How We Fix Sorrow βœ…

By TaliaMefta

65.2K 5.4K 392

Flora punya banyak nama, mulai dari "gemuk", "culun", "lemah", bahkan beberapa nama yang tidak senonoh lainny... More

Prolog
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36
BAB 37
BAB 38
BAB 39
BAB 40
BAB 41
BAB 42
Bab 43
BAB 45
BAB 46
BAB 47
BAB 48
BAB 49
BAB 50
BAB 51
BAB 52
BAB 53
BAB 54
BAB 55
BAB 56
Epilog
Bonus Chapter Info

BAB 44

1K 93 4
By TaliaMefta

Aku sudah mendapatkan hasil scan otakku. Dokter Jackson tersenyum lebar saat memberitahuku bahwa tidak ada trauma besar dalam otakku, hanya saja saraf otakku terganggu karena pil yang aku gunakan. Sifatnya permanen, pihak rumah sakit tidak dapat membantu. Jadi kini tanganku akan bergetar tanpa sepengetahuanku, itu hasil dari penggunaan pilnya. Aku bahkan tidak tahu bahwa pil tersebut ditarik dari apotek karena tidak punya lisensi pengaman dari pemerintah. Aku mengetahuinya dari Caden saat dia menceritakan kepadaku tentang semua.

Sekarang aku bersama dengan Dokter Morgan, wanita tersebut membawaku ke ruangan terapi untuk memulai latihan otot. Aku ada di kursi roda, dia menuntunku ke beberapa ruangan sampai kita masuk ke dalam ruangan mirip gym. Ada beberapa orang di sana, utamanya pria yang berjalan di atas treadmill dengan tali di pinggangnya.

Dokter Morgan mulai memasangkan tali pada pinggangku, membawaku berdiri di atas treadmill sebelum dia menyalakan mesin tersebut dengan level terendah. Kakiku mencoba untuk mengikuti, pada awalnya aku bisa berjalan meskipun hampir terjatuh, tapi saat Dokter Morgan menaikkan levelnya, aku langsung terjatuh sebelum tali di pinggangku mencegahku untuk terjun bebas ke bawah secara langsung.

Kami melalui beberapa jenis latihan untuk melatih otot lengan dan kakiku. Aku tidak tahu apakah aku harus senang atau sedih saat melihat diriku yang kesusahan untuk berdiri seperti bayi. Aku tidak suka semua ini. Rasanya aku tidak bisa apa-apa, menyusahkan orang lain dan membuang banyak uang. Aku tidak pernah mau hal seperti ini terjadi kepadaku.

Caden dan aku membicarakan mengenai hal ini beberapa kali. Pria tersebut kembali membayar lebih banyak uang agar aku dapat menjalankan program fisioterapi ini. Aku mengernyit saat melihat lima digit angka muncul di dalam cek rumah sakitnya. Aku sempat menangis karena aku tidak ingin menjadi beban bagi Caden, sayangnya pria tersebut dengan sombongnya berkata bahwa uangnya masih tersisa banyak, ia punya banyak rencana yang ingin ia tunjukkan kepadaku saat kita pulang.

Dokter Morgan terus melatihku selama beberapa jam sebelum sesinya selesai. Dia memberikanku bola kecil dan aku harus menggenggamnya untuk melatih genggaman tanganku. Caden datang beberapa menit berikutnya, mengangguk kecil ke arah Dokter Morgan sebelum mendorong kursi rodaku keluar dari ruangan, membawa kita kembali ke kamar sementara pria tersebut menyiapkan makanan untuk kita berdua.

Aku meneguk ludah dan Caden menyadarinya. Dia membawaku ke sofa sebelum menyerahkan bubur dan daging di dalamnya. "Dua sendok." Aku berkata, melihat Caden mengernyitkan alisnya sambil mengambil makanan miliknya.

"Tiga, itu yang dikatakan terapismu." Caden menjawab tenang, melahap makanannya sementara aku meneguk ludah. Tentu saja terapisnya.

Caden mengatakan kepadaku mengenai seluruh hal yang aku lakukan kepada diriku. Ia berkata sejujurnya bahwa dia tidak dapat mengubah diriku untuk menjadi lebih baik, yang artinya tidak ada lagi memuntahkan makanan atau melukai diri sendiri. Caden menanyakan satu hal kepadaku; dia memberiku saran mengenai terapis untuk membantuku. Awalnya aku menolak, mengatakan jika aku baik-baik saja, tapi saat melihat Caden mulai membaca seluruh daftar kesehatan mental yang terapisku katakan tepat di hadapanku, aku langsung mengernyit tidak nyaman, akhirnya mengangguk setuju untuk mengikuti terapi hanya jika Caden ikut bersamaku.

Aku tahu aku tidak selanjutnya melibatkan Caden, tapi pria tersebut mengangguk cepat, mengatakan kepadaku bahwa ia akan mengikuti sesi terapiku bersama dengan terapis terbaiknya.

Aku merasa sedikit baik, tapi tentu saja insting intrusifku masih belum sepenuhnya ada di pihakku, kadang aku memikirkan mengenai diriku yang muntah di toilet atau menyakiti diriku. Terapisku mengatakan untuk melawannya, tapi juga tidak memicunya saat pikiranku sedang buruk.

"Flo? Kau tidak apa?" Caden menyenggol lenganku. Aku mengangguk sebelum memakan bubur yang masih hangat di hadapanku dengan tidak selera.

"Temanmu ingin berkunjung hari ini, mau aku bantu dengan apapun?" tanya Caden sambil memasukkan sendok makannya ke dalam mulut.

Aku memiringkan kepala. "Siapa?"

"Err. . . Jodi. . . dan Tanya?" Caden berbicara tidak yakin.

"Jodi dan Tonya?" Aku membenarkan.

Caden berdecak. "Ya, terserah." Dia memutar mata, menghabiskan makan siangnya sementara aku mengambil sendok ketiga dan memasukkannya ke dalam mulut.

Caden mengangguk kecil sebelum mengecup keningku pelan sebelum membawa seluruh makanan kita ke tempat sampah. Dia kembali sambil membawakanmu air minum dari atas kulkas. Aku berusaha membuka botolnya tapi sayangnya aku tidak terlalu kuat, jadi Caden mengambil botolnya dariku sebelum ia membukanya dengan mudah, memberikannya kepadaku dengan seringaian sombong di wajahnya.

Dia mendorong kursi rodaku ke sebelah kasur, pria tersebut menggendong tubuhku dengan mudah, meletakkanku ke atas kasur sambil membawakan botol minumku di tangannya.

"Terima kasih," ucapku bersyukur. Caden mengangguk, dia kembali ke ruang tamu sebelum mengeluarkan laptopnya.

Aku baru menyadari bahwa Caden dapat bekerja dari rumah sekarang. Pria tersebut mengatakan kepadaku bahwa dia tidak lagi mengurus perusahaan orang tuanya, jadi dia punya waktu lebih efisien untuk mengurus perusahaan barunya dan juga perusahaan gabungannya.

Jodi dan Tonya datang beberapa jam kemudian, membawakanku roti cokelat dan juga bunga matahari yang masih terlihat segar. Aku mengangguk kecil, kami bertiga saling berbicara mengenai apa yang terjadi dengan perpustakaan. Mereka mengatakan kepadaku bahwa mereka mempekerjakan orang baru untuk menggantikan posisiku. Aku mengangguk memahami sebelum kami membahas hal lainnya, dengan mengucapkan terima kasih kepada Jodi karena membawaku ke rumah sakit. Aku harap aku dapat membalas perbuatan baiknya. Jodi sangat banyak membantu sejak kami berdua bekerja di perpustakaan.

Kami bertiga berbicara selama dua jam sebelum mereka harus kembali, tidak lupa menyapa Caden sementara pria tersebut hanya mengangguk kecil sebelum dia kembali mengerjakan proyeknya dengan serius, bahkan tidak mendengar Jodi dan Tonya yang mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Aku penasaran dengan apa yang ia kerjakan.

Aku duduk di kasur, tidak tahu harus melakukan apa. Aku juga tidak ingin tidur, aku tidak lelah. Aku ingin turun dari kasur untuk melatih kaki dan tanganku. Aku mengambil bola yang Dokter Morgan berikan kepadaku sebelum meremasnya sekuat tenaga. Aku mengikuti cara yang diajarkan oleh Dokter Morgan agar kegiatan yang aku lakukan dapat menjadi efektif.

Dari belakang aku dapat mendengar Caden yang menutup laptopnya. Aku menoleh sebelum melihat Caden datang ke arahku, matanya menatapku lelah sebelum ia berdiri di hadapanku.

"Apa yang kau lakukan?" Dia menyibakkan anak rambut poniku. Aku bergerak mundur dengan tidak yakin. Gestur Caden selalu mengagetkanku. Aku masih tidak tahu alasan dia melakukan ini kepadaku, terakhir kali dia menyuruhku untuk keluar dari apartemennya sebelum semuanya terjadi.

"Kau sedang berpikir, aku dapat melihat alismu berkerut dan bibirmu sedikit manyun." Caden memperhatikan wajahku. Dia meletakkan kedua tangannya ke samping kanan dan kiri kasur, menjebakku yang meletakkan kedua tangan di depan dada. Aku membulatkan mata sebelum mengelus pipiku yang panas. Mendongakkan kepala ke Caden, aku dapat melihat pria tersebut tersenyum menang sebelum tangannya menangkup pipiku yang panas.

"Caden, apa yang terjadi denganmu?" gumamku. Caden meneguk ludah, senyuman menghilang dari wajahnya tergantikan dengan alis tebalnya yang menyatu.

"Sudah aku bilang, aku ingin mencoba ini, kita." Caden menjawab.

Aku menggigit bibir. "Aku tidak ingin kau berada di sini karena merasa buruk mengenai apa yang terjadi denganku."

Caden menghembuskan napas cepat. "Kau tidak tahu berapa kali aku harus menahan untuk mencium bibirmu. Aku menyukaimu. Sedikit terlambat mengucapkannya karena kau sedang koma. Aku mulai tertarik untuk memahamimu setelah membaca buku catatanmu—aku tahu aku tidak seharusnya membacanya—dan aku ingin mencoba ini. . . kita."

Aku melipat bibir sebelum menggembungkan pipi. "Aku hanya tidak mau kau memaksakan dirimu untukku karena kau merasa buruk. Aku tidak menginginkannya."

Caden mengangguk paham. "Aku tahu ini terlihat aneh bagimu, tapi aku menunggumu selama sembilan bulan. Aku menginginkan dirimu untuk selamanya sekarang."

Aku tersenyum kecil. "Bukankah itu terlalu awal. . . untuk menginginkanku selamanya? Kita tidak bersama."

"Tentu saja kita bersama, kau masih istriku." Caden menunjukkan jari manisnya kepadaku. Cincin pernikahan milik Caden yang aku selipkan pada tangannya masih ada di sana.

"Tapi kau bilang suratnya. . . ."

"Aku membuang suratnya, tidak membutuhkannya lagi." Caden berkata cepat.

"Oh, oke." Aku mengangguk tidak yakin, tidak tahu apa yang harus aku lakukan dalam situasi ini.

"Jadi apa kau mau mencoba hubungan ini? Aku tidak ingin memaksamu tentu saja, kita bisa memulainya pelan, aku akan menunggumu." Caden menangkup wajahku, mendongakkannya ke depan wajah dengan lembut.

Aku menatap matanya. Kedua tanganku masih meremas bola di baliknya. Mataku menatap Caden, aku dapat melihatnya yang menatapku lembut, matanya turun mengikuti jempolnya sebelum berhenti pada leherku.

Aku menelan ludah, mengangguk kecil ke arah Caden. Aku ingin mencoba hubungan ini, lagipula apa yang dapat aku hilangkan dari hubungan ini? Aku tidak tahu bagaimana cara orang menjalin hubungan bersama. Aku tidak pernah melakukannya, tapi saat Caden menatapku dengan lembut aku menginginkannya. Tidak ada orang yang pernah menatapku seperti itu dan Caden merupakan orang pertama yang mencoba. Aku ingin merasakan bagaimana jatuh cinta, dan entah kenapa aku mempercayakan Caden untuk membantuku merasakannya.

"Katakan padaku, Flo." Caden mengangkat wajahku. "Lebih dari anggukan, aku ingin mendengarmu."

"Ya." Aku mengangguk kecil. "Aku mau mencobanya." Aku menggigit bibir kecil sebelum Caden menempelkan jarinya pada bibirku.

"Oke, pertama-tama kau harus berhenti menggigit bibirmu, kau membuatku menahan sesuatu di dalam diriku sekarang." Caden menggeram kecil di balik telingaku.

"Maaf."

"Kedua, berhenti berkata maaf, kau tidak melakukan apapun." Dia terkekeh.

"Maa—oke." Aku berkata cepat.

Caden mengangguk. "Ketiga, jangan sungkan untuk memberitahuku tentang apa yang ada di sini," ia menunjuk kepalaku, "dan ini." Tangan Caden menunjuk jantungku.

Terbuka. Caden ingin aku terbuka kepadanya tentang perasaan dan apa yang aku pikirkan. Dia tahu menyatakan perasaan merupakan hal tersulit bagiku. Aku kehilangan beberapa orang tanpa mengucapkan apa yang aku inginkan kepada mereka.

Caden membaca bukuku, dia tahu semua yang aku katakan dan rahasiakan kepada orang. Aku seharusnya marah karena ia membuka buku rahasiaku, tapi aku juga harus menyadari bahwa ia dapat membantuku menjauh dari keluargaku karena bukunya.

"Aku akan mencoba." Aku mengangguk kecil. Aku tidak ingin berjanji, aku tidak tahu seberapa serius Caden menetapkan janji.

"Lebih baik. Jika kau membutuhkanku kau bisa memanggilku, jangan pernah sungkan." Caden tersenyum menawan. Rasanya sangat aneh karena aku sudah terbiasa dengan wajah seriusnya selama dua tahun—hampir tiga tahun sekarang.

"Apa aku mendapatkan hal yang sama darimu?" Aku bertanya. Apa aku juga mendapatkan hak untuk mengetahui seluruh hal yang Caden lakukan atau apapun yang terjadi dalam hidupnya? Aku tidak ingin dia mengatakan seluruh peristiwa di hidupnya kepadaku yang membuatnya tidak nyaman.

Kedua tangan Caden bergerak menuju pinggangku, mengelusnya lembut sebelum kepalanya menyusup ke leherku sampai membuatku terkesiap, tidak sengaja menjatuhkan bola milikku ke lantai. "Apapun kau kau mau, Flora. Apapun yang kau mau." Dia mengecup leherku lembut sebelum menghembuskan napas pada bekas kecupannya.

Caden menyeringai saat dia melihatku menjatuhkan bolanya. Dia mengambil bola tersebut dari lantai sebelum memberikannya kepadaku. Aku menggumam terima kasih sebagai jawaban.

Caden mengangguk, dia meletakkan kedua tangannya ke belakang kepala sebelum menarik kalung dengan liontin cincin yang aku punya. Cincin pernikahanku, aku baru sadar jika dia selalu mengenakannya. Aku tidak ingin bertanya kepadanya kenapa dia mengenakannya di leher, tapi aku tahu Caden memperhatikanku yang memperhatikan kalungnya tersebut beberapa kali.

Dia menarik cincinnya keluar sebelum memasukkan kalung tersebut ke dalam saku celana. Caden meraih tangan kiriku, menelusupkan cincinnya dengan lembut ke jari manisku sebelum dia mengecup jariku satu persatu.

Satu kecupan untuk jempolku, satu kecupan untuk jari telunjukku, satu kecupan untuk jari tengahku, satu kecupan lama pada jari manisku, satu kecupan untuk jari kelingkingku. Caden tersenyum kecil, bibirnya menyapu punggung tanganku sebagai kecupan terakhir. Aku memperhatikan jempol Caden yang meremas tangan kiriku lembut, melihat cincin lain yang sangat familiar sebelum aku mengetahuinya.

"Kau menemukan kado natalnya." Aku menjawab bingung. Aku seharusnya tahu bahwa Caden pasti menggeledah seluruh kamarku untuk mencari bukti di pengadilan. Aku tentu menyimpan seluruh hadiah tersebut ke dalam lemari, tertutup oleh pakaianku yang jarang aku kenakan karena ukurannya yang kebesaran. Caden juga pasti menemukan kado lainnya yang berniat aku berikan kepadanya.

"Aku mendapatkan kadonya dan juga ucapannya. Terima kasih." Caden memainkan jempolnya yang diselipi cincin dariku.

"Hanya kado kecil, aku tidak dapat memberikanmu sesuatu yang lebih mahal."

Caden kembali mengeluarkan napas dengan cepat. "Siapa peduli, kau memberiku kado natal dan aku menyukainya."

Aku tersenyum kecil sambil memainkan jari. "Kau menyukai topi rajutannya?"

Senyum Caden sedikit luntur. "Itu uhh. . . mungkin tidak."

Aku mengangguk memahami, menyembunyikan senyumku saat aku membayangkan Caden dengan topi rajutan di kepalanya.

"Jadi apa yang kau lakukan dengan kaki menggantung di kasur seperti sekarang?" tanya Caden.

"Mencoba praktik, aku ingin berjalan lagi." Aku menarik napas.

Aku meletakkan bola remasku ke atas kasur sebelum turun dari kasur, seakan tahu apa yang aku inginkan, pria itu menawarkan kedua tangannya kepadaku. Aku mencoba menggenggam kedua tangan Caden seerat mungkin sebelum ia menurunkanku ke lantai.

Caden berjalan menuntunku, kakiku sedikit bergetar saat aku mencoba menggerakkannya. Aku terus mencoba berjalan, Caden masih berdiri di depanku sambil menahan kedua tanganku dengan erat.

Kami berjalan menuju ke pojok ruangan sebelum Caden memutar arah. Aku melipat bibir sambil kembali mencoba berjalan. Caden sesekali memujiku sambil mengecup keningku sekilas saat aku mencoba berjalan lebih cepat. Tapi sayangnya jalanku semakin cepat, membuatku terjatuh ke bawah sebelum Caden menahan pinggangku.

"Sial. Kau tidak apa?" Caden menatapku khawatir.

Aku tertawa kecil. "Aku baik-baik saja."

Caden memutar mata. "Kau hampir membuatku jantungan." Dia kembali memegang tanganku, mengangkat tubuhku untuk kembali berdiri sebelum aku menatapnya bersemu.

"Kita akan kembaran." Aku kembali berjalan. Caden mendengkus pelan sambil kembali menuntunku untuk jalan.

Mataku beralih ke seluruh ruangan sampai berhenti ke arah pintu kamar rumah sakit saat ada dua pria yang tidak aku ketahui sedang menatap kita berdua. Aku memanggil Caden, melihat pria tersebut yang menoleh ke belakang sebelum ia melihat dua pria di depan pintu.

"Oh. Uhh. . . Flora, itu penyelidik dan pengacaraku. Andrew dan Ben." Caden menuntunku untuk duduk di ruang tamu.

"Halo, Flora. Aku Andrew, senang bertemu denganmu." Satu pria rambut pirang keriting menjabat tangannya ke arahku. Aku menatap Caden sebentar sebelum ia mengangguk.

"Flora." Aku tersenyum ragu sambil menjabat tangannya.

"Halo Flora. Senang bertemu denganmu, aku Ben." Pria lain yang berdiri di belakang Andrew melambaikan tangannya ke arahku. Aku melambaikan tangan balik sebagai jawaban.

Mereka bertiga berbicara pelan sebelum aku melihat mereka saling melirik ke arahku. Aku tidak tahu siapa orang ini, tapi Caden berbicara dengan nada profesionalnya, lebih tegas dan sedikit lebih rendah. Aku menelan ludah sambil merapatkan kedua paha, mendengarkan Caden berbicara kepada dua orang tersebut untuk mengetahui mereka sedang membahas apa.

Caden tidak peduli jika aku mendengarkan, mereka bertiga membahas mengenai rumor yang beredar di masyarakat tentang dirinya, karena itu Caden menuntut Ben dan Andrew untuk mengerjakan tugas mereka. Caden tahu bahwa para majalah akan menyebarkan rumor tentangnya. Ada banyak rumor yang dibicarakan oleh Ben dan Andrew, ada yang mengenai Lily, keluarganya, perusahaan barunya, bahkan aku.

Aku tidak ingin dikaitkan dengan hal, tentu Caden tahu karena tanpa berkata apapun dia langsung menyuruh Andrew untuk mengusut orang-orang untuk menghapus publikasi artikelnya, sementara dia menyuruh Ben untuk menyiapkan dokumen karena mereka menyalahi aturan penyalahgunaan nama baik.

Mereka bertiga selesai berdiskusi satu jam berikutnya. Andrew dan Ben keluar dari kamar dengan tugas baru yang Caden berikan kepada mereka. Setelah kedua pria tersebut keluar Caden langsung menarik napas, melepas jasnya dan meletakkannya ke atas sofa di hadapannya dengan tangan mengusap wajah.

"Kau baik-baik saja?" Aku bertanya, menggigit bibir kecil sebelum Caden meregangkan rahangnya, menggendong tubuhku secara tiba-tiba dengan menangkup lutut dan punggungku bersamaan.

"Aku akan baik-baik saja jika kau berhenti menggigit bibirmu itu, sayang." Dia membawaku ke kasur. Aku dapat melihat pakaian rumah sakitku yang sedikit tersibak ke atas hampir menunjukkan celana dalamku. Caden meliriknya kecil sebelum aku menariknya ke bawah menutupi lututku.

Caden menangkup wajahku, bibirnya mengawang pada pipiku. "Apa yang kau lakukan kepadaku, Flo." Aku menelan ludah, berbaring dengan kedua tangan yang menekan dada Caden yang hanya ditutupi kaos hitam kerjanya.

Caden menarik wajahnya mundur, menjauhiku sebelum aku tersenyum ke arahnya. "Jadi kau baik-baik saja sekarang?"

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
TBC

Vote & komen yuk!

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 12.9K 23
(βš οΈπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žπŸ”žβš οΈ) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. β€’β€’β€’β€’ punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
136K 12.9K 66
》Sequel Love Makes Hurtγ€Š β€’ β€’ β€’ Pernikahan yang Randa jalani bersama Dera rasanya sangat semu. Mereka memang menjadi orang tua yang baik untuk putra...
66.8K 5.5K 78
"Hai, Langit? Apa kabarmu hari ini?" Langit adalah salah satu hal favorit untuk seorang Claudia Issaura. Bagi gadis gempal itu, langit sangat menenan...
49.3K 3.2K 27
Isabella tidak mengerti mengapa Milo, putra tunggal dari keluarga Kingham, memilih dirinya untuk dinikahi. Rupanya Milo bersedia menuruti perintah or...