How We Fix Sorrow ✅

By TaliaMefta

65K 5.4K 392

Flora punya banyak nama, mulai dari "gemuk", "culun", "lemah", bahkan beberapa nama yang tidak senonoh lainny... More

Prolog
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36
BAB 37
BAB 38
BAB 39
BAB 40
BAB 41
BAB 42
Bab 43
BAB 44
BAB 45
BAB 46
BAB 47
BAB 49
BAB 50
BAB 51
BAB 52
BAB 53
BAB 54
BAB 55
BAB 56
Epilog
Bonus Chapter Info

BAB 48

1K 74 6
By TaliaMefta

Aku menatap jendela, melihat rumah-rumah di daerah pedesaan sambil membuka jendela mobilnya, membiarkan rambutku berkibar dan meskipun aku sedikit kedinginan. Tangan kananku ada di paha Caden, dia menahannya di sana dan bahkan tidak mau melepaskannya sehingga aku pasrah.

Caden sesekali mengecup tanganku sebelum meletakkannya kembali ke pahanya. Dia akan menengok ke arahku sambil tersenyum sebelum matanya kembali fokus ke jalan.

Aku menggenggam sebuket bunga matahari yang aku potong dari taman tadi pagi, menyelimutinya dengan kain yang aku jahit semalaman.

Caden berhenti di depan pekarangan penuh dengan nisan. Aku mencoba membuka pintu tapi dia tidak mengunciku dari dalam, menyeringai sebelum dia berjalan ke pintuku lalu membukakannya untukku.

Aku ingin berjalan sendiri, Caden sempat menolak permintaanku ini tapi aku memaksa, jadi sekarang ia tidak mau pergi dari sebelahku sementara aku turun sambil menerima tangannya.

Caden menggenggam tanganku, membawaku ke dalam jajaran makam sampai kami berdua berhenti pada salah satu makam yang masih terlihat baru, ada boneka yang aku kenali beserta bunga-bunga yang sudah layu.

Caden membantuku untuk berlutut, membersihkan rumput-rumput layu yang menumpuk sebelum aku membuangnya ke samping. Caden ikut membantu, dia membersihkan nisan Caden lalu menata ulang boneka dan bunga-bunga yang ada di depan nisan tersebut.

Aku meletakkan bunga matahariku di depan nisannya, menatap tulisan yang terukir sambil menggigit bibir.

Aku akan merindukan Eddie. Aku sedih saat kanker melawannya balik. Aku ingat terakhir kali aku bertemu dengannya adalah saat aku harus mengantarkan dia untuk tidur. Dia berkata jika dia mencintaiku, lalu aku membalasnya, mengatakan bahwa aku juga mencintainya sebelum mengecupnya.

Aku tidak bisa melakukan hal itu sekarang.

Aku ingin ada di sana saat detik-detik ia menutup mata. Aku masih belum rela meninggalkannya, Eddie merupakan adikku dan aku ingin selalu menjaganya.

Sayangnya tugasku gagal, Eddie meninggal saat aku sedang koma.

Aku mengusap air mata yang turun ke wajah, Caden berjongkok di depanku, mengelus pundakku pelan sampai aku berhenti terisak.

Kami menghabiskan waktu di sana selama lima belas menit sebelum kita kembali ke mobil. Caden harus kembali ke Kota London. Orang tua Caden semalam menelepon Caden, mereka ingin berbicara kepada Caden saat mereka mengadakan perayaan hari pernikahan mereka.

Caden sempat menolak, tapi aku menyuruhnya untuk datang, alasannya adalah karena orang tua Caden mungkin akan mengatakan hal penting kepada Caden, mereka mungkin punya resolusi atas masalah mereka.

Dia mengangguk ragu, sekarang dia menyetir menuju ke Kota London sambil sesekali menarik napas dalam. Tanganku yang ada di pahanya ia remas pelan, aku ikut mengelus tangannya pelan sambil tersenyum kecil saat dia menatapku.

Caden ingin mengajakku mengunjungi orang tuanya karena dia memaksaku untuk ikut, aku sempat menolak karena aku tidak ingin menambahkan masalah. Aku tidak pernah berbicara dengan mereka kecuali Parker. Terakhir kali aku melihat dua adik kembarnya mereka tertawa kecil saat aku makan malam pertama dengannya.

Aku akhirnya mengangguk dengan ragu, meyainkan Caden untuk mengunjungi orang tuanya. Ia mengatakan kepadaku bahwa hubungannya dengan orang tuanya tidak begitu baik sejak perjanjiannya dibatalkan.

Aku tahu jantungku berdegup kencang, menggigit bibir sambil menatap jendela untuk menenangkan diri. Aku juga tahu bahwa Caden merasakan yang sama. Ia sesekali menggerak-gerakkan pahanya pelan sambil bernapas acak.

Kami sampai satu jam kemudian, Caden memarkirkan mobilnya di tempat kosong. Halaman rumah Caden penuh dengan mobil-mobil mewah mengkilap, aku berharap bahwa tidak ada orang yang akan mengetahui tentang kita, tapi aku juga meragukan itu. Caden dan aku mengenakan cincin pernikahan kami, orang lain akan tahu mengetahui hubungan kami.

Caden menuntunku ke dalam, ada pelayan rumah Caden yang menyapa Caden sambil membungkukkan badan, Caden hanya mengangguk sebelum dia membawaku ke halaman belakang rumah Caden, melihat banyak orang sedang berbicara dengan beberapa pelayan yang membawakan mereka minuman lemon dan kue camilan.

Aku melihat arah mata Caden, dia sedang melihat orang tuanya sedang berbincang bersama dengan adik kembarnya di bawah gazebo. Caden menarik napas, menggenggam tanganku erat lalu membawa kita berdua berjalan ke arah mereka.

Samantha melihat kami berdua, tepatnya pada tangan Caden yang menggenggam tanganku erat. Wanita tersebut tersenyum lebar sebelum memeluk Caden dengan erat, mengecup pipi kanan dan kirinya sementara pria tersebut hanya berdiri diam, mengeratkan tangannya kepadaku.

Samantha tersenyum kecil ke arahku kemudian berbalik menuju ke gazebo, menuntun kami berdua untuk mendekati yang lain.

Langkah Caden berhenti, membuatku ikut berhenti mendadak sebelum pria tersebut menatap tajam pria yang ada di depannya. Warden, dia menatap Caden dari atas dan bawah, ikut menatap tajam Caden sementara Caden mengangkat dagunya, terlihat angkuh hampir menyalin ayahnya.

Jempolku mengelus tangan Caden untuk menenangkannya tapi mereka masih menatap satu sama lain dengan tajam, keadaan sedikit menjadi canggung di antara keluarga Caden dan aku tidak dapat berlari. Yang aku tahu Warden berjalan mundur saat istrinya menepuk dadanya pelan lalu menatapnya tajam.

"Terima kasih sudah datang, kita punya beberapa hal yang perlu kita diskusikan bersama." Samantha tersenyum sebelum ia menatapku. "Dan juga membawa Flora. Apa kabar, Flora. Aku harap aku bisa menjengukmu tapi Caden menolak," sindirnya kepada Caden.

"Karena kau percaya dengan Nelson daripada aku. Menurutmu kenapa aku menuntut mereka. Aku berusaha menyelamatkan reputasi publik perusahaan kalian dari mereka, sama-sama." Caden membuka suara dengan rendah, menatap ibunya tajam sebelum matanya memelas.

"Aku tahu, maafkan kami, aku pikir kau tidak punya segala buktinya dan hanya ingin memutus perjanjiannya." Samantha menatap Caden dengan alis terikat. Dia menggenggam tangan Caden sementara aku melepas genggamannya.

"Kalian tahu apa yang terjadi dengan Flora." Caden mengucap, menatap ibu dan ayahnya bergantian.

Samantha menggeleng sebelum menatapku sendu. "Tidak—tidak, kau tidak paham. Kita berdua tidak mengetahui apa yang mereka lakukan kepada Flora, kau harus paham itu."

"Kalian berempat berdiskusi membicarakan Flora sebelum menggunakan dalih Lila. Kalian tahu apa yang kalian lakukan." Caden berkata dengan kasar.

Samantha kembali menggeleng. "Kau tidak tahu. Aku tidak bermaksud menyakitimu, atau Flora. Kita benar-benar tidak tahu. Yang mereka bicarakan kepada kita adalah Flora tidak sedang membuka bisnis dan tidak berniat untuk membuka bisnis, hal ini dapat membantu perjanjian kita tentu saja."

Caden mencari-cari mata ibunya, hidungnya sedikit berkerut sebelum matanya menatap ayahnya kasar. "Kenapa kau marah saat aku melepas perjanjiannya?" tanya Caden kepada ayahnya.

"Profit, kau tahu aku menginginkannya." Ayahnya berkata datar.

Caden tersenyum mengejek. "Tentu saja, sama-sama karena telah membuat perusahaanmu lebih terkenal dan punya reputasi baik."

"Kau membuat Finley memasukkan kita ke dalam daftar merah, Caden." Warden menunjuk Caden dengan wajah merah.

"Koreksi, Keluarga Nelson, bukan aku." Caden menjelaskan. "Aku dan Finley baik-baik saja, lagipula ini bukan rencanaku—tapi terima kasih sudah mempertemukanku dengan istriku."

Rahang Warden mengeras. Mulutnya membuka tutup dengan keras sebelum ia menatapku kasar. "Dan aku pikir kau perlu menyingkirkannya karena istrimu juga bagian dari Nelson."

Aku berjalan mundur, menundukkan kepala sementara Caden menahan pinggangku untuk tetap ada di sebelahnya. "Tidak, aku rasa kau salah. Terakhir kali aku lihat dia merupakan seorang Green, bukan Nelson."

Warden tersenyum mengejek. "Aku tidak tahu jika keluarga Green punya seseorang yang lemah dan menyedihkan. Tidak bermartabat dan terlihat seperti penggali emas. Kau yakin kau tahu apa yang kau inginkan, Caden?" Dia menatapku sambil mengernyit.

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi aku dapat melihat Samantha yang berteriak saat Caden memukul pipi ayahnya dengan sangat keras hingga dia terjatuh ke bawah. Aku menutup mulut, mencoba menarik tangan Caden untuk menjauh tapi pria tersebut terus meninju Warden beberapa kali.

Parker datang entah dari mana sebelum ia menarik pundak Caden dan mendorong dadanya dengan kasar. Aku melihat ke sekeliling, beberapa rekan dan teman-teman Samantha dan Warden menatap kita ngeri, beberapa lainnya merekam kita dari ponsel mereka.

Ya Tuhan. . . ini sangat buruk. Aku seharusnya tidak datang kemari. Tidak ada dari kita yang siap untuk membicarakan mengenai perasaan kita kepada satu sama lain. Ini sebuah kesalahan besar.

Caden menunjuk ayahnya yang masih berbaring di bawah gazebo, Rosie dan Jillian membantu ayahnya sementara Samantha menoleh antara Caden, Warden, dan seluruh tamu di pesta mereka. "Kau tidak berhak mengatakan hak itu kepada istriku. Kau mengatakan jika kita keluarga bermartabat? Kau harus mengecek dirimu sendiri sebelum mengatai Flora, dasar pecundang!" Caden masih ditahan oleh Parker sementara aku menarik tangannya menjauh, meremasnya pelan untuk menenangkannya.

"Jangan pernah berbicara kepadaku sebelum aku melihat kalian semua meminta maaf kepadaku dan istriku. Aku tidak akan menginjakkan kaki di tempat ini sampai kau mengetahui ada yang salah denganmu." Ia menunjuk seluruh keluarganya. Aku dapat melihat Samantha yang menangis keras karena ucapan Caden. Jillian dan Rosie menatap Caden tajam bersamaan dengan Warden yang kini berdiri sambil mengusap hidungnya yang berdarah.

Aku menarik tangan Caden keluar dari rumah orang tuanya. Parker ikut mendorong Caden sampai kita bertiga ada di depan mobil. Parker mendorong tubuh kakaknya tersebut masuk ke dalam mobil sementara aku menggigit bibir sambil memainkan kedua tangan.

"Aku minta maaf sudah mengacaukan pestanya." Aku menatap Parker yang sedang memperhatikan Caden di dalam mobil, pria itu mengusap-usap kepalanya dengan kasar, hidungnya mengatup dan matanya merah.

Parker tertawa. "Tadi pertunjukkan bagus, aku hanya menyelamatkan Caden dari ayah. Aku tahu dia hanya ingin memancing amarah Caden."

Aku menarik satu alis. "Kau tidak marah?"

Parker mengibaskan tangannya ke udara. "Aku tidak peduli, aku sudah mengemas seluruh barangku untuk pindah bersama temanku di Birmingham."

Mataku membulat. "Birmingham?"

Parker tertawa kecil menatapku. "Ya, Birmingham, aku rasa Caden belum memberitahumu."

Aku menggeleng, Caden tidak memberitahuku apapun, mungkin dia tidak sempat. "Apa kau akan berkunjung ke rumah?" Aku bertanya.

"Ke rumah kalian? Tentu saja jika Caden tidak memberiku daftar hal yang tidak boleh aku lakukan saat mengunjungi rumah kalian." Parker tersenyum melihatku. "Senang bertemu denganmu lagi, Flora. Aku tahu Caden merupakan seorang pecundang yang harus menunggu dua tahun untuk menerimamu."

Aku tertawa kecil. "Dia tidak begitu buruk." Aku melirik Caden yang masih ada di dalam mobil, sesekali menatap kita tapi tidak ingin bergabung.

"Oke, baiklah. . . aku harus kembali berkemas. Jika ada waktu aku akan mengunjungi kalian." Parker menepuk kedua tangannya bersamaan.

Aku langsung memeluk Parker, berjinjit karena ia terlalu tinggi untukku. "Terima kasih atas catnya, Caden memberitahuku."

Parker tertawa sebelum mengelus punggungku pelan. "Sama-sama."

Kita berdua melepaskan pelukan kita bersamaan sebelum Parker menunjukkan jari tengahnya pada Caden sambil menyeringai. "Caden sedang menatapku membunuh saat kita berpelukan. Entah apa yang dia pikirkan tentang bocah hampir sembilan belas tahun membuat cemburu kakaknya, aku rasa dia cemburu karena kau dan aku lebih dahulu berteman daripada kalian."

Aku tersenyum mengangguk. Parker merupakan keluarga Green pertama yang menghabiskan banyak waktunya denganku. Aku bersyukur aku dapat mengenal Parker karena dia sangat menyenangkan untuk diajak berbicara.

"Sampai jumpa lagi, Parker." Aku berdadah kecil ke arahnya.

"Sampai jumlah lagi, kak." Dia mengedip ke arahku sebelum berbalik arah menuju ke dalam rumah.

Aku berjalan ke arah mobil, membuka pintunya sambil menatap Caden yang memainkan gantungan kuncinya.

"Aku minta maaf atas apa yang terjadi. Aku harap kau baik-baik saja." Aku membuka suara, menarik napas sambil menoleh ke arah Caden.

Dia mendongakkan kepala, menatapku pelan lalu menggeleng. "Bukan salahmu, berhenti minta maaf, Flora."

"Tapi apakah kau baik-baik saja? Maksudku aku yang menyarankan untuk datang kemari."

Caden berdecak meraih wajahku sebelum menciumku dalam selama beberapa detik sebelum ia melepasnya.

"Aku hanya ingin pulang." Caden menggumam.

Aku mengangguk menyetujui, pria tersebut langsung menyalakan mobil, berjalan melewati petugas keamanan sebelum kami berkendara kembali.

Caden tidak berkata apapun selama perjalanan, tapi tangannya beberapa kali menyapu kulit pahaku yang tertutup rok selutut. Aku kembali menjauhkan tangannya agar ia fokus berkendara tapi tangannya lebih kuat dariku.

Caden menyalakan radio, beberapa lagu yang Parker rekomendasikan kepadaku muncul di radio, aku menggumamkan lagu pelan sampai kita berada di area pedesaan selama satu jam berikutnya.

Tangan kiri Caden berjalan semakin atas ke pahaku, aku mencubit tangannya pelan tapi Caden malah meremas pahaku lebih kuat. Aku terkesiap sebelum mengubah posisi tubuhku.

Tangan Caden kembali turun ke lututku, menyibakkan rok yang aku kenakan sebelum memasukkan tangannya ke dalam dengan lembut. Jempolnya melingkar pada lututku sebelum dia berjalan lebih ke atas.

Caden kembali membawaku ke ujung dunia. . . aku rasa pria tersebut tahu apa arti kata bahaya. Di dalam mobil dia membuatku meneriakkan namanya. Entah kenapa aku tidak ingin dia berhenti melakukannya.

•••

Aku memotong kain-kain yang sudah aku tata di atas lantai. Aku berusaha untuk berjongkok, mengambil kain-kain yang sudah terpotong tersebut sebelum menempelkannya ke model manekin busa yang aku punya. 

Aku mengambil pin dan menusukkan kainnya ke manekin tersebut, kain-kain yang aku potong semakin membentuk sebuah gaun yang nantinya akan aku gunakan sebagai prototipe gaun untuk memulai bisnisku.

Aku menemukan beberapa orang yang dapat membantuku untuk mengurus bisnisnya. Setelah beberapa hari memilih orang-orang yang aku butuhkan, aku akhirnya dapat menentukan hari pertemuan kita.

Aku memilih beberapa orang dalam tim yang Caden ketahui. Nyatanya kita akan bertemu dalam beberapa hari dan aku harus menyiapkan seluruh prototipe pakaian yang aku jahit, termasuk gambaran sketsa dan juga gaunnya langsung.

Setelah pulang dari rumah orang tua Caden, aku memberikan ruang sendiri bagi Caden sementara aku mulai membuat sketsa model pakaian. Aku sudah membuat tiga model, hanya perlu menggantinya ke kain dan aku dapat menjahitnya.

Aku menarik napas, sebentar lagi merupakan waktu makan malam. Aku keluar dari kamar lalu berjalan menuju dapur, mengambil daging ikan yang masih ada di dalam plastik sebelum berjalan ke rumah kaca, mengambil beberapa rempah-rempah dan memotongnya.

Aku melihat resep memasak dari internet, tapi untuk kali ini aku menggunakan resep Lola untuk memasak makan malam hari ini.

Menghabiskan waktu tiga puluh menit aku mengambil piring dari laci yang ada di meja konter. Menambahkan daging ikan, telur setengah matang, kacang yang aku oven dan aku tambahi dengan seledri dan daun bawang serta jamur. 

Aku ingat bahwa Lola kadang memberiku makan malam ini sebelum bekerja. Ini merupakan makanan favoritku yang ada di Rumah Makan Lee. Aku harap aku bisa bertemu dengan Lola kembali untuk menanyakan lebih banyak resep darinya.

"Halo, aku membau makan malam." Aku melihat kepala Caden yang keluar dari sisi dinding dapur. Ia tersenyum ke arahku lalu menatap dua piring yang ada di atas meja konter.

"Halo, aku membuat makan malam." Aku menggaruk tengkuk, ini pertama kalinya aku membuat makanan di dapur karena Caden melarangku akibat kakiku yang belum sepenuhnya sembuh.

Caden mengangkat satu alisnya. "Aku tahu, kau membandel lagi hari ini." 

Aku mengangkat pundak. "Aku ingin membantu di rumah ini." 

Caden mengangguk kecil, membawakan piring kita ke meja keluarga sementara aku mengikutinya dari belakang.

Aku mengambil piring yang isinya lebih sedikit daripada milik Caden, mengambil garpu dan pisau sebelum memotong kecil ikannya. 

"Kau benar, kau harus sering memasak, ini rasanya enak." Caden menunjuk piringnya menggunakan garpu sebelum dia mengusap bibirnya pelan.

"Resep Lola, dia dulu sering memberiku makan malam ini sebelum aku bekerja." Aku berkata kepada pria tersebut.

Caden mengangguk, kembali menelan makanannya yang tinggal separuh. "Aku juga suka steak yang kau berikan kepadaku saat aku sakit waktu itu." Dia berkata dengan pelan.

Ah. . . steak yang aku masak saat Caden sakit asam lambung waktu itu. 

Aku tersenyum kecil, tidak membalasnya karena aku mengingat apa yang terjadi dalam alur waktu kejadian tersebut. 

Aku makan lebih lama daripada Caden. Dia berjalan ke dapur untuk mengambil cangkir dan gelas air minum sebelum kembali kepadaku, memberikan satu gelasnya kepadaku sementara dia minum pada cangkir yang aku berikan kepadanya beberapa tahun yang lalu.

"Kau masih menggunakannya?" Aku bertanya, melihat Caden menghabiskan air minum di cangkirnya sebelum ia melihat gambarnya.

"Ya, kenapa? Kau memberikannya kepadaku." Dia membolak-balikkan cangkirnya, memperhatikan lukisan yang ada di dalamnya.

Aku tidak menghabiskan makanku, mendorongnya pelan sebelum minum. "Entahlah, aku tidak ingin kau meminum catnya." 

Caden mengeluarkan napasnya cepat. "Oke? Hanya itu kekhawatiranmu?"

Aku mengangguk. "Ya, maksudku entahlah, mungkin efeknya jangka jauh." Aku menggigit bibir. "Aku tidak mau menyakitimu, kau tahu." Aku menggumam kecil.

"Aku tahu."

Aku mengangguk. Caden mengambil piring kita berdua bersama dengan gelasnya dan membawa mereka ke dapur. 

"Aku akan mencucinya." Caden menyalakan wastafel, menggosok piring-piring dan seluruh peralatan yang kotor sebelum memasukkannya ke mesin cucian.

"Terima kasih." Aku duduk di kursi yang ada di meja konter.

"Aku juga berterima kasih, makan malamnya enak, kau harus sering masak untukku." Aku tahu Caden hanya bergurau, tapi aku tidak keberatan untuk memasak untuk kita berdua, aku ingin berkontribusi dalam rumah ini.

Aku menggigit bibir, menatap Caden yang alisnya menyatu dengan bibir yang sedikit manyun. Aku harap dia benar-benar baik saja karena peristiwa tadi. Aku tidak mau menjadi penghalang antara Caden dan keluarganya. Aku rasa itu sangat tidak baik bagi hubungan kita berdua.

"Apa kau benar-benar baik saja tentang hal tadi?" Aku bertanya.

Caden mengerucutkan bibirnya ke bawah. "Ya, tenang saja. Aku hanya tidak ingin menghubungi mereka sampai mereka meminta maaf kepadamu." 

Aku mengernyit. "Aku baik-baik saja."

Caden menatapku dengan cepat sebelum ia mengusap kering tangannya dengan tisu yang ada di konter. "Kau seharusnya tidak baik-baik saja. Dia menjatuhkan namamu seperti itu dan aku tidak akan menoleransinya."

Aku memainkan bibir, menggembungkan sisi pipi kanan dan kiriku lalu menatap Caden yang datang ke arahku, menempelkan tubuhku ke konter lalu menjebakku di antara kedua tangannya yang ada di sisi kanan dan kiri.

"Aku harap kau tahu bahwa kau juga patut dihormati oleh orang lain. Kau juga harus tahu bahwa aku tidak akan berhenti membelamu jika ada orang yang berani untuk tidak menghormatimu, kau paham?" Dia berbisik di atas keningku. Aku memainkan kedua tangan lalu mengangguk kecil.

Tangan Caden menyibakkan rokku, memainkan tali celana dalamku sebelum melepasnya kencang. Aku terperanjat mundur dengan cepat sebelum Caden menahan tubuhku, mencegahku untuk jatuh karena kakiku yang melemah.

"Aku harus mengucapkan terima kasih kepada Sydney karena memberikanmu banyak gaun dan rok, kau terlihat sangat menawan saat aku memasukkan tanganku ke dalam sela pahamu." Dia tersenyum menggoda.

Aku masih menatap Caden, dia tersenyum manis sebelum mengangkat tubuhku, membuatku melingkarkan kedua kakiku pada pinggangnya. Aku meremas pundak Caden, menatapnya malu saat aku mendesah kecil karena Caden mendorong pinggulnya pelan ke arahku. 

"Mungkin kita harus melanjutkan hal di mobil tadi sekarang." DIa menggumam pada bibirku. Aku mencoba menempelkan bibirku padanya tapi dia bergerak mundur, masih menggendongku ke arah kamar kami. 

Caden melempar tubuhku pelan ke atas kasur, rokku tersibak hingga pinggang sebelum aku menariknya ke bawah. Pria itu merangkak di atasku sebelum melepas kemejanya. Aku dapat melihat bulu-bulu halus yang tumbuh pada dadanya. dia menatap mataku yang memperhatikan tubuhnya sambil menyeringai.

Caden kembali membawaku ke nirwana, menjajakan tubuhnya padaku hingga aku tidak dapat berhenti meminta. Panas dan gairah yang aku rasakan seperti gunung merapi yang ingin meletup, membawaku ke dunia lain sebelum Caden kembali menarikku kembali ke surganya, memeluk tubuhku bagaikan sebuah harta karun paling berharga baginya. 

Caden tahu apa yang aku minta—yang tubuhku minta. Dia memberikan semuanya kepadaku, membuatku tidak ingin berhenti meminta kepadanya. Caden merupakan pemberhentian terakhirku, tinggal di dalam naungannya membuatku mengerti apa artinya mencinta.

"Aku mencintaimu, Flora."

Aku terkikih kecil, mencoba mengatur napasku sebelum mengecup kelopak matanya. "Aku mencintaimu, Caden."

DIa menoleh menghadapku dengan cepat, melihatku yang tersenyum ke arahnya sebelum ia tertawa, meraba bibirku yang sedikit nyeri sebelum mengecupku dengan lembut, menghilangkan rasa nyeri dengan rasa manis bibirnya.

"Katakan lagi." Dia menggumam pada bibirku.

"Aku mencintaimu." Aku tertawa kecil.

"Lagi," perintahnya sebelum dia kembali mengecupku.

"Aku mencintaimu, Caden." 

"Lagi." Dia mengecup kening dan hidungku kecil.

Aku tertawa sebelum menatapnya, mengelus dagu lalu membuka suara, "Sampai kapan kau ingin aku mengatakannya?" 

"Selamanya."

Kami berdua tersenyum, menatap kerlap-kerlip di mata kami sambil tertawa bersama di dalam dunia kami.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dobel dobel update

Selamat baca semua!

Vote dan komen yuk! Terima kasih.

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 10.9K 23
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
1.6K 527 14
Selama mereka menikah 5 tahun lamanya, Pravara Pranatha tidak pernah berkeinginan untuk mencintai suaminya, Pandu Laksamana. Pun dia pikir sebaliknya...
295K 17.3K 58
Liliona tak percaya dengan perasaanya sekarang! ia bahkan menyukai anak bos nya sendiri! Ini benar-benar tak masuk akal! bagaimana bisa?? Ia tak pern...
42K 3K 44
[Completed] Noah Sebastian pernah menjadi dunia bagi seorang Caitlin Alistair. Tapi itu duluㅡsaat mereka masih remaja. Delapan tahun kemudian, siapa...