How We Fix Sorrow ✅

By TaliaMefta

65.2K 5.4K 392

Flora punya banyak nama, mulai dari "gemuk", "culun", "lemah", bahkan beberapa nama yang tidak senonoh lainny... More

Prolog
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36
BAB 37
BAB 38
BAB 39
BAB 40
BAB 41
BAB 42
Bab 43
BAB 44
BAB 45
BAB 46
BAB 47
BAB 48
BAB 49
BAB 50
BAB 51
BAB 52
BAB 53
BAB 54
BAB 55
Epilog
Bonus Chapter Info

BAB 56

1.5K 79 13
By TaliaMefta

Aku sudah menyiapkan semuanya, tapi rasanya masih ada serpihan hal yang kurang, sayangnya aku tidak dapat mengetahui apa.

Sudah seminggu lebih sejak aku memberitahu Caden mengenai tes kehamilannya. Sekarang kami hanya perlu menunggu beberapa bulan sebelum ada anggota baru dalam keluarga kami.

Aku masih berada di dalam studio, mengatur semua pakaian dan gaun yang belum dipajang di etalase. Aku tidak menyangka jika hidupku berakhir dengan mimpi yang terkabulkan, aku berterima kasih kepada banyak orang yang membantuku sejak awal.

Malam ini merupakan malam pembukaan bisnis busanaku. Aku menyewa bangunan dan mengundang banyak orang mulai dari perancang busana, model, selebriti internet, musisi, dan teman-temanku semuanya untuk hadir di acaraku ini.

Aku sangat gugup, ini pertama kalinya aku akan disorot oleh banyak orang. Aku sudah terbiasa hidup di dalam bayang-bayang keluargaku, tapi sekarang skenarionya sudah berbeda. Mereka ke sini untuk melihat hasil karyaku yang sebelumnya sudah aku promosikan di internet bersama dengan timku.

Ini merupakan malamnya.

"Flora. . . selamat, jumlah orang yang memesan pakaiannya naik sepuluh persen setelah peluncuran hari ini dibuka." Karla—anggota tim bagian statistik dan marketing—menunjukkanku tablet miliknya yang menunjukkan statistik pengunjung laman dalam real time. "Aku juga sudah memberikan prototipe produknya kepada tamu undangan. Kita hanya menunggu acara pembukaannya saja."

Aku mengangguk, menelan ludah dengan susah payah sebelum tersenyum ke arah Karla. "Terima kasih, aku rasa kau yang harus mengajukan presentasi di atas panggung setelah ini."

Karla meremas bahuku pelan sebelum tersenyum. "Kau akan baik-baik saja. Aku tahu ini launching pertamamu, tapi kau akan melakukan yang terbaik. Kita sudah membicarakan semua ini beberapa kali—kecuali jika kau memang tidak enak badan, maka aku dan Mark saja yang akan menggantikan." Karla mengerucutkan dahi.

Ah. . . tentu saja. Aku sedang masuk ke dalam trimester pertama. Rasanya sangat buruk. Aku tidak tahu jika masa kehamilan dapat buruk seperti ini. Kemarin aku harus bangun di tengah malam karena mimisan. Kata dokter itu sering terjadi pada ibu hamil karena perubahan hormon, tapi tetap saja, aku masih merasa was-was mengenai kesehatan kandunganku sekarang.

"Entahlah, jika aku enak badan aku akan naik bersama kalian." Aku mengaitkan kedua alis maaf.

Karla tersenyum. "Tenang saja, jangan terlalu dipikirkan—oh ya. . . kita mungkin harus menerima karyawan baru karena banyaknya pesanan hari ini, kau bisa melakukannya?

Aku mengangguk. "Perlu menunggu statistik akhir hari ini. Aku ingin mengadakan perbandingan akhir antara karyawan dan gaun yang harus mereka buat.

"Baiklah jika begitu, aku akan menerima semua pesanan ini sekarang sebelum memasukkannya ke dalam dokumen."

Karla mengangguk sebelum pergi meninggalkanku. Kini hanya ada aku dan beberapa prototipe baju yang sudah aku tata di dalam manekin busa. Saat pintu yang ada di hadapanku ini terbuka. . . semua orang akan dapat melihat semua desainku ini. Rasanya aneh, aku tidak tahu bagaimana pendapat mereka setelah ini. Apa mereka akan menyukai gaunku? Apa menurut mereka gaunku biasa saja? Ada kemungkinan buruk mereka akan membencinya.

Aku menarik napas, menarik lengan salah satu gaun yang terpasang dan merapikannya kembali. Ada dua lusin manekin penuh dengan gaun yang aku sketsa dua bulan yang lalu. Sekarang semuanya sudah terpampang rapi di dalam bangunan ini. Semuanya merupakan prototipe. Aku yang menjahit dan memotong semua kainnya. Ini semua karyaku. . . dan sebentar lagi orang-orang akan dapat melihatnya.

"Flora. . . kau masih di sini. Acara harus dibuka dalam sepuluh menit, kau harus membukanya, ingat?" Aku merasakan seseorang menepuk pundakku dari belakang.

Gabbie—penata acara yang aku sewa selama dua minggu ini—terlihat stres dengan banyaknya klip dokumen di tangannya. Aku melihat kening dan lehernya yang penuh keringat, hak sepatu yang ia gunakan sesekali membuatnya tersandung ke lantai sebelum aku dapat menangkapnya.

"Bukankah aku sudah berkata jika kau boleh mengenakan sepatu olahraga? Aku tidak masalah. Kau terlihat tidak nyaman dengan sepatu haknya." Aku meringis, melihat Gabbie yang melipat ujung karet sepatunya sampai membengkok agar kakinya dapat berjalan bebas.

"Aku tahu. . . tapi tetap saja. Kau harus keluar sekarang. Semua orang menunggumu di atas panggung." Gabbie tersenyum nesu sebelum ia berjalan melaluiku.

"Ya, tentu saja." Aku menarik napas dalam.

Aku membenarkan gaun yang aku kenakan. Gaun berwarna ungu muda dengan rajutan bunga di seluruh dada sampai ke bawah membuatku sedikit mewah. Lengannya menggembung sampai ke telapak tangan. Ada celah di bagian kaki kananku sebelum aku berusaha untuk kembali menutupnya. Aku tidak ingin menunjukkan kakiku yang tidak baik.

Caden masih belum membalas pesanku. Pria tersebut harus bekerja tengah malam karena harus menyetujui beberapa dokumen yang terbengkalai semenjak liburan akhir tahun. Dia mengatakan kepadaku bahwa ia akan datang. Aku tidak tahu kapan tepatnya ia akan datang, tapi ia akan di sini setelah menyelesaikan semua pekerjaannya.

Aku menutup kembali ponselku, berjalan keluar dari studio sebelum pergi ke belakang panggung. Semua timku sudah ada di sana. Mereka melambaikan tangan kepadaku sebelum mengangguk, tepat saat Gabbie menyuruhku untuk tampil di atas panggung.

Untuk sesaat dunia seakan bergerak lebih lambat dari biasanya. Aku memperhatikan semua tamu undangan yang bertepuk tangan saat aku tampil di atas panggung. Aku tidak tahu harus mengatakan apa meskipun sudah menyiapkan pidato sejak empat hari sebelumnya. Rasanya sekarang suaraku seperti diambil tanpa sepengetahuanku. Aku tidak tahu bagaimana harus mengembalikannya.

"Flora. . . bicaralah." Aku mendengar Gabbie berbisik di balik tirai panggung yang menutupi studionya. Aku tersenyum nesu, kembali menghadap ke depan sebelum menarik napas sekuat tenaga.

Aku membersihkan tenggorokan, menatap beberapa orang terkenal—yang tidak aku sangka menerima undanganku—tersenyum saat melihatku. Mereka orang terkenal. Aku tahu Caden sering melihat orang terkenal dalam hidupnya, kadang dia menyombongkan diri kepadaku. Tapi bagiku. . . ini sangat luar biasa. Aku tidak menyangka jika mereka menyempatkan waktu mereka untuk datang ke acaraku ini.

"Uh. . . selamat malam semuanya. Namaku Flora . . . Flora Green, aku merupakan pendiri Foremost. Malam ini merupakan malam pembukaan bisnis desainku. Sebelumnya aku ingin mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang telah hadir malam ini, aku sangat menghargainya." Aku menoleh ke bawah panggung, menyaksikan Tonya dan Jodi bersama suaminya melambaikan tangan ke arahku, tersenyum lebar saat mereka menunjukkan tas berisi gaun rancanganku.

Aku tersenyum kecil, mengusap bibir untuk menahan senyum sebelum melanjutkan, "Sejak aku kecil aku ingin menjadi seorang perancang busana. Jadi aku mulai menggambar sketsa di dalam kertas buku harianku, menambahkan warna ala kadarnya dengan pensil yang sudah berukuran jari kelingkingku. Lalu saat aku remaja, aku menyimpan uang untuk membeli mesin jahit saat berada di sekolah busana. Tapi sayangnya mesinnya rusak, sehingga mimpiku ini harus aku tangguhkan terlebih dahulu." Aku berhenti berbicara saat melihat Freddie dan Jack mengambil satu kue cokelat dari meja sebelum melahapnya dengan serakah. Sara melihat mereka, wanita tersebut langsung menyentil telinga bocah tersebut sebelum tersenyum canggung ke arah penjaga.

"Sekarang aku dapat membuka busananya dengan bantuan teman-teman dan juga keluargaku. Aku tidak tahu apa Caden sudah berada di ruangan ini sekarang. Dia berkata jika ia harus menyelesaikan semua dokumen yang ia tangguhkan sebelum libur akhir tahun," candaku yang membuat beberapa orang terkekeh, termasuk Parker, Jillian, dan Rosie yang duduk di bangku belakang sambil sesekali menenangkan Jillian yang memakan dua mangkuk puding.

"Aku hanya ingin menyampaikan bahwa aku tidak dapat berada di sini sekarang tanpa bantuan teman-teman dan. . . keluargaku, terima kasih semuanya karena sudah mendorongku untuk mengabulkan permintaan dan mimpiku sejak aku kecil. Aku sangat menghargainya." Aku menarik napas dalam, melihat Sydney dan Mal serta Poppy, James, dan Chao yang bertepuk tangan sambil bersiul. Aku rindu mereka semua.

"Aku tidak ingin kalian menunggu lebih lama mendengar ucapan membosankanku ini. Jadi. . . malam ini aku ingin menunjukkan dua puluh kloter awal gaun musim dingin yang ingin aku tunjukkan kepada semua orang. Kalian bisa melihatnya di studio. Aku harap kalian menyukainya, karena aku bekerja sangat keras untuk membuat semua gaun-gaun ini." Aku berhenti sebentar, melirik Gabbie yang mulai menurunkan tirainya sebelum studionya terbuka. "Tanpa menunggu lama lagi. . . Foremost secara resmi sudah dibuka, terima kasih atas dukungannya, dan semoga kalian menikmati malamnya!" Aku melambaikan tangan, tersenyum lebar sebelum turun dari panggung dan memeluk semua anggota timku.

"Aku yakin kau tidak mengatakan pidato lengkapnya ke semua orang." Mark memelukku erat. Aku sedikit skeptikal jika dia dapat datang malam ini, karena tadi pagi Mark mengatakan kepadaku bahwa ia harus mengurus karyawan yang bekerja di gedung bangunan kita. Ia juga harus menyortir beberapa pesanan sebelum mengirimkannya ke kantor pos untuk kloter pertama pemesanan.

Aku mengangguk, menggaruk tengkukku pelan sebelum tersenyum canggung menghadapnya. "Ya . . . terlalu gugup."

"Butuh Caden? Di mana dia omong-omong?" Vivian menepuk pundakku sebentar. Wanita tersebut masih mengenakan jas hitam yang sama dengan jas saat pertemuan kita kemarin.

"Kau yakin kau tidak butuh bantuan di sektor manajemennya? Aku bisa menambahkan orang untuk membantumu." Aku menatap Vivian sambil meringis.

"Tentu saja, tapi untuk sekarang kau harus fokus ke karyawannya." Vivian menunjukkan jempolnya ke arahku.

Aku mengangguk tidak yakin, memeluk wanita tersebut dengan erat sebelum melepaskan pelukannya.

"Apa kau baik-baik saja sekarang? Tidak lagi gugup?" tanya Karla.

Aku mengangguk. "Tapi aku rasa kau yang harus mengajukan presentasi kerjanya. Aku rasa ada beberapa perusahaan yang ingin bekerja sama dengan kita saat aku mengecek surat email tadi pagi."

Alfie keluar dari pojokkan, pria tersebut masih menatap layar laptopnya sambil berjalan ke arahku. "Ya. . . aku rasa kau harus menandatangani semua ini jika kau mau. Kita bisa mendapatkan pemasukkan lebih untuk bisnisnya."

Aku mendengus, menggembungkan pipi sebelum mengusap keningku yang kembali kedutan. Perutku rasanya seperti dililit, aku tidak bisa menahannya dengan lama, jadi aku menggeleng ke arah anggota timku sebelum berjalan melewati mereka, mencari kamar mandi terdekat sebelum menumpahkan seluruh isi perutku ke dalamnya.

Aku duduk menyamping, memasukkan kepalaku ke dalam toilet sambil sesekali mengusap perutku yang nyeri. Aku meringis, kembali mengeluarkan seluruh makanan yang aku makan sore ini dengan susah payah.

Aku bernapas ngos-ngosan, menahan jantungku yang berdegup dengan kencang sebelum menjatuhkan kepalaku ke bawah. Mengandung memang tidak menyenangkan.

"Flo? Hei. . . kau tidak apa?" Aku merasakan tubuhku yang digotong oleh seseorang yang baunya sudah terlalu familiar denganku.

"Ugh. . . kau telat." Aku menggeram, mengusap mataku perlahan sebelum mataku bertemu dengan Caden yang. . . berantakan. "Apa kau terlibat tawuran? Kenapa kau berantakkan seperti itu?" Aku tertawa seperti orang mabuk, mengelus pipi Caden sebentar sebelum pria tersebut menggelengkan kepala.

"Sejak kau mengandung kau jadi lebih menyeramkan, kau tahu." Caden menyibakkan anak rambutku ke belakang telinga sebelum mengusap bibirku dengan saputangannya.

Aku mengerucutkan bibir. "Salah siapa?"

Caden mendengus berat. Ia menggandeng tanganku keluar dari kamar mandi sebelum membawaku kembali ke tengah pesta.

"Kau yakin mau ke tengah-tengah pesta? Jika kau tidak enak badan kita bisa tinggal di sini selama yang kau mau." Caden mengelus perutku lembut.

Aku menggeleng. "Aku ingin menemui semua orang."

Caden mengangguk, menggandeng tanganku kembali ke pesta sebelum ia berhenti mendadak. "Aku ingin membicarakan tentang satu hal, tapi kita akan bahas besok pagi, oke?"

Aku mengangguk penasaran. "Oke. . . kenapa pagi?"

Caden mengecup pucuk kepalaku pelan. "Karena malam ini merupakan malam impianmu, Flo."

•••

Aku menggosok mata, menyiapkan sarapan sementara Caden masih bolak-balik di ruang keluarga sambil membawa surat di tangannya.

"Caden. . . kau tahu kau bisa memberitahuku, 'kan" Aku mengambil dua piring sebelum menyerahkannya kepada Caden. Pria tersebut langsung berhenti berpindah tempat. Dia mengambil piring sarapannya dariku sebelum duduk di sofa.

Kami berdua sarapan dengan diam. Caden bahkan tidak mengajakku berbicara. Yang aku tahu rahangnya hanya mengeras setiap ia menatap kertas di hadapannya.

"Itu surat kunjungan penjara. Aku memintanya dari Ben beberapa hari yang lalu." Caden mengusap bibirnya, memberikan suratnya kepadaku dengan ragu sebelum aku menerimanya.

"Uh. . . untuk keluargaku?" Aku bertanya, membuka surat tersebut yang berisi kunjungan dengan tanggal yang sama dengan hari ini.

"Aku tahu aku pernah berkata kepadamu untuk tidak mengunjungi mereka lagi, tapi aku sadar jika itu seharusnya bukan jadi keputusanku. Itu keputusanmu, Flo. kau bisa mengunjungi mereka hari ini atau tidak. Aku akan mengantarkanmu ke sana." Dia menelan ludah.

Aku tersenyum kecil, memperhatikan surat di tanganku sebentar sebelum menatap Caden yang nampak khawatir saat melihatku memegang suratnya. "Terima kasih. Aku mau berkunjung jika boleh."

Caden mengangguk sekali. Pria tersebut berdiri dari sofa sebelum mengambil piring kita berdua dan membawanya ke dapur. "Kita akan berangkat sekarang, siapkan dirimu."

Aku mengangguk, masih menggenggam kertas kunjungan di tanganku tersebut sebelum berlari ke kamar sambil memasang jaket dan sepatu.

Aku tidak bertemu dengan mereka selama satu tahun. Aku ingin tahu bagaimana kabar mereka. Aku tahu aku tidak seharusnya terus berhubungan dengan mereka, tapi kadang aku merasa buruk saat melihat bahwa aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Mereka masih keluarga. . . dari darah. Aku ingin tahu bagaimana kabar mereka.

Jadi Caden membawaku ke rumah tahanan yang terlihat sangat sunyi dari depan. Puluhan polisi dan penjaga berjaga ketat di setiap sudut dan pintu yang kita masuki.

Aku memberikan suratnya kepada salah satu sipir penjara. Mereka membuatku menunggu di dalam ruangan sendiri tanpa Caden yang berat hati tidak diperbolehkan masuk ke dalam bersamaku.

Di hadapanku sudah ada ruangan dengan kaca dan pengeras suara. Aku menoleh ke samping kanan dan kiri untuk menemukan penjaga yang berjaga di depan pintu.

Aku meneguk ludah saat melihat kaca yang ada di hadapanku menampilkan tiga orang yang aku kenal. . . tapi terasa seperti orang asing bagiku.

Ayah, ibu, dan Lila ada di hadapanku, perbedaannya adalah kini jarak kita terpisahkan oleh kaca tebal anti peluru. Untuk sesaat aku tidak tahu harus berkata seperti apa, tapi mungkin aku harus mengungkapkan isi hatiku kepada mereka. Apapun masalahnya.

Ayah nampak beda, aku melihat beberapa lebam di wajahnya. Aku juga melihat hidungnya yang membengkok ke kanan serta buku tangannya yang memerah. Pakaian yang digunakannya nampak kusam. Aku tidak tahu berapa lama ia sudah memakainya.

Ibu dan Lila juga nampak berbeda. Sangat berbeda. Aku tidak melihat riasan pada wajah mereka. Aku melihat jika mata mereka membengkak dan merah. Tirus wajah mereka nampak terlihat. Tatapan mata mereka tidak fokus. Wajah mereka bagaikan mayat hidup yang berjalan tanpa arah.

Aku tidak tahu jika hidup mereka kacau setelah keputusan hakim tersebut.

"Halo. . . ." Aku menemukan diriku membuka suara.

Mereka menatapku tajam, tidak berbicara satu katapun dan aku masih dapat melihat jika mereka sedang membayangkan untuk membunuhku dari balik kaca.

Aku menggembungkan pipi, bermain dengan tanganku yang mati rasa sambil menatap mereka satu persatu. Ini ide yang buruk.

"Aku minta maaf tentang kondisi kalian di tempat ini." Aku mengernyitkan wajah sebelum menarik napas. "Tapi aku tidak akan minta maaf mengenai perlakuan kalian kepadaku atau orang-orang lainnya. Itu bukan salahku. Dan aku tidak akan minta maaf karena terlahir sebagai seorang perempuan yang kau benci pada akhirnya. Itu juga bukan salahku. Salahku adalah. . . selalu membiarkan kalian menang dalam pertempuran mental kalian denganku."

Aku menarik napas dalam, meringis menatap mereka sebelum melanjutkan, "Kalian menganggapku sebagai sesuatu yang paling buruk dalam hidup kalian, tapi kalian harus sadar bahwa hal yang paling buruk yang harus kalian lawan adalah diri kalian sendiri. Entah berapa lama kalian memprojeksikan pikiran buruk kalian kepadaku, tapi aku tidak akan menyimpan dendam kepada kalian. Lagipula ada darah kalian dalam tubuhku." Aku menarik napas dalam, menatap ketiga orang tersebut yang masih terlihat ingin membunuhku.

"Aku bisa saja memberikan perlakuan yang sama kepada kalian seperti kalian memperlakukanku. Tapi itu bukan diriku. Aku punya banyak teman yang peduli denganku bahkan saat aku egois dan ingin menyimpan seluruh rahasiaku untuk diriku sendiri. Aku harap kalian juga menemukan hal yang sama."

"Aku di sini tidak untuk meminta maaf atau merasa buruk kepada kalian. Kalian tidak akan dengar tentangku setelah aku keluar dari pintu ini. Jadi aku akan katakan hal ini sebelum aku pergi; Aku tidak akan pernah minta maaf kepada kalian, tapi aku ingin kalian tahu bahwa aku juga tidak menyimpan dendam buruk kepada kalian. Aku harap masa depan kalian tidak seburuk yang kalian pikirkan. Aku harap kalian menemukan keinginan kalian setelah keluar dari rumah tahanan ini."

"BERENGSEK! Pengacau keluarga!" Ayah mendobrak kaca dengan keras sampai salah satu penjaga yang berjaga di pintuku segera datang dan menarik tubuhku menjauh.

"Pergi dari sini! Usir dia pergi!" Ibu memberontak saat dua orang penjaga menahan lengannya.

"Bawa aku pergi! Dia mengacaukan hidupku! Bukan aku!" Lila menangis keras hingga suaranya memenuhi ruangan. "Dia menghancurkan hidupku!"

Aku berjalan mundur, menggumamkan selamat tinggal sebelum petugas tersebut membawaku keluar ke ruang tunggu. Caden berdiri di sana, mondar-mandir sampai matanya bertemu denganku.

Dia langsung berjalan ke arahku, memelukku erat sebelum mengecup pucuk kepalaku beberapa kali. "Kau baik-baik saja? Aku dengar teriakan sipirnya."

Aku mengangguk. "Ya, baik-baik saja, mau pergi dari sini?" aku bertanya.

Caden mengucapkan terima kasih kepada beberapa penjaga sebelum ia menyeret tanganku keluar dari bangunan ini.

Aku menghembuskan napas dalam, mengelus dada beberapa kali sebelum masuk ke dalam mobil Caden.

"Ceritakan kepadaku." Caden menyalakan mesin, memutarbalikkan mobil sebelum kita keluar dari gerbang depan.

Aku tersenyum lega, menarik napas dalam sambil menatap Caden bersyukur karena dia merupakan keluargaku sekarang. Dan aku tidak perlu lagi merasa khawatir dengan hidupku lagi. Aku punya Caden dan teman-temanku yang lain yang dapat aku andalkan dalam hidupku di masa depan.

Aku memeluk Caden sekuat tenaga, aku tidak menginginkan yang lain kecuali dirinya. Caden berhasil menarikku ke atas permukaan air setelah aku tenggelam selama bertahun-tahun.

Kini aku mengambang bersama dengan cintanya, meskipun aku pernah menyerah dan membiarkan tubuhku tenggelam di dalam lautan penuh tinta impian yang kutulis sejak aku belia. Caden mengangkat tubuhku bersamanya, mengusap tinta impian terakhir yang aku kira akan lenyap bersama saat aku tenggelam.

Caden menyatukan kembali tinta hidupku, membuat tali penghubung bersama kita sebelum ia membuka lembaran buku baru, menorehkan semua tinta tersebut ke dalamnya sebelum memberikannya kepadaku sebagai hadiah.

Caden menunjukkan kepadaku apa arti sebuah cinta, hidup, pengorbanan, dan keinginan, dan aku ingin belajar tentang semuanya karena Caden semata. Aku ingin menjadi sahabat terbaik Caden sampai kami renta. Aku kembali bernapas di atas air karena Caden memeluk tubuhku dengan erat dan menolak untuk melepaskannya. Aku dapat bernapas dengan lega karena Caden menyelamatkanku dari diriku sendiri.

Kini aku dapat melepaskan semua tinta berisi harapan yang pernah aku inginkan, membiarkan Caden membantuku untuk membuka lembaran kehidupan baru bersamanya, kali ini tidak ada angan-angan dan impian palsu yang menusuk jiwa, hanya ada sebuah impian tulus bersama yang bahkan semuanya tidak dapat aku torehkan dengan kata-kata. Tapi bersama dengan Caden. . . aku akan mencoba. Karena dia berani mencoba dan merelakan banyak hal untukku, dan aku ingin melakukan banyak hal bersamanya, hanya kita berdua bersama dengan alam semesta.

Dimulai dari sekarang.

SELESAI

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 58K 67
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
43.9K 2.6K 44
Menunggu, sudah Sherlyta lakukan selama sepuluh tahun ini. Tak ada lelah meski kabar berita sekalipun tidak pernah mampir ke telinganya. Bosan kerap...
16.6M 705K 41
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
290K 18.9K 45
Pengumuman: Cerita akan diunpublish Jumat, 5 April 2024, pukul 06.00 karena sedang diajukan untuk proses penerbitan. --- Apa yang kau pikirkan tentan...