukup lebar hingga tidak membuat pantat perih.

"Pegangan, nanti jatoh." Rio memperingati, tak mau ambil resiko jika Luna terjatuh dari atas.

Luna tak menjawab, tapi tangannya mulai bergerak pelan. Berpengan erat pada tempatnya duduk saat ini. Semua pergerakan gadis itu tentu saja tak luput dari tatapan cowok berikat kepala di sampingnya.

Rio meraih tangan Luna yang masih mencengkram tembok pembatas, mengarahkannya agar perpindah pada pundaknya. "Biar lebih seru, jadi nanti kalo jatoh bisa bareng-bareng."

Luna menurut. "Kenapa harus bareng-bereng kalo sendiri aja bisa?" tanyanya kemudian.

"Karena nggak selamanya sendiri itu menyenangkan," sahut Rio santai. Mengalihkan tatapannya dari Luna, beralih memandang langit yang menjadi tujuan utamanya naik ke sini. "Selain itu, biar aku bisa meluk kamu juga."

Tanpa komando, bibir Luna tertarik dengan sendirinya. Tentu dilengkapi dengan perasaan aneh yang menguasainya.

Rio mendesah pelan, yang berhasil membuat Luna menolehkan kepalanya dengan kening berkerut. "Kalo gini aku jadi bingung, Na."

Luna heran dengan cowok di sampingnya ini. Ia yang diliputi kebingung saja tidak diperbolehkan, sekarang malah Rio sendiri yang bingung. "Apa yang kamu bingungin? Setahu aku kamu beda sama aku yang punya Justin."

"Percuma manjat segala, Na. Kalo ternyata langitnya kalah menarik sama yang lagi megangin pundak aku."

Luna tidak mau alay sebenarnya, tapi reaksi tubuhnya memang sering kali menjengkelkan. Pipinya mendadak memanas, dengan cepat ia melepaskan tangannya yang masih bertengger di pundak Rio. Tapi gagal karena cowok berikat kepala itu lebih dulu menahannya sembari terkekeh geli.

Setelah itu, hanya sunyi yang menyelimuti mereka. Rio dan Luna menatap hamparan langit orange di hadapannya dalam diam. Hingga suara Rio mulai memecahkan kesunyian. "Manusia itu makhluk paling sepurna, tapi belum tentu mereka punya sesuatu yang baik dan bisa ngambarin gimana yang namanya sempurna."

Luna menoleh, lalu kembali menatap ke depan. Ia tidak mau menatap Rio lama-lama dari samping. Sangat berbahaya.

Meskipun Luna tidak mengerti pembicaraan Rio, tapi ia tetap mendengarkan. Jika Rio sudah menjabarkan maksud dari setiap kalimatnya, nanti pasti ia juga mengerti. Indahnya ujung barat kali ini semakin terasa lebih dari biasanya saat suara Rio mengalun dengan lembut di telinganya.

"Burung gereja bukan termasuk paling sempurna." Refleks, Luna beralih menatap burung gereja yang melengkapi langit. "Tapi manusia harus bisa kayak burung gereja, walaupun mereka nggak sesempurna manusia. Terbang bebas semuanya, tapi nggak pernah lupa jalan pulang."

Luna rasa ia juga harus seperti burung gereja, yang selalu bebas berterbangan tanpa tuntutan.

"Mereka selalu ingat rumahnya, sejauh apa pun mereka pergi." Rio menolehkan kepalanya, memindahkan lengan mulus Luna di atas pahanya, mengelusnya penuh kelembutan. "Sama kayak burung gereja, kamu juga berhak dapetin kebebasan itu."

Luna memandang Rio dengan sendu, menundukkan kepalanya. "Kalo aja Papa punya pemikiran kayak kamu."

Oleh Rio, dagunya diangkat. Tatapan mereka bertubrukan dalam lingkup hangat yang tercipta. "Na, 'kayak' cuma buat seseorang lupa bersyukur."

'Kayak' yang Rio maksud berarti kata pembanding, lebih mengarah membandingkan hal yang kecil dengan hal yang besar. Padahal hal besar, belum tentu sesuai dengan kelihatannya. Contoh mudahnya, 'gue pengen punya kehidupan kayak, Lo'. Secara tidak sadar, kata sederhana tersebut menyesatkan manusia hingga lupa mengucap syukur.

Luna menundukkan kepalanya, merasa sangat beruntung karena telah memiliki cowok berikat kepala biru terang yang rasanya sudah menjadi bagian dari puzzle dalam dirinya.

Rio selalu menuntutnya ke jalan yang seharusnya dilewati, mengingatkannya bersyukur sementara Luna saja sangat asing dengan kata tersebut. Mungkin benar, ia hanya kurang bersyukur sampai merasa hidupnya hambar, sebelum kedatangan Rio tentunya.

"Gimana? Udah coba cari jawaban?" tanya Rio lembut, masih dengan mengelus lengannya membuat Luna merasa nyaman.

Gadis bersurai lurus itu mengangguk ragu seraya menjawab, "bukan itu alasannya."

Seperti yang Rio ucapkan, jarak hari pernikahan orang tuanya dengan hari kelahiran Leo kira-kira selisih sebelas bulan.

Luna mendonggakkan kepalanya, menatap manik hitam pekat yang menyimpan kehangatan itu. Rio tidak mengucapkan apa pun, tapi Luna bisa menyimpulkan jika tatapan itu seakan menyiratkan kata penenang.

"Mau turun sekarang?" tawar cowok itu. "Kayaknya udah mau malem."

Luna mengangguk. Ia sampai tidak sadar dengan sinar orange yang tadi memancar tanpa ragu, kini sudah memudar dengan perlahan.

Rio turun terlebih dahulu melewati tangga yang membawa keduanya naik ke atas. Setelah sampai di bawah dengan selamat, cowok berikat kepala itu mendonggakkan kepalanya, mengisyaratkan Luna untuk segera turun.

Perlahan, Luna mulai menginjakkan kakinya di anak tangga teratas. Dengan pasti, kakinya mengijak anak tangga kedua dengan mata yang selalu difokuskan agar ia tidak terpeleset. Tapi Luna merasa sedikit ragu saat ia baru sampai pada anak tangga ke tiga. "Rio," cicitnya pelan.

"Kenapa?" Seperti biasa, suaranya masih saja menyimpan kelembutan.

"Kok rasanya tinggi banget, yah," lanjut gadis bersurai lurus itu takut-takut. Sepertinya, Luna terjebak pada sesuatu yang kurang menyenangkan. Bisa naik, tapi tidak bisa turun. Persis ketika ia pertama kali memanjat pohon atas perintah Leo. Dan berujung menangis di atas pohon dengan tangan yang berpegangan erat. "Rio, ini tinggi banget!"

"Jangan lihat ke bawah," perintah cowok itu. Awalnya Rio ragu jika Luna benar-benar tidak bisa turun. Tapi setelah dilihat-lihat, pohon jambu yang biasa dipanjat cewek itu tak sebanding dengan pagar pembatas yang menjulang ini.

Mungkin Rio memang tidak cukup gesit dan cepat saat memanjat selayaknya Luna, tapi setidaknya ia tidak seperti Luna yang hanya bisa naik tapi tidak bisa turun.

"Tutup mata, terus loncat." Melihat Luna yang sudah siap akan menyela, Rio segera menyambar, "jangan takut jatoh, biar aku yang tangkep."

Bukannya Luna tidak mempercayai Rio. Tapi rasa takut tengah menguasainya sekarang, sampai-sampai tanpa sadar tangannya bergetar dan berkeringat.

"Jangan liat ke bawah, Na!" peringatnya lagi saat Luna mencuri-curi pandangan ke bawah dengan mata setengah tertutup. "Gih, loncat. Nggak usah takut," lanjut cowok itu dengan tangan yang sudah direntangkan, bersiap menangkap tubuh Luna.

"Tapi ini tinggi banget," rengek Luna dengan mata terpejam.

"Hitungan ke tiga harus loncat, nggak ada tapi-tapian. Jangan lupa tutup mata." Rio mulai mengintruksi. "Satu... dua... tiga...!"

"Aaaaaa!!!"

Luna membuka matanya secara perlahan, merasa aneh karena ia tidak merasa sakit sedikit pun. Gadis bersurai lurus itu membelalakkan matanya saat wajahnya dengan wajah Rio hanya berjarak beberapa centi saja, hidungnya nyaris bersentuhan dengan hidung Rio. Belum lagi tubuhnya yang jatuh di atas tubuh cowok berikat kepala itu.

Rio meniup wajahnya, membuat Luna mengedipkan mata. "Itu definisi dari kebebasan," ucap cowok itu disertai senyuman yang menghiasi wajah tampannya.

****

Buat yang lupa sama apa yang Luna omongin, bisa balik ke chapter 14, ya.

Jan lupa bersyukur!

09-05-20

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

2.7M 136K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
3.5M 179K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
1.8M 129K 49
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
1.1M 45.4K 51
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...