Sore ini hujan deras sedang mengguyur kota Jakarta yang rindu akan hadirnya. Namun, di balik salah satu kamar apartemen, terdapat seseorang yang sedang meneguk segelas kopi yang dibuatnya sambil memandang kearah luar jendela. Seseorang itu pun sesekali mengusap wajahnya kasar akibat ia lelah dengan semua yang sedang ia lakukan saat ini.
"Harus sampe kapan gue begini? Kapan rencana gue berhasil? Gue pengen banget dia mendapatkan apa yang dia udah ambil dari kakak gue," batinnya dalam hati sambil masih memandang ke luar jendela yang meninggalkan tetes-tetes air hujan.
"Liat aja, setelah ini semua bakalan berubah total. Gak bakal ada senyuman lagi dari bibir lo. Mulai besok, hidup lo gue jamin akan lebih menderita dari sebelumnya." Sosok itu pun berkata dalam hatinya sambil mengepalkan tangan kirinya.
****
Hari ini sekolah berjalan seperti biasa hanya saja seluruh murid saat ini sedang mempersiapkan diri untuk ujian akhir semester satu yang sudah mereka jalani selama enam bulan ini.
"Gimana Sell lo udah siap buat ujian minggu depan?" tanya Gina yang baru saja menyelesaikan catatan fisikanya. Giselle yang masih mencatat, hanya mengangguk dan tersenyum kearah Gina. Gina yang melihat respon Giselle itu hanya melihat Giselle dengan tatapan tak percaya. Pasalnya, Giselle sempat tertinggal pelajaran saat ia harus dirawat dirumah sakit.
"Sumpah lo Sell? Materi yang ketinggalan itu, lo udah nguasain semuanya?"
"Udah Gina sayang," jawab Giselle yang masih fokus mencatat.
"Gimana bisa?"
"Rio, remember? Lo harus tahu walaupun dia lagi sakit, dia masih encer banget ya otaknya. Sekalinya gue nanya dia bantu gue banget. Beruntung gue punya kakak kek dia," kata Giselle sambil tersenyum.
"Cielah yang sekarang udah ngaku kakak adek. Duh kalian lucu banget sih," ledek Gina yang membuat Giselle menatapnya tajam.
"Ampun nyonya Giselle, gak bermaksud loh tadi," seru Gina yang segera pergi keluar kelas menghindari Giselle yang masih menatapnya tajam.
"Sell?"
"Apasih Gin gue itu lag-" Kata-kata Giselle pun terputus begitu tahu siapa yang memanggilnya.
"Evan? Lo kok tiba-tiba disini? Ga ngantin?"
"Sell, gue mau ngomong penting," ucap Evan dengan nada serius.
"Serius amat sih Van. Yaudah mau ngomong apa?"
"Jadi gini Sell, gue mau bilang kalo gue besok itu-" Kata-kata Evan terputus sesaat. Lalu Evan menarik nafas sejenak dan berkata lagi, "besok gue bakal pindah ke US." Setelah Evan mengucapkan kata-kata itu, Giselle hanya bisa terdiam untuk mencerna semua kata-kata Evan.
"Besok? Lo ke US? Secepet itu?" Evan pun mengangguk.
"Dan lo baru kabarin gue sekarang? Gila tau ga lo." Giselle segera bangkit dan berlari keluar kelas hendak menghindar dari Evan. Namun, karena Evan dapat menyusul langkah Giselle, tangan Giselle langsung ditarik dan membuat Giselle jatuh kedalam pelukan Evan. Evan pun dapat merasakan jika saat ini Giselle sedang menangis.
"Sell, maafin gue. Maafin gue baru bilang semua ini sekarang."
"Lo tau ga, lo itu jahat Van. Lo jahat!" seru Giselle sambil memukul dada Evan. Evan yang dipukul hanya bisa pasrah atas perlakuan Giselle. Evan tahu bahwa Giselle sangat shock menerima kabar Evan itu.
"Kenapa lo tega ninggalin gue lagi disini buat yang kedua kalinya? Kenapa Van?"
"Gue juga ga mau ninggalin lo kayak gini Sell. Tapi, gue ga bisa nolak keinginan bokap gue buat pindah. Lo tau sendiri bokap gue kerasnya kayak apa."
"Okey gue ngerti, tapi lo bisa kan kasih tau gue ga semendadak ini? Lo pikir gue baik-baik aja setelah lo kasih tau ini? Engga Van! Gue ga bakal baik-baik aja." Evan hanya bisa diam tak berkutik. Saat ini, ia merasa benar-benar bersalah pada Giselle.
"Emang bener, lo egois Van. Lo cuman mikirin perasaan lo doang. Lo ga mikirin perasaan orang-orang disekitar lo. Gue mau balik kekelas. Mending sekarang lo juga balik. Gu-gue ga mau liat lo," ucap Giselle yang masih menangis. Giselle pun segera berlari menjauh dari Evan yang berdiri terpatung.
Di tempat lain, Rio masih terbaring di ranjang rumah sakit sambil menyuapkan makan siangnya yang terasa hambar dan membuatnya ingin memuntahkannya. Tiba-tiba, ada seseorang yang masuk dan menyapanya, "Rio?"
"Om Satria?"
"Sepertinya kamu terlihat sudah baikkan ya?"
"Ya begitulah om. Om, kenapa tiba-tiba kesini? Apa ada informasi lagi?" tanya Rio penasaran. Satria pun mengangguk dan mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tas kantornya. Satria pun memberikan semua kertas itu dan membuat Rio meletakkan makanannya dan beralih membaca kertas itu satu-satu.
"Semua kertas itu adalah semua informasi yang kau butuhkan, Rio."
"Semuanya? Jadi dikertas ini juga tertera latar belakangnya?" Satria pun mengangguk.
"Terima kasih banyak, om. Tanpa om pasti saya sudah kesulitan mencari data tentangnya," seru Rio sambil berjabat tangan dengan Satria. Satria pun menjawab, "sama-sama Rio. Itu tugas om untuk membantumu. Oh sepertinya om harus kembali ke kantor sekarang karena sebentar lagi akan ada rapat dengan ayahmu."
"Baik om. Hati-hati." Satria pun mengangguk. Bersamaan dengan Satria membuka pintu, Rio kembali bersuara. "Om, papa gak tau soal ini kan?" Satria menggeleng. Rio pun tersenyum dan mengijinkan Satria untuk kembali ke kantornya.
Selepas Satria keluar, Rio pun mulai mengamati setiap kata-kata yang tertera dalam kertas itu selama dua puluh menit. Begitu terkejutnya Rio setelah membaca latar belakang orang yang selama ini misterius baginya.
"Setelah gue keluar dari sini, lo bakal abis ditangan gue," batin Rio dalam hati.
*****
Malam harinya, saat Rio tengah menonton televisi pintu kamarnya terbuka dan muncullah seorang suster jaga yang ingin melihat kondisi perkembangan Rio.
"Selamat malam Rio."
"Malam sus. Mau cek kondisi?" Suster itu pun mengangguk. Rio pun mempersilahkan suster itu untuk mengecek kondisinya.
"Sepertinya kesehatanmu sudah mulai membaik. Pastikan minum obat yang diberikan ya. Agar kamu bisa lebih cepat sembuh," pesan suster itu sambil menulis disebuah kertas.
"Baik sus."
"Oh ya saya hampir lupa, ini obatmu. Obatmu yang sebelumnya sudah habis. Minum itu sekarang ya." Rio pun mengangguk dan mempersilahkan suster itu untuk keluar dari kamarnya. Selepas keluar kamar Rio, suster itu tersenyum jahat dan mulai berjalan meninggalkan kamar Rio.
*****
"Pagi brotha! Wah, kayaknya lo semalem tidur malem ya? Sampe tv gak dimatiin gini. Kebiasaan banget," seru Giselle yang baru saja datang menjenguk Rio dan mematikan televisi yang menyala.
"Yo?" panggil Giselle lagi. Namun, Rio tak kunjung menjawab panggilan Giselle. Giselle yang merasa aneh segera menghampiri Rio dan mengecek kondisi kakaknya itu.
"Rio? Lo gapa-" Tepat sebelum Giselle menyelesaikan kalimatnya, tangan Rio yang dipegang Giselle jatuh terkulai lemas seperti tak berdaya.
"Astaga Rio!" pekik Giselle yang terkejut melihat Rio pingsan. Karena otak Giselle tak dapat berpikir panjang, Giselle hanya bisa memangil dokter dan suster jaga.
"Dokter! Suster! Tolong! Siapapun!" teriak Giselle sambil menangis di depan pintu kamar Rio. Dokter dan suster jaga yang mendengar teriakan Giselle langsung menghampiri dan menanyakan apa yang terjadi.
"Dok, Sus, tolong kakak saya. Kakak saya pingsan. Ga tau sejak kapan. Saya baru dateng jenguk, tiba-tiba tubuh dia udah lemes banget." Mendengar penjelasan itu, dokter tersebut segera berlari masuk dan memeriksa keadaan Rio. Dokter itu pun mulai mengecek nadi Rio.
"Gimana dok kondisi kakak saya? Dia baik-baik aja kan dok?" tanya Giselle masih menangis. Dokter itu pun menghela nafas dan berkata, "mbak, sepertinya pasien sudah pingsan sejak lama. Sekarang kita akan bawa ke ruang ICU untuk mendapat perawatan intensif. Sus, tolong panggilkan suster yang lain untuk membantu saya memindahkan pasien ke ruang ICU."
Melihat hal itu, Giselle hanya bisa menangis dalam diam. Pikirannya sudah tidak dapat berpikir jernih lagi. Sampai-sampai ia lupa menghubungi kedua orang tuanya.
"Mbak, sebaiknya segera menghubungi orang tua mbak saja. Karena dokter harus berbicara penting mengenai kondisi pasien," pesan salah satu suster. Giselle yang pikirannya sedang kosong hanya bisa mengangguk lemah. Giselle pun meraih iPhonenya dan menghubungi Erica, sang mama.
"Hallo ma. Mama bisa ke rumah sakit sekarang?"
"Ada apa sayang? Mama bisa kesana setelah makan siang."
"Ma, hiks..hiks.."
"Kamu nangis, sayang? Sebenarnya ada apa? Kenapa kamu nangis?"
"Ri-Rio ma. Rio masuk ICU."
"Yaampun Rio. Oke mama akan langsung kesana sekarang. Mama juga bakal kabarin papa. Kamu tenang dulu ya, sayang."
"Makasih ma. Cepet ya ma."
"Iya sayang, I will." Sambungan telfon pun terputus dan Giselle beralih pada aplikasi LINE dan mulai mengirimkan pesan pada Gina.
•On LINE•
GiselleJames : Gin, bisa tolong ke rumah sakit sekarang? Gue butuh lo Gin:(
Gina : Rio, huh? Okay Sell, lo kirimin aja alamatnya. Gue langsung otw. Tunggu ya
GiselleJames : Okay Gin. Thank you ya
•Off LINE•
Sehabis mengabari Gina, tiba-tiba terlihat beberapa suster sedang mendorong kasur rumah sakit dengan terburu-buru. Karena pikirannya yang kosong, Giselle baru tersadar bahwa suster-suster itu membawa Rio ke ruang ICU. Giselle pun langsung berlari menyusul Rio yang sedang digiring masuk ke ruang ICU.
"Rio, lo kenapa bisa pingsan gini? Lo kenapa bikin gue panik terus sih? Rio, bangun!" seru Giselle masih sambil menangis.
"Mbak yang sabar ya. Kami akan melakukan yang terbaik untuk menjaga kondisi pasien supaya pasien tidak koma," kata salah satu suster dengan ramah kepada Giselle.
Begitu Rio dibawa masuk ke ruang ICU, tangisan Giselle semakin keras. Bahkan Giselle sempat menahan Rio untuk masuk kedalam ICU namun untung saja para suster dapat melepaskan genggaman Giselle dari Rio.
"Mbak mohon tunggu disini sebentar. Pasien akan kita periksa terlebih dahulu. Nanti kami akan beritahukan jika pasien sudah bisa dikunjungi." Giselle pun mengangguk lemah.
Saat ini Giselle seperti tidak punya tenaga lagi untuk bergerak. Yang Giselle bisa lakukan hanya terduduk lemas di bangku rumah sakit dengan pikiran yang tak tenang mengenai Rio yang sekarang sedang berada dalam ICU.
"Sayang?" panggil Erica yang baru saja tiba. Giselle pun menoleh kearah Erica dan segera berlari kearah Erica dan memeluknya erat.
"Mama, Rio. Aku takut Rio kenapa-kenapa." Erica yang berusaha menahan air matanya didepan anaknya ini hanya bisa mengelus punggung putrinya.
"Sayang, kamu taukan kalo Rio itu orangnya kuat? Mama yakin pasti Rio bisa lewatin ini semua. Kita tinggal berdoa aja ya sayang," pesan Erica kepada Giselle yang membuat tangis Giselle mulai reda.
"Aku tau ma dia orangnya kuat tapi kenapa dia harus sakit lagi ketika mau sembuh?"
"Ini pasti ujian untuk Rio dan juga untuk keluarga kita, sayang. Kamu tau kalau Tuhan ga bakal kasih ujian yang lebih berat dari kemampuan hamba-Nya? Hal itu yang sedang terjadi dengan Rio dan keluarga kita." Giselle yang mendengar kata-kata tersebut langsung tersadar dan tanpa sadar air matanya sudah berhenti sejak tadi.
"Sekarang kita berdoa aja ya, sayang?" Giselle pun mengangguk. Herman yang baru datang langsung memberikan pelukan kepada Giselle. Betapa nyamannya dipeluk oleh seorang ayah.
"Udah dong masa anak papa cengeng. Ga boleh dong. Udah tenang, sayang. Everything is gonna be fine, you'll see," kata Herman menenangkan Giselle yang masih dengan ekspresi sedihnya.
"Giselle!" panggil seseorang dari kejauhan dan membuat Giselle, Herman, dan Erica menengok.
"Gina? Uuu kenapa lo baru dateng sih? Lama tau ga," seru Giselle yang langsung menghambur ke pelukan Gina. Gina yang baru datang sempat kaget dengan pelukan Giselle namun Gina langsung membalas pelukan Giselle.
"Sorry tadi macet banget padahal gue udah lewatin jalan pintas loh.Jadi Rio kenapa Sell? Tapi lo udah gapapakan sekarang?"
"Rio tadi pingsan Gin gatau sejak kapan. Soalnya pas gue kesini, Rio udah pingsan. Dan sekarang dia lagi ada didalem." Gina mengangguk dan berkata, "yaudah bener kata nyokap lo kita berdoa aja okay."
"Keluarga pasien?" panggil seorang suster. Herman, Erica, Giselle, dan Gina langsung menghampiri suster tersebut.
"Kami sus keluarganya. Gimana kondisi anak saya ya?" tanya Herman dengan wajah cemasnya.
"Maaf pak, anak bapak saat ini mengalami koma." Satu kalimat yang meluncur dari bibir suster tersebut membuat Giselle terpukul dan langsung jatuh terkulai lemah.
"Sell, Sell. Lo gapapa?" tanya Gina yang panik melihat Giselle begitu kacaunya. Saat Gina melihat kearah Herman dan juga Erica, Erica sudah menangis hebat dalam pelukan Herman.
"Gin, bilang sama gue Rio beneran gak koma kan? Iyakan Gin?!" seru Giselle setengah berteriak. Gina yang tak bisa membohongi fakta hanya bisa menelan ludah dan memeluk sahabatnya itu.
"Gin, Rio gak mungkin komakan? Itu semua pasti sala-"
"Sell, cukup. Dengerin gue dulu. Semua itu bener, Sell. Rio memang koma," kata Gina pelan yang membuat Giselle bangkit dan berlari memeluk kedua orang tuanya. Gina yang melihat kejadian itu merasa sangat iba. Pasalnya Giselle—sahabat yang selama ini dia kenal, tak pernah sehancur ini apalagi hancur karena seseorang.
"Gina, om minta tolong buat anter Giselle pulang ya. Om sama tante mau bicara dulu sama dokter. Oh ya, kamu malem ini bisa nemenin Giselle? Om akan kabarin orang tua kamu kalau kamu nginep di tempat om, gimana?"
"Oke om. Kalo gitu aku sama Giselle pamit ya. Hati-hati ya om, salam buat tante juga." Herman pun mengangguk. Begitu selesai berbicara dengan Herman, Gina pun mengajak Giselle untuk kembali kerumah. Awalnya sangat sulit membawa Giselle pulang namun setelah Gina bicara baik-baik pada Giselle, Giselle pun mau untuk diajak pulang oleh Gina dengan kondisi benar-benar hancur.
****
HALOHA READERSSS!!
MAAF YA GUE BARU UPDATE SEKARANG:(
KARENA BULAN INI GUE BARU ADA WAKTU BUAT BENER-BENER LANJUTI CERITA INI
HOPE YOU LIKE IT GUYS!
BTW LANGSUNG DICEK PART 31 YA!!
HADIAH KALI INI, GUE LANGSUNG UPDATE 2 PART:)
DON'T FORGET TO VOMMENT:)
BYE
Gisel xx
-13 Maret 2017-