How We Fix Sorrow ✅

By TaliaMefta

65.2K 5.4K 392

Flora punya banyak nama, mulai dari "gemuk", "culun", "lemah", bahkan beberapa nama yang tidak senonoh lainny... More

Prolog
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36
BAB 37
BAB 38
BAB 39
BAB 41
BAB 42
Bab 43
BAB 44
BAB 45
BAB 46
BAB 47
BAB 48
BAB 49
BAB 50
BAB 51
BAB 52
BAB 53
BAB 54
BAB 55
BAB 56
Epilog
Bonus Chapter Info

BAB 40

1.1K 90 10
By TaliaMefta

Caden tertidur di kursi dengan Flora yang masih berada di hadapannya, masih tertidur, terlihat lemah, rapuh, dan masih dalam koma. Entah kenapa pria tersebut tidak bangun saat melihat perawat yang sedang mencoba membantu Flora.

Pria tersebut terbangun saat ia mendengar pintu kamar Flora terbuka, kali ini bukan perawat yang datang melainkan Dokter Alex dan juga Dokter Jackson. Kedua orang tersebut menatap Caden dengan satu alis terangkat. Caden yang masih baru bangun hanya mengucek mata sebelum ia berdiri dan membiarkan kedua dokter tersebut membantu Flora.

Caden tidak berkata satu katapun, ini terlalu pagi bagi otaknya untuk berfungsi. Caden hanya melihat kedua orang tersebut yang mengecek tubuh Flora selama beberapa menit. Caden tidak punya pilihan kecuali membuka suaranya untuk bertanya mengenai kabar wanita tersebut.

"Jantung dan darahnya? Stabil. Dia masih koma, kami akan terus memonitori jantung Flora selama beberapa bulan sebelum ia dapat keluar dari seluruh alat ini," ujar Dokter Alex kepada Caden sebelum ia mengernyitkan kedua mata, kepalanya memiring sambil berjalan ke arah Caden. "Kau suaminya? Bagaimana kau bisa tidak tahu mengenai hal ini?"

Caden menggelengkan kepala. "Keadaannya rumit." Caden tahu seseorang akan bertanya kepadanya mengenai hal ini, mengasumsi bahwa dia tahu apa yang terjadi pada istrinya yang tidak pernah berkomunikasi dengannya selama dua tahun.

Dokter Alex dan Dokter Jackson saling menatap satu sama lain sampai Dokter Alex memutuskan untuk keluar dari kamar Flora meninggalkan Dokter Jackson bersama dengan Caden.

"Kau tidak merayakan natal?" tanya Dokter Jackson kepada Caden.

Caden menggaruk dagunya pelan sebelum dia menggeleng. "Merayakan natal ada di daftar prioritas paling bawah mengenai hal yang harus aku prioritaskan sekarang."

Dokter Jackson mengangguk paham. "Baiklah, selamat natal untukmu."

"Kau juga." Caden mengangkat dagunya pelan.

Dokter Jackson melihat jam tangannya sebelum kembali menatap Caden. "Mau ke kafetaria untuk membeli segelas kopi?"

Caden menghirup udara, dia menggesek matanya kecil sebelum mengangguk. Caden butuh kafein hari ini, lebih banyak kafein untuk meringankan pikirannya.

Mereka berdua berjalan menuju ke dalam lift, tidak ada dari mereka yang mencoba berbicara. Dokter Jackson sesekali menyapa beberapa dokter dan perawat yang melewatinya dan Caden sebelum ia kembali menuntun Caden ke kafetaria.

Dia memesan dua gelas kopi panas dan roti rasa kopi yang masih terlihat hangat. Dokter Jackson memberikan satu gelas kopi dan rotinya kepada Caden sebelum pria tersebut sempat memprotes.

"Kau tidak menghabiskan waktu dengan keluargamu?" tanya Caden, menyeruput kopinya pelan sebelum meletakkannya lagi ke atas meja, memutar-mutar gelasnya pelan sembari menunggu jawaban Dokter Jackson.

"Mereka tahu aku tidak bisa menghabiskan waktu bersama mereka. Kau tahu, tugas dokter keluarga." Dokter Jackson terkekeh pelan sembari melahap rotinya.

Jam berkunjung masih belum dibuka, tapi dia melihat beberapa orang yang masuk ke dalam rumah sakit sambil mengenakan hiasan natal di seluruh tubuh mereka, dia tidak paham kenapa ini bisa terjadi.

"Bagian ruang anak-anak, biasanya keluarga mereka memilih untuk menghabiskan waktu di sini bersama anak mereka yang ada di rumah sakit." Dokter Jackson menjelaskan, matanya melirik kecil satu keluarga yang berjalan menuju ke dalam lift sebelum menghilang dari pandangan mereka.

"Apa kau akan di sini seharian?" tanya Caden penasaran.

"Ya, kau?"

"Entahlah."

Dokter Jackson terkekeh. "Flora akan baik-baik saja, dia hanya perlu sedikit dorongan hidup beberapa kali agar tubuhnya tidak sepenuhnya menyerah kepadanya."

"Itu terlihat buruk."

"Ehhh. . . tidak seburuk yang kau kira."

Caden melahap rotinya, pria tersebut seperti pria hilang karena keadaan tubuh dan wajahnya yang berantakan.

"Jika kau tinggal lebih lama di dalam rumah sakit kita bisa memindah ruangan Flora agar hanya dapat diakses oleh penjaga pasien sepertimu."

"Kau bilang dia ada dalam penanganan intensif."

Bibir Dokter Jackson terangkat sedikit. "Kau tahu ada ruangan lebih mahal di rumah sakit ini, 'kan?"

"Terlihat seperti penipuan."

"Ada di lantai tengah. Hanya ada beberapa ruangan di lantainya. Ruangan ini baru dibangun tahun kemarin karena banyak keluarga pasien yang menginginkan ruangan yang lebih privasi untuk anggota keluarga mereka."

Caden melahap rotinya kembali sebelum tersenyum miring. "Kau akan berusaha menguras uangku untuk wanita ini, ya?"

Dokter Jackson tertawa kecil. "Dia istrimu, dan kau punya uang banyak."

Caden memutar mata. "Kita akan bercerai."

"Kodenya adalah 'akan' yang berarti sekarang kalian masih berstatus suami-istri."

Caden berdecak pelan. "Ayolah, jangan bahas ini."

"Kenapa? Kau terlihat malu untuk mengungkapkannya?"

"Jackson. . . pernikahannya hanya ada di kertas."

"Tidak lama lagi."

Caden mendengkus, memilih menghiraukan Jackson yang terus menerus mencoba meningkatkan darah tinggi Caden.

"Jika kau memilih untuk memindahkan Flora ke tempat yang aku katakan, beritahu aku." Dokter Jackson mengecek jamnya, menepuk pundak Caden lalu pergi meninggalkannya.

Caden memijat keningnya pelan sebelum dia menarik ponselnya ke kepala.

•••

Caden ada di dalam kamar Flora. Dia memasukkan tanaman kecil Flora yang ada di balkon ke dalam kamar Caden agar dia dapat merawatnya. Entah apa yang Caden pikirkan, dia tidak pernah merawat tanaman sebelumnya, dia tidak punya usaha untuk membuang waktu seperti menyiram tanaman.

Dia berdiri di tengah-tengah ruangan Flora, mengambil kertas-kertas desain Flora sebelum memasukkannya ke dalam folder plastik kosong miliknya. Caden tidak tahu apa yang harus dia lakukan dengan gambaran Flora, tapi pria tersebut menyimpannya ke dalam boks kardusnya.

Caden punya rencana tempat tinggal baru, dia menyadari bahwa pria tersebut tidak dapat tinggal di dalam apartemen ini lagi karena dia tidak menyukainya. Alasan Caden memilih apartemen ini adalah agar dia dapat bangun lebih siang dan berkendara ke kantor lebih cepat.

Pria tersebut membutuhkan suasana baru. Dia punya beberapa rencana untuk memilih tempat tinggal barunya. Caden juga punya rencana kerja baru agar dia dapat mengurus dua perusahaan sekaligus tanpa membunuh energinya.

Setelah pulang dari rumah sakit Caden mulai mengemasi barang. Dia akan mengganti apartemennya ini menjadi fungsi lain sementara ia mencari tempat tinggal. Caden ikut mengemasi barang Flora, dia tidak tahu ke mana dia akan membawanya. Dia hanya memasukkan seluruh barang-barang Flora ke dalam beberapa boks sebelum menandainya dengan spidol hitam permanen pada permukaan boksnya.

Caden juga memilah-milah alat gambar, cat, kuas, beserta beberapa kanvas penuh yang ada di balik kasur Flora. Dia menyimpannya menjadi satu sampai Caden menarik napas kelelahan.

Ini bukan ekspektasi natal yang dia inginkan. Dia seharusnya menghabiskan waktu bersama dengan Neil. Mereka biasanya menghabiskan waktu bersama sebagai teman dekat dengan pergi berlibur bersama. Tahun ini beda. Sydney dan Neil akan menghabiskan waktu bersama sebagai keluarga.

Keluarga.

Kata itu sulit dipahami oleh Caden. Ibu dan ayahnya lebih mirip wali daripada keluarga. Parker? Mungkin dia merupakan keluarga bocah artistik tersebut. Jiwa bebas dan sifat sok-sokkannya kadang membuat Caden memutar mata. Tapi. . . Caden tidak akan ragu untuk melindungi saudaranya tersebut, termasuk dari gosip bisnis dan juga skandal keluarga yang menjadi hiburan orang-orang biasa. Ah. . . jiwa bebas Parker memang menyusahkan semua orang termasuk juga Caden sebagai anak tertua.

Parker merupakan keluarganya, mereka saling paham dengan keadaan masing. Mungkin itu merupakan prinsip keluarga Caden.

Bukan seperti Flora. Wanita malang tersebut hanya merupakan umpan keluarganya. Caden tidak bisa memahami wanita tersebut. Tapi, jauh di dalam lubuk hati Caden, pria tersebut ingin berusaha untuk memahami Flora. Caden ingin Flora kembali berubah menjadi bunga mekar yang menghiasi dunia. Dunianya.

Dia tahu dia bisa datang ke tempat keluarganya, tapi dia juga ingin menyendiri dan tidak ingin berbicara kepada orang lain, menurut Caden berbicara dengan orang lain dapat melelahkan jika pokok pembicaraannya tersebut tidak berbuah apapun.

Caden kembali menuju ke kamarnya, mengganti seluruh pakaian sebelum menata beberapa boks miliknya di depan pintu kamar. Hanya ada sisa kasur Caden, beberapa pakaian, dan benda di atas mejanya. Caden tidak peduli, dia dapat mengurusnya nanti saat semua ini selesai.

Sore harinya Caden kembali ke rumah sakit, dia menghabiskan waktu menonton acara televisi lewat laptop dan headphone-nya. Ia tidak ingin mengganggu Flora jika wanita tersebut dapat mendengarnya. Dia masih skeptikal dengan orang yang dapat mendengar saat koma, Caden selalu bersikap paranoid memikirkan orang yang koma dapat mendengarnya.

Caden menutup laptopnya pelan, sudah empat jam dia berada di depan laptop tersebut. Dia harus menuju ke kafetaria untuk mengambil makan malamnya, meninggalkan Flora sendirian selama beberapa jam sebelum kembali ke ruang kamar Flora dengan perut berisi.

Caden mendengus, dia harus mulai pergi gym lagi, dia sudah tidak pergi ke gym selama satu minggu karena mengurus kasus ini. Dia perlu mengalihkan pikirannya dari seluruh masalah dan gym dapat membantunya.

Kadang dia pergi ke gym bersama dengan Mal, Neil, kadang ia pergi bersama dengan pelatih gymnya. Dia juga kadang pergi bersama Lily, tapi yang wanita itu lakukan hanya duduk di pinggir sambil bermain dengan ponselnya atau dia akan lari di treadmill selama lima belas menit sebelum mengatakan kepada Caden bahwa sesinya sudah selesai.

Dia ingat saat Lily selalu menggodanya saat Caden berlatih di Gym, wanita tersebut akan tertawa sambil mengecup kening Caden sementara Caden akan langsung menggendong tubuh wanita tersebut sebelum memutarnya ke udara sampai tertawa lebar.

Caden mengusap wajah, hubungannya dengan Lily sudah berakhir, dia harus berhenti memikirkan wanita tersebut karena dia telah menyakitinya banyak waktu hidupnya.

Seperti Caden menyakiti Flora banyak waktu, mungkin ini merupakan karma bagi Caden.

Pria tersebut menggeleng, dia tidak mau membahas tentang semua ini tapi otaknya selalu membuat Caden selalu memikirkannya.

Dia berdiri di samping kasur Flora, Caden tahu sebentar lagi perawatnya akan datang untuk mengecek keadaan Flora. Caden melihat monitor Flora yang menunjukkan statis normal, tidak seperti apa yang dia lihat saat Flora pertama kali sampai di sini.

Saat pintu terbuka, perawat tersebut tersenyum lebar ke arah Caden sebelum ia mulai mengecek seluruh tubuh Flora. "Kau terlihat siap. Sudah terbiasa?" tanya perawat tersebut kepada Caden.

Caden hanya menggeleng kecil. "Hanya kebetulan."

Perawat tersebut menyeringai ke arah Caden sebelum mengambil krim oles di tangannya lalu menyerahkannya kepada Caden. "Kita akan memberikan krim ini untuk lebam dan lukanya agar tidak iritasi. Kau akan melakukannya, hanya mengambil kain kasa lalu menempelkannya pelan ke lukanya sampai rata."

Caden mengangguk kecil, melihat krim tabung kecil di tangannya sebelum pria tersebut mengambil kasa dari genggaman tangan perawat tersebut. Dia mulai mengoleskan krimnya ke wajah Flora dengan pelan, lalu menuju ke lehernya yang masih merah.

Caden kembali mengoleskan krimnya ke lengan kanan dan kiri Flora yang masih lebam, menyapu tangannya lembut ke luka goresan Flora yang sudah mengering.

Tangan Caden turun ke kaki Flora, ia mengoleskan krimnya ke seluruh bagian kaki Flora yang lebam dan juga terluka. Setelah dia rasa semuanya selesai, Caden memberikan krim olesnya kepada perawat tersebut sebelum mereka menggeleng.

"Kau melewatkan perut dan pahanya, tuan." Dia mengangkat gaun rumah sakit Flora pelan sampai Caden dapat melihat paha dan perut Flora.

Caden menelan ludah sambil berusaha menarik napasnya. Pria tersebut mengoleskan krimnya ke bagian perut Flora yang memiliki banyak luka lebam dan goresan kecil sebelum turun ke pahanya, mengoleskan krimnya dengan pelan dan lembut, entah kenapa dia mengernyit saat melihat luka di perut dan paha Flora, dia dapat merasakannya saat Caden mengoleskan krimnya.

Setelah semuanya selesai mereka berdua kembali mencoba untuk memindahkan posisi Flora dengan lembut. Caden mengangkat kepala Flora sebelum tangannya yang lain meraih bantal tidur Flora dan membalikkannya.

"Kau sudah paham rutinitasnya, selamat." Perawat tersebut mengangkat satu alisnya terkesan sebelum ia pamit keluar bersama dengan perawat lainnya.

Caden masih berdiri di sebelah Flora. Ia mengangkat selimut Flora agar menutupi seluruh tubuhnya. Tangan Caden meraih pipi Flora pelan sebelum mengelusnya. Pria tersebut dapat merasakan tulang pipi Flora yang terasa jelas di bawah kulitnya. Caden tidak peduli, tangannya masih mengelus lembut pipi wanita itu dengan pelan, duduk di pinggir kasur Caden meletakkan kepalanya menumpu kedua tangan di atas kasur.

"Selamat natal, Flora."

Caden menemukan dirinya berbicara. Pria itu meraih tangan Flora dengan lembut sebelum jempolnya mengelusnya pelan.

"Bangunlah," gumam Caden, menatap mata Flora yang masih tertutup, tidak bergerak sedikitpun.

"Bangunlah, kau harus bangun." Caden kembali menggumam, tangannya mengelus kening Flora pelan, melihat Flora yang tidak bergerak, masih bernapas tenang di bawah lampu rumah sakit yang menyala redup.

"Selamat malam, Flora."

•••

Caden berdiri di depan kaca rumah sakit, dia menyilangkan kedua tangan sembari melihat bayangan Flora dari kaca. Dari atas Caden dapat melihat pemandangan Kota London yang kerlap-kerlip di tengah malam.

Kaos lengan hitam panjangnya menunjukkan otot Caden dengan jelas, sesekali memutarnya pelan bersamaan dengan meregangkan sendinya yang nyeri.

Kembang api menyala bersahut-sahutan, ponselnya berdering beberapa kali tapi dia tidak menerimanya. Caden masih melihat kembang api di tengah kota yang terlihat sangat megah, dia harap ia punya orang untuk merayakannya bersama.

Caden tidak pernah percaya dengan resolusi tahun baru, dia mengatakan bahwa hal tersebut merupakan omong kosong besar yang diucapkan oleh banyak. Dia tidak tahu kenapa orang-orang dapat percaya dengan hal tersebut. Menurutnya itu merupakan sesuatu yang bodoh, jika kau menginginkan sesuatu kau harus bergerak untuk melakukannya. Hanya berharap tidak akan membawa orang ke mana-mana.

Tapi saat Caden melihat jam Big Ben berdentang di tengah malam, dia menutup matanya pelan, berharap dapat mengabulkan suatu resolusi yang ingin dia capai tahun ini, khususnya resolusi yang melibatkan wanita yang tidur di atas kasur rumah sakit sekarang.

Caden tidak tahu betapa ampuhnya hal ini, tapi dia melakukannya. Dia mengatakan apa yang dia inginkan dalam hati, berharap bahwa seluruh keinginannya dapat tercapai tahun ini. Semua keinginannya maksudnya, tanpa terkecuali.

Caden merasakan bahwa dia punya tahun yang panjang tahun ini, dia berharap bahwa dia dapat melewati semuanya tanpa halangan besar lainnya yang dapat membuat hidupnya semakin susah. Apalagi dia bertambah tua, untuk pertama kalinya dia ingin menetap tanpa harus peduli mengenai apa yang ada di masa depannya.

Caden memikirkan Flora.

Dia masih menyimpan kertas perceraiannya. Tidak memberikannya kepada Ben untuk diproses. Caden masih menyimpannya di dalam dokumen pentingnya. Dia ingin mencoba dengan Flora, entah apa yang akan Flora lakukan kepadanya saat dia sadar dan melihat Caden belum menceraikannya.

Caden berharap bahwa satu tamparan mungkin cukup untuk menyadarkannya bahwa Flora tidak menginginkannya. Atau lebih baik lagi Flora menerimanya. Lagipula Caden masih menjadi pria yang sombong dan percaya diri, di dalam dirinya dia punya kesempatan dengan Flora jika dia ingin mencoba menjalin hubungan.

Caden masih tidak ingin memikirkan mengenai menjalin hubungan, tapi jika di masa depan dia punya kesempatan untuk mencintai orang lain selain Lily, Flora merupakan kandidat terbesar yang akan berpotensi meluluhkan hatinya.

Entah Caden harus takut atau bersemangat, dia punya sedikit khayalan mengenai hidupnya dengan Flora jika pernikahannya dengan wanita ini berhasil.

Dia harap saat pernikahannya dengan Flora dahulu ia benar-benar tulus dengan sumpah pernikahannya, tapi—hei! Paling tidak sekarang dia ada di sini, menunggu wanita di hadapannya untuk membuka mata sembari memberikan waktu kepada dirinya untuk sembuh dari luka lamanya bersama Lily.

Caden butuh waktu, dan dia akan menggunakannya dengan sebaik mungkin.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Eeeeeeeeeeeyyyy. Aku balik, rasanya aneh pas mau upload Wedding & Wishes, soalnya log terakhir bab sebelumnya itu 8 Juni. Jadi udah seminggu lebih.

Tapi hei... bab baru udah di upload, semoga suka ya!

Makasih buat semua vote dan komen kalian :,)

-Talia

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 75.7K 53
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
627 59 9
Menceritakan tentang Y/n Rosehearts, ketua asrama Heartslabyul sekaligus crush dari si kembar leech dari octavinelle. "ne...Jade kingyo-chan imut ban...
49.3K 3.2K 27
Isabella tidak mengerti mengapa Milo, putra tunggal dari keluarga Kingham, memilih dirinya untuk dinikahi. Rupanya Milo bersedia menuruti perintah or...
734K 57.6K 24
Enam tahun setelah Remi membantu Bumi, dia kembali dipertemukan dengan lelaki itu dalam situasi tak terduga. Remi sedikit berdebar, apalagi saat Bum...