How We Fix Sorrow ✅

By TaliaMefta

64.6K 5.4K 391

Flora punya banyak nama, mulai dari "gemuk", "culun", "lemah", bahkan beberapa nama yang tidak senonoh lainny... More

Prolog
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36
BAB 37
BAB 38
BAB 39
BAB 40
BAB 41
BAB 42
Bab 43
BAB 44
BAB 45
BAB 46
BAB 47
BAB 48
BAB 49
BAB 50
BAB 51
BAB 52
BAB 53
BAB 54
BAB 55
BAB 56
Epilog
Bonus Chapter Info

BAB 18

742 82 4
By TaliaMefta

TW:/eating disorder

Aku memperhatikan semua orang di meja makan yang berbincang-bincang kepada satu sama lain. Aku hanya diam, sesekali menjawab singkat sebelum kembali menundukkan kepala sambil tersenyum paksa. Garpu dan pisau yang ada di kedua tanganku masih bersih, aku menelan ludah menatap makan malam di hadapanku ini.

Caden, ayah, Warden, serta Pak Finley berbicara lebih lanjut mengenai perusahaan mereka berdua. Samantha, Ibu, dan Evie mulai membicarakan hal yang tidak aku ketahui, mereka hanya berbicara mengenai pasar baru online yang menjual segala macam barang dengan pengiriman cepat. Aku benar-benar tidak tahu apa yang mereka diskusikan, jadi aku hanya diam sembari melahap makan malam di hadapanku, menutup mata erat sedetik saat makanannya masuk ke dalam mulut.

Aku menelannya dengan susah payah. Rasanya tenggorokanku tidak dapat menelan seluruh makanan ini tapi aku tidak dapat berhenti. Samantha dan Evie beberapa kali bertanya kepadaku kenapa makananku masih penuh. Aku tidak tahu harus menjawab apa jadi aku langsung menelan makanan di hadapanku agar mereka tidak menanyaiku kembali.

Aku menggeleng pelan sebelum menjauhkan piringnya yang tinggal setengah, otakku sudah memberikan perintah bahwa aku sudah kelewatan. Aku tidak bisa lebih banyak memakan makan malamnya karena perutku terasa sangat penuh. Aku bahkan tidak dapat menahan makanannya di dalam perutku, aku ingin mengeluarkannya dengan cepat.

Aku tidak dapat meninggalkan meja makan, seluruh orang masih bercanda dan berbincang. Menggigit bibir, aku menutup mata sambil memainkan jariku di bawah meja, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan pikiranku yang mulai berubah menjadi acak.

Caden sesekali berakting dengan tersenyum atau mengecup pucuk kepalaku sesudah dia tertawa bersama Pak Finley. Aku hanya tersenyum kecil masih memainkan jari. Perutku kembali berulah sebelum aku menarik napas dalam. Aku membersihkan tenggorokan, membuka suara sebelum Pak Finley menatapku sambil menungguku berbicara.

"Aku akan izin ke toilet. . . kau tahu." Wajahku mengerucut sementara Pak Finley tertawa kecil.

"Aku paham."

Aku mengangguk sebelum menunduk kecil kepada seluruh orang yang ada di meja lalu berdiri di belakang kursi sebelum aku menepuk tangan Caden pelan.

"Aku tidak tahu di mana toiletnya." Aku mengucap pelan.

Caden tersenyum pada seluruh orang yang ada di meja sebelum mengusap bibirnya dengan kain sapu tangannya. "Aku akan permisi mengantarkan istriku." Dia berdiri dan menuntunku masuk ke dalam lorong yang ada di depan rumah sebelum dia berdiri di depan satu pintu yang tertutup, aku membukanya dan melihat toilet di dalamnya.

"Kau bisa kembali, aku akan menyusul," gumamku.

Caden masih berdiri di depan pintu kamar mandi yang hendak aku masuki. Dia mengusap keningnya pelan beberapa kali sebelum berjalan menjauhi kamar mandi, ganti berdiri menyandar pada dinding lorong, sepenuhnya tidak mendengarkan apa yang aku katakan kepadanya barusan.

"Aku baik-baik saja, kau bisa pergi terlebih dahulu." Sekali lagi aku mengucap, melirik Caden sebentar sebelum masuk ke dalam kamar mandi. Aku menggigit bibir untuk mencegah napasku yang mulai tidak karuan.

Aku mengunci pintu toilet sebelum berlutut di depan toilet, memasukkan jari tanganku ke dalam mulut dengan susah payah. Seluruh makanan yang aku lahap langsung keluar dengan cepat. Aku mengeluarkan seluruh isi perutku dengan cepat, sesekali menyalakan pembersih toiletnya agar airnya kembali menjadi bersih.

Aku menarik ingus dengan kasar, mataku masih terasa panas karena perutku yang memaksakan seluruh isinya keluar kembali dari mulutku.

Aku yakin aku berada di kamar mandi tersebut selama kurang lebih sepuluh menit. Aku memasukkan kembali tanganku ke dalam mulut sebelum cairan sisa keluar dari dalam, hanya cairan air yang aku minum tadi di meja makan.

Berusaha sekuat tenaga aku kembali berdiri sambil membersihkan toiletnya. Aku berjalan menuju ke wastafel lalu mengusap kedua tanganku, tidak lupa mengusap bibirku sebelum kembali menggoreskan lipstik yang aku bawa di tas.

Kakiku yang mengenakan hak tinggi mulai terasa sakit, utamanya tumitku. Aku memutuskan untuk merapikan rambut sebelum kembali membuka pintu dan berjalan menuju ke meja makan. Mereka masih ada di sana sambil memakan hidangan penutup, yaitu roti dan puding yang dimakan oleh seluruh orang.

Aku kembali duduk di kursi, meminum air yang ada di atas meja untuk meredakan tenggorokan keringku.

"Kau menghabiskan waktu lama di toilet," ujar Pak Finley sambil melahap pudingnya.

Aku tersenyum sebelum mengerucutkan wajah. "Mungkin itu menjadi catatan bahwa aku tidak dapat memakan lebih banyak makanan lagi."

Pak Finley tertawa kecil. "Aku tahu rasanya, jadi aku dapat memahamimu."

"Terima kasih." Aku tertawa kecil sebelum memainkan gelas minumku dengan jari tanganku.

Acara makan malam berakhir dengan Pak Finley dan Evie yang berdiri dari meja makan sambil bersalaman dengan kami semua. Seluruh orang yang ada di meja makan, utamanya orang tua Caden mengantarkan mereka di depan rumah disusul dengan Ayah dan Ibu yang ikut masuk ke dalam mobil mereka. Tidak lupa dengan kaku mereka memelukku.

Ibu membisikkan sesuatu kepadaku, tapi aku tidak dapat mendengarnya karena klakson mobil Evie dan Pak Finley yang berbunyi bersahutan.

Aku melambaikan tangan kepada Pak Finley sebelum melihat ayah dan ibu masuk ke dalam mobil keluar dari pagar. Kini hanya ada aku, Caden, Samantha, dan Warden di pelataran.

"Kita akan langsung pulang juga." Caden mengangguk ke arah ayah dan ibunya bergantian sebelum aku menunduk pelan ke arah Samantha dan Warden.

Caden menarik tanganku menuruni tangga, jauh dari pelataran rumah sebelum kami berdua mendengar pintu rumah yang kembali terbuka. Semua orang yang ada di pelataran memfokuskan pandangan mereka. Aku dapat melihat Parker yang menggeram saat melihat ayah dan ibunya sebelum bibirnya tertarik ke atas saat melihatku.

"Kau. Ikut aku, aku butuh bantuanmu." Parker menunjukku dengan telunjuknya yang berwarna biru muda.

"Aku?" Aku ikut menunjuk diriku sambil memiringkan kepala.

Parker berjalan ke arahku sebelum ia melirik seluruh keluarganya. "Yap, aku butuh bantuanmu. Keluarga ini terlalu gila untuk dimintai bantuan. Aku bersyukur dan merasa kasihan kepadamu bersamaan." Dia menarik tanganku ke arah pintu rumah orang tua Caden, menghiraukan penjaga yang sedang berjaga di sana.

Aku dapat melihat Samantha yang berteriak kepada Parker sebelum menoleh menatap Caden yang mengerutkan alisnya.

"Kau butuh bantuanku juga?" tanya Caden kepada Parker.

"Nah, kau bisa pergi dengan kekasihmu. Aku tidak peduli, kalian cocok bersama," ucap Parker masih menyeret tanganku menjauh.

Masuk ke dalam rumah di bawah lampu terang, aku dapat melihat kaos Parker yang dipenuhi oleh cat, termasuk wajahnya juga. Dia berhenti menarik tanganku, masih menyuruhku untuk mengikutinya ke lantai atas sementara aku sesekali menoleh lantai bawah untuk melihat orang tuanya dan Caden yang melirik kita tidak yakin.

"Aku dan kakakmu harus pulang, Parker." Aku memainkan tanganku.

Parker merogoh ponsel yang ada di sakunya sebelum merengut. "Sekarang masih jam delapan, kau akan baik-baik saja."

Aku mendengus, mengikutinya dari belakang menuju ke pintu yang sudah dipenuhi banyak stiker dan coretan di depannya. Parker membuka pintunya sebelum aku dapat melihat kamarnya.

Dia mempersilahkanku masuk sementara aku melihat berbagai koleksi action figure yang berserakkan di lantai. Ada banyak cat di sekeliling ruangannya yang besarnya dua kali lipat dari kamarku ini. Di pojokkan ada beberapa gitar dan bass, bagian atasnya tertutup plastik yang dipenuhi cat melebut. Aku berjalan berhati-hati; pertama aku tidak mau tersandung kakiku sendiri; kedua aku tidak ingin menginjak koleksi barangnya yang berserakkan di lantai.

"Aku akan mengecat kamarku lagi, aku butuh bantuanmu untuk menggambar pohon di bagian belakang kasurku." Parker menunjuk dinding belakang kasurnya yang tercat warna abu-abu.

"Apa yang kau mau aku lakukan?" Aku bertanya penasaran.

Parker memberikanku berbagai macam kuas sebelum aku menerima semuanya.

"Kau bisa lepas sepatumu, omong-omong. Kau terlihat tersiksa saat aku melihatmu berjalan tadi."

Menggaruk tengkuk aku melepas tali sepatuku sebelum Parker meletakkannya ke pojok ruangan yang terlihat lebih bersih dari sisi ruangan lainnya. Aku bertanya kepada Parker mengenai gambaran referensi yang dia mau sebelum menunjukkan gambaran realistis pepohonan dan gunung yang ada di gambarnya. Aku mengangguk mengerti, mengambil kuas paling kecil dan mengambil cat yang dibawa oleh Parker kepadaku.

Aku mulai menggerakkan tanganku ke kanan dan kiri, membuat gambaran pepohonan ke satu sisi dindingnya. Parker menyalakan lagu di kamarnya sehingga kami dapat menyelesaikan gambaran kami dengan diam. Aku menoleh ke belakang dan melihat Parker yang sedang mengenakan masker sambil menyemprotkan cat semprotnya ke dinding.

"Kau yakin dapat tidur di sini saat kamarmu dipenuhi oleh bau cat? Terlihat tidak sehat." Aku bertanya.

Parker tertawa kecil. "Oke, Bu," ejeknya sambil mencipratkan catnya sedikit ke arahku.

Aku menganga tidak percaya sebelum mengelap wajahku yang terkena cat semprotnya. "Kau tahu aku besok bekerja, 'kan?"

Parker mengangkat pundaknya tak acuh. "Aku besok juga harus sekolah."

Aku berdiri menjauhi dinding Parker sambil memiringkan kepala, melihat bagian belakangnya sudah selesai sebelum Parker menyerahkanku warna cat selanjutnya yang terlihat lebih cerah. Warna hijau pucat yang hampir sama dengan dasar dindingnya.

"Aku benci mengelap wajahku karena cat." Aku berdiri di atas kursi, mengecat bagian atas kasurnya membentuk burung yang bertengger pada ranting pohon.

"Ya, sama. Protip, kau tidak usah membilasnya, pergi ke sekolah dengan cat menempel di wajah agar mereka mengira kau orang sibuk."

Aku tertawa kecil. "Entahlah, pekerjaanku melibatkan melayani banyak orang asing, aku tidak ingin kesan pertama orang melihatku adalah karena tubuhku penuh dengan cat."

Parker kembali menyemprotkan dindingnya. "Siapa peduli kata orang lain."

Aku.

Mengangkat pundak, aku menggigit bibir bawah sambil kembali mengoleskan kuasku ke dinding.

Pintu kamar Parker terbuka. Aku masih sibuk mengoleskan catnya sebelum tubuhku sedikit terhentak saat melihat Caden di depan pintu kamar Parker.

Caden—dengan jasnya yang berada di pundak serta kemeja lecek di selubung lengannya—mengangkat kedua alisnya ke arah Parker sementara lelaki tersebut kembali menyemprotkan cat di dekat Caden, tidak peduli jika kakaknya terbatuk akibat semprotannya.

Aku memiringkan kepala, sepenuhnya menghadap ke arah Caden sambil memegang kuas yang melumuri tangan dan gaunku. Untung saja gaun ini tidak terlalu mahal, aku dapat membersihkannya dengan air jika aku mau.

"Aku akan pulang, jika kau ingin pulang sekarang aku akan menunggu di mobil, ji—"

"Aku masih membutuhkannya untuk menyelesaikan kamarku. Apa kau tidak melihatnya di sana?" Dia menunjukku yang masih memainkan kuas di tanganku.

Caden berdecak kasar sebelum dia menatap saudaranya dengan tajam. "Aku berbicara dengannya, bukan dirimu."

Parker mengangkat satu alis. "Aku tidak melihat kau seperti seseorang yang peduli dengan ucapan orang lain. Kau dan aku tahu kau hanya ingin pulang, bro."

"Parker, aku berbicara dengan Flora, bukan denganmu," ucap Caden lebih keras.

"Aku akan menyelesaikan gambaran ini. Kau bisa pulang terlebih dahulu." Aku tersenyum sembari menunjuk dinding kamar Parker.

Caden mengangguk dengan alis terikat. "Sejak kapan kalian dekat dengan satu sama lain?"

"Shh. . . Caden, pergilah, kau mengganggu konsentrasiku." Parker menempelkan telunjuknya yang penuh cat ke bibirnya sambil melirik Caden tajam.

"Kau nampak mengerikan, bukankah kau harus sekolah besok? Aku tahu gadis yang kau sukai akan melihatmu penuh dengan cat dan mengira bahwa kau gila—tapi hei. . . paling tidak dia benar." Caden mengerucutkan bibirnya sebelum satu ujungnya terangkat kecil.

Parker kini membawa semprotan cat miliknya tepat di hadapan Caden. "Berhenti atau aku akan menyemprotmu sekarang. Kau tahu cat ini tidak mudah untuk dibilas," desis Parker sembari menempelkan telunjuknya pada cat semprotnya.

Caden masih tersenyum miring. "Kau terlihat marah, apa kau membutuhkan dot bayi agar bisa diam?" ejeknya.

Parker menjitak kepala Caden dengan cepat sebelum ia menggeram dan menggelengkan kepala. "Kau sangat berengsek, Kak. Sana pergi dengan pacarmu. Kalian sama-sama bermasalah, cocok bersama." Dia mengernyit ke arah Caden. "Aku akan mengantarkan Flora ke rumahmu dalam satu jam, dia hanya perlu mengerjakan detailnya." Parker menunjukku sementara aku hanya bisa mengangguk kecil.

Pria tersebut menggerutu sebelum ia keluar dari kamar Parker. Aku kembali mengerjakan lukisanku pada dinding dengan hati-hati, tidak ingin merusak detailnya karena aku tidak fokus mengerjakannya.

"Apa kau dan Caden akan baik-baik saja?" tanyaku tidak yakin.

Parker tertawa kecil sebelum kembali menyemprot kamarnya. "Ya, kita baik-baik saja. Tenang saja."

Aku tersenyum miring sebelum melirik Parker. "Jadi siapa gadis yang kau sukai di sekolah? Kau memberitahu Caden tentang hal ini?

Parker melipat bibirnya sebelum menggaruk tengkuk. "Hanya teman. Aku seharusnya tidak memberitahu pria berengsek tersebut mengenai gadisnya." Dia menggeram.

"Kau memberitahu Caden apapun?" Aku bertanya.

"Ya, kita kadang menghabiskan waktu bersama. Aku tahu kita berdua tidak terlalu dekat dengan Jill dan Rosie, mereka lebih dekat dengan ibu dan ayah. Jadi aku dan Caden menghabiskan sebagian waktu bersama." Parker merentangkan tangannya ke atas sebelum menyemprotkan catnya ke dinding kamarnya.

"Oh, aku tidak tahu jika kalian dekat." Aku menggigit bibir sembari meneruskan menggoreskan tanganku pada dinding di belakang kasurnya.

"Mungkin karena kita terlihat seperti ingin membunuh satu sama lain. Caden kadang menjengkelkan saat dia mulai membicarakan tentang obsesinya dengan kamera. Kau akan tahu bahwa dia tidak akan menutup mulutnya sampai ia menjelaskan semuanya kepadamu." Dia berhenti sebentar sebelum melihatku yang mulai menghembuskan napas dengan kasar. "Kau bisa istirahat jika kau mau." Parker membuka suara.

Aku menggeleng. "Tidak apa, hanya tinggal sedikit. . . lagi." Aku turun dari kursi sebelum berjalan mundur untuk melihat lukisannya dari jauh. Parker berdiri di sebelahku sambil berkacak pinggang.

"Itu yang aku inginkan. Kerja bagus, Flora." Dia menepuk pundakku pelan. Aku mengangguk sebelum kembali melanjutkan lukisanku yang hampir selesai.

Satu jam kemudian aku berbaring di kasur sambil mendengarkan Parker yang menceritakan sebuah cerita yang membuatku tertawa. Aku tidak tahu kapan terakhir kali aku tertawa seperti ini, tapi perutku sakit saat Parker mulai mempraktikkan gurauannya sampai dia terjatuh ke lantai hampir terkena cat yang jatuh ke lantai.

Aku duduk di pinggir kasur, menggoyangkan kedua kakiku sebelum meraih sepatu dan memakainya.

"Kau akan mengenakan sepatu hakmu?" Dia bertanya.

"Ya."

"Kau bisa bertelanjang kaki di dalam mobil, aku tidak masalah."

"Ya, tapi aku harus melewati orang tuamu."

Parker berdecak. "Aku yakin mereka sudah tidur sekarang."

Aku mengangguk tidak ingin mempermasalahkan Parker sebelum dia meraih kunci mobilnya di atas laci lalu menuntunku untuk mengikutinya menuju ke garasi mobil yang ada di samping rumah.

Parker membuka garasi lalu ia menyalakan mobilnya. Dia membukakan pintuku terlebih dahulu sebelum menyuruhku masuk sementara dia membuka pintu lainnya.

Dia dengan pelan menjalankan mobilnya keluar pagar sebelum kita ada di jalan. Dia kembali menceritakan sesuatu yang sangat lucu membuatku lagi-lagi tertawa. Untung saja keadaan jalanan tidak ramai, Parker berkendara santai sambil menyanyikan lagu yang diputar di radio.

"Ayo, menyanyilah!" Dia menunjukku sebelum aku menggeleng, mendengarkan lagu tidak familiar di radio.

"Aku tidak tahu lagunya," ucapku sejujurnya.

Aku dapat melihat Parker yang menatapku tidak percaya. "Kau seriusan tidak tahu lagu ini?"

Aku menggeleng. Lagu dengan beat bahagia dengan balutan elektronik bukan merupakan salah satu genre yang sering aku dengarkan.

"Lagu apa yang kau dengarkan?" Dia bertanya.

Aku menggerakkan bibirku ke kanan dan kiri. "Entahlah, aku tidak mendengarkan banyak lagu."

"Kau tidak seru." Dia kembali bernyanyi keras sementara aku hanya tertawa kecil.

Setengah perjalanan berikutnya dia mulai merekomendasikan lagu kepadaku, untung saja aku membawa buku catatan kecilku sebelum menuliskannya ke dalam buku catatanku. Dia terus memberiku berbagai macam jenis lagu sampai kami ada di lift apartemen Caden.

Lelaki tersebut menarik napas sebentar saat lift terbuka, dia tidak keluar, melainkan tetap tinggal di dalam lift sebelum dia menekan tombol bawah.

"Kau tidak ikut ke dalam?" Aku bertanya.

"Aku harus sekolah besok." Dia menjawab santai, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana jeansnya yang dipenuhi cat.

"Oke, selamat malam, Parker, hati-hati di jalan."

Dia tersenyum miring. "Selamat malam, Flora." Pintu lift kembali tertutup. Parker terus menyebutkan lagu-lagu yang harus aku dengarkan sebelum pintu lift tertutup rapat.

Aku masih berdiri di depan lift, mencatat lagu rekomendasi Parker satu persatu dari pikiran karena aku yakin aku melupakan satu atau dua lagu. Tangan kiriku yang membawa sepatu hak dan juga catatan mulai sedikit kebas. Tangan kananku masih mencatat lagu-lagu Parker sampai kembali melihat tiga halaman lagu rekomendasi dalam catatan kecil seukuran telapak tanganku ini.

Masih melihat daftar lagu-lagu ini aku berjalan menelusuri lorong ke lantai atas. Caden ada di ruang tamu sambil menonton televisi, di sebelahnya ada botol bir yang membuat rahangku mengencang. Dia menatapku selama beberapa detik dengan tatapan sayu.

Aku melirik botol birnya sebelum meneguk ludah. Pria tersebut nampak mengikuti arah pandanganku ke birnya sebelum dia meletakkan botolnya ke belakang sofa, jauh dari pandanganku.

Aku menggelengkan kepala, berlari ke lantai atas menuju ke dalam kamar, tidak lupa menguncinya dua kali sebelum aku berjalan mundur hingga menatap kaki kasur. Aku sudah tahu apa yang terjadi dalam skenario ini. Biasanya ada bayangan yang datang terlihat dari celah pintu bagian bawah kamarku sebelum gedoran terdengar dengan keras. Jadi aku melakukan hal selalu aku lakukan saat aku menjumpai skenario ini.

Aku mulai memejamkan mata sambil mengeratkan kedua tanganku ke dada.

Aku menutup mata dengan kasar menunggu gedoran pintu yang sangat familiar denganku, tapi setelah tiga menit berdiri di depan pintu, aku tidak mendengarkan gedoran pintunya.

Aku menghembuskan napas lega, meletakkan seluruh barangku ke atas kasur sebelum aku menarik napas. Berjalan menuju ke wastafel sambil membuka obat pilnya. Aku rasa aku butuh memakan lebih banyak pil karena aku makan hari ini.

Jadi aku makan pilnya tiga sekaligus, dan dua pagi harinya.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Bab 17 dan 18 sudah di upload. Ada update tanpa jadwal yang mau aku upload untuk bab ini. Semoga suka dengan babnya.

Untuk dua bab ini mungkin termasuk jadi bab filler, tapi di sini aku mau nulis lebih banyak tentang keluarga Caden dan hubungan mereka.

Terima kasih buat vote dan komennya! Seperti biasa terima kasih banyak teman-teman!

—Talia

Continue Reading

You'll Also Like

618 59 9
Menceritakan tentang Y/n Rosehearts, ketua asrama Heartslabyul sekaligus crush dari si kembar leech dari octavinelle. "ne...Jade kingyo-chan imut ban...
733K 57.5K 24
Enam tahun setelah Remi membantu Bumi, dia kembali dipertemukan dengan lelaki itu dalam situasi tak terduga. Remi sedikit berdebar, apalagi saat Bum...
1.6K 527 14
Selama mereka menikah 5 tahun lamanya, Pravara Pranatha tidak pernah berkeinginan untuk mencintai suaminya, Pandu Laksamana. Pun dia pikir sebaliknya...
289K 18.9K 45
Pengumuman: Cerita akan diunpublish Jumat, 5 April 2024, pukul 06.00 karena sedang diajukan untuk proses penerbitan. --- Apa yang kau pikirkan tentan...