How We Fix Sorrow âś…

Par TaliaMefta

65.1K 5.4K 392

Flora punya banyak nama, mulai dari "gemuk", "culun", "lemah", bahkan beberapa nama yang tidak senonoh lainny... Plus

Prolog
BAB 1
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36
BAB 37
BAB 38
BAB 39
BAB 40
BAB 41
BAB 42
Bab 43
BAB 44
BAB 45
BAB 46
BAB 47
BAB 48
BAB 49
BAB 50
BAB 51
BAB 52
BAB 53
BAB 54
BAB 55
BAB 56
Epilog
Bonus Chapter Info

BAB 2

1.6K 135 11
Par TaliaMefta

Aku memperhatikan amplop-amplop cokelat berjejeran di depanku. Beberapa jumlah uang sudah aku kelompokkan berdasarkan apa yang aku tabungkan sejak empat tahun yang lalu. Nyatanya aku kembali memijat kening bingung. Sambil menggigit bibir, aku membolak-balikkan amplop-amplop tersebut berdasarkan prioritasnya.

Aku belum dapat mendapatkan mesin jahit yang aku inginkan. Aku sudah mencoba menabung selama beberapa tahun setelah aku berumur delapan belas. Tahun pertama mesin jahit yang aku inginkan sudah terjual habis. Tahun ketiga mereka kembali memproduksinya lagi, sayangnya mesin jahit yang aku dapatkan kembali rusak bahkan sebelum aku mendapatkannya. Tahun keempat aku memutuskan untuk menggunakan tabunganku untuk hal lain. Tentu saja aku masih menginginkan mesin jahitnya; aku masih ingin mencoba menjahit seperti dulu.

Tabungan berikutnya merupakan tabungan menyewa bangunan. Aku menginginkannya untuk membuka bisnis pakaian setelah mendapatkan semua uangnya. Tabungan selanjutnya merupakan tabungan apartemen. Aku tidak ingin terus tinggal di rumah ini. Ayah dan ibu mengatakan kepadaku bahwa aku hanya membuang waktu mereka, mungkin karena aku tidak melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, atau karena aku bekerja upah minim padahal keluargaku merupakan keluarga yang berkecukupan tinggi.

Mereka tidak memberiku solusi untuk menyelesaikan masalah, yang aku tahu, aku tidak dapat lagi mendaftarkan diri ke perguruan tinggi. Selanjutnya mereka meminta uang bulananku sebagai biaya sewa karena masih tinggal di sini.

Mereka kadang menertawakanku karena keadaan fisikku yang tidak terlihat perfeksionis seperti mereka. Ideologiku retak dan buram ketimbang mereka. Karena itu aku mengatakan kepada diriku berkali-kali bahwa aku ingin mengakhiri semuanya dengan cepat.

Aku menarik napas sebelum menarik tabungan berikutnya. Kanker. Uang bulananku aku simpan untuk pengobatan kanker, terutama obat-obat beserta pemeriksaan rutin. Aku tidak terlalu memiliki banyak pengeluaran, kadang uang sisa yang aku dapat dari gaji aku gunakan untuk berdonasi. Ini merupakan langkah kecil bagiku untuk memberikan sesuatu kepada orang-orang yang lebih membutuhkan daripada aku.

Seluruh tabungan ini masih belum terisi penuh dengan uang. Aku masih harus bekerja sekitar sepuluh tahun lebih untuk menuntaskan semua tabunganku, khususnya tabungan apartemen dan bangunan toko.

Aku mengambil satu amplop sebelum memasukkannya ke dalam tas ransel milikku, satu amplop dengan isi yang sudah cukup.

Aku menatap amplop-amplop yang lain sebelum memasukkannya kembali ke dalam boks berisi buku-buku milikku. Tidak ada orang yang dapat menemukan boks-boks ini karena aku menyimpannya di bawah lantai kayu di bawah karpet yang dapat aku bongkar pasang.

Mengenakan jaket, aku berjalan ke lantai bawah sebelum keluar dari rumah. Jalanan terlihat lebih sepi karena hari ini tanggal merah, masih ada beberapa orang yang melintasi jalanan London di pagi hari, utamanya para pembersih pelataran dan pembuang sampah. Beberapa orang penjual koran dan para tunawisma masih mengitari sepanjang jalanan balutan beton sambil meminta kepada orang di jalan.

Sekarang pukul sembilan pagi. Aku bergerak melangkahkan kaki ke salah satu tempat yang biasa aku kunjungi saat akhir bulan. Tempat penampungan hewan selalu ramai dengan hewan-hewan terlantar yang para aktivis hewan dan warga lokal berikan. Aku masuk ke dalam dengan sambutan Gibson, pengurus penampungan hewan yang aku kenal semenjak aku remaja.

"Selamat pagi."

Gibsom mendongak ke atas dari kertas yang ia tatap selama beberapa detik. "Halo, Flora. . . akhirnya mau mengadopsi satu atau dua?" Dia bertanya, seringaian terukir di bibirnya.

Aku tertawa kecil sebelum menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu, tapi aku membawa ini." Aku membuka ransel sebelum memberikan amplopnya kepada Gibson. Pria tersebut menatapku halus sebelum menggelengkan kepalanya.

"Aku yakin kau masuk ke dalam tom donator bulan ini. . . dan bulan sebelumnya. . . dan sebelumnya." Gibson tersenyum kecil sambil meraba amplop yang aku berikan kepadanya beberapa detik yang lalu.

Aku menatapnya sambil menunjukkan gigi. "Aku punya tabungan sisa, aku harap aku bisa membantu dengan memberikan mereka sanitasi baru."

Pria itu menggeleng pelan sebelum tersenyum kepadaku. "Terima kasih." Aku mengangguk cepat sebelum ia berdiri dari kursinya. "Oke, kau mau bertemu mereka?" tanyanya antusias. Aku kembali mengangguk, tersenyum lebar sambil membuntuti pria tersebut dengan bibir tersungging ke atas.

Gibson memasang topi basebalnya sambil membawa rentetan kunci di saku celana linennya. Aku mengikutinya dari belakang, mengintip pintu setelah dia membuka tiga pintu yang mengarah ke tempat kucing, anjing, serta hewan lainnya.

Aku masuk ke ruang anjing, sesekali menoleh ke kiri dan kanan untuk melihat lebih banyak kandang yang penuh dengan anjing-anjing baru yang belum aku jumpai beberapa bulan terakhir.

"Beberapa datang dari aktivis hewan yang menemukan mereka di rumah besar tidak berpenghuni. Mereka asumsikan pemilik rumah tersebut merupakan seorang fast breeder yang ingin mendapatkan keuntungan langsung." Dia berdecak kasar. Aku melihat satu anjing chihuahua yang memojok di ruangan sambil sesekali meringik ke arahku.

Aku terus berjalan ke sekeliling ruangan sebelum menyipitkan mata. "Di mana Bonnie?"

Gibson menarik napas dalam sebelum menatapku dengan alis menurun. "Suntik mati, kankernya menyebar dengan cepat dan kita tidak punya banyak uang untuk menanggulanginya."

Aku menggigit bibir bawah. Bonnie—anjing pug umur sepuluh tahun yang di bawa ke sini karena keluarganya yang dulu tidak mau mengurus setelah dia terkena kanker. Bonnie kehilangan dua bola matanya, membuat pug tua itu buta total, tapi dia sangat manis, sangat disayangkan bahwa hidupnya tidak berakhir dengan baik.

Gibson meninggalkanku di dalam ruangan sendiri. Ada area bermain anjing yang biasanya aku gunakan untuk melatih anjing dengan perintah-perintah sederhana. Aku mengeluarkan satu anjing dari kandangnya sebelum mengajak mereka bermain di taman belakang, lalu berganti ke anjing lainnya. . . dan lainnya.

Mengusap keringat aku menatap jam tangan. Pukul dua siang. Aku mendapat pesan dari Ibu yang menyuruhku untuk pulang, entah apa yang ia rencanakan, aku harap bukan hal buruk.

Menutup pintu anjing dari luar, aku berjalan menuju ke ruang utama, melihat Gibson yang sedang melayani salah satu keluarga dengan dua anak sepuluh tahun di depannya. Aku menunjukkan jempolku kepadanya sebelum keluar dari tempat tersebut. Menaiki bus aku menunggu setengah jam sebelum dapat kembali ke rumah.

Di depan pintu sudah ada ibu yang menyilangkan kedua tangan. Ia menatapku tajam sebelum hidungnya mengerucut. Wajahnya dilapisi oleh masker berwarna putih dan hijau sementara di tangannya membawa roller wajah.

"Dari mana kau?" Ia bertanya sambil berjalan mundur agar aku tidak bersentuhan dengannya.

"Pusat kota, jalan-jalan," gumamku.

"Baumu seperti orang gelandangan. Cepat ganti baju, kita diundang makan malam. Kita akam berangkat pukul empat sore, jangan menunda waktu," jelasnya, berjalan menjauhiku sementara aku langsung mengangguk dan berlari ke lantai atas memasuki kamar.

"Kenapa mengundangku? Biasanya kalian pergi sendiri." Aku bertanya lelah, tapi yang aku dapatkan hanya tatapan tajam ibu kepadaku.

Aku menghabiskan waktu satu jam menatap lemari pakaianku. Aku tidak punya banyak gaun; aku tidak ingin melihat diriku dengan gaun. Tapi saat ibuku mengenakan masker dan juga roller, aku tahu apapun rencananya makan malam ini akan sangat mewah.

Tanpa habis pikir, aku mengambil satu gaun yang sudah aku kenakan berpuluh-puluh kali. Ini satu-satunya gaun yang tertutup membuat lekukan tubuhku tidak terlalu terlihat. Sambil memijat mata, aku mengenakan gaun tersebut sambil menarik napas dalam.

Aku turun ke bawah, tidak ada orang di ruang tamu kecuali ayah. Pria tersebut menatapku tajam sebelum mengeluarkan seputung rokoknya yang tinggal setengah. Aku menelan ludah, menahan batuk akibat asapnya sambil memainkan jari yang terasa nyeri.

Suara sepatu hak tinggi memenuhi tangga. Aku dapat melihat Ibu dan Lila berjalan beriringan disambut oleh Ayah yang tersenyum kepada mereka berdua. Mereka bertiga berjalan ke depan rumah sebelum memasuki mobil dengan supir ayah di dalamnya.

Aku duduk di pinggir pintu sebelah Lila. Wanita yang setahun lebih tua dariku sesekali bergidik saat tubuhnya bersentuhan denganku. Aku menelan ludah, mencoba memojokkan diriku untuk memberi ruang antara aku dan Lila.

"Kau menggunakan gaun itu lebih dari seratus kali. Apa karena kau kesulitan mencari ukuranmu?" Ia bertanya dengan seringaian kecil. Aku menggeleng tidak menjawab. Dengan cepat wanita tersebut menarik rambutku ke belakang dengan kasar membuatku meringis kesakitan. "Apa kau bisu?" Aku menggeleng pelan.
"Jawab pertanyaanku, Bodoh!" Ia menampar pipiku dengan keras sebelum ibu membuka suara.

"Lila. . . hati-hati, supir ayahmu akan melihat." Ia berbicara setengah berbisik. Sepuluh detik kemudian supir ayah masuk ke kursi pengemudi sementara ayah duduk di sebelahnya.

Aku mengusap mata pelan sambil menggigit bibir menahan isakan keluar. Aku tidak ingin supir ayah mencurigai sesuatu kepadaku.

Sepanjang perjalanan aku menoleh ke jendela. Setiap aku menatap mataku di kaca jendela, aku langsung menutup mata. Aku tidak suka mataku yang menatapku di balik kaca mobil.

Di balik kaca hanya ada jalanan Kota London, termasuk tempat kerjaku. Aku tidak tahu ke mana kita pergi, tapi ayah sesekali memberitahu ibu bahwa temannya sudah menunggu di rumah. Aku tidak begitu tahu mengenai teman-teman ayah, dia jarang membawa mereka pulang.

Satu jam berada di perjalanan, aku dapat melihat motor yang berhenti pelan di depan gerbang besar dengan kuningan dan baja pada sisi-sisinya. Supir ayah memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu masuk. Ada beberapa orang yang menunggu di depan sambil membawa kedua tangan di belakang punggung mereka.

Aku membuka pintu dengan cepat, tidak mendengar suara ibu yang menyuruhku untuk tetap diam sebelum supir membukakan pintu kepada kami. Aku meringis saat melihat orang tua beserta saudariku menatapku tajam. Supir ayah masih membukakan pintu agar kedua orang tua beserta saudariku keluar. Aku merapikan gaun selututku sebelum berjalan di belakang mereka.

Beberapa orang yang berdiri di depan pintu segera membungkukkan tubuhnya kepada kita. Aku mundur senjengkal hampir tersandung tangga marmer di hadapan kami.

"Selamat Datang di kediaman Green. Mari ikut saya ke dalam." Salah satu penjaga yang mengenakan jas beludru warna biru dongker membuka pintu utama. Kami berempat masuk ke dalam rumah dengan lantai marmer beserta dinding putih susu di sekelilingnya.

Kami diarahkan menuju ke lorong bagian kiri sebelum aku melihat ruang makan panjang dengan lima orang yang berdiri menunggu kami. Aku menelan ludah, kelima orang ini menatapku dari atas ke bawah sebelum mereka tersenyum memeluk kedua orang tuaku bergantian.

"Tuan Nelson, senang bertemu denganmu." Pria yang umurnya tidak jauh dari ayah menepuk punggungnya dengan mantap.

"Terima kasih atas undangan makan malamnya." Ayah menjawab, sesekali tertawa pelan canggung sebelum dia menggaruk janggutnya.

"Aku sudah meninjau persetujuannya. Kita punya sesuatu yang harus didiskusikan bersama, aku yakin makan malam adalah acara pembuka yang tepat." Pria tersebut mengangguk kepada ayah sebelum mempersilahkan kami untuk duduk.

Ibu dan seorang wanita bersanggul rendah juga saling berpelukan. Mereka berdua saling bertukar suara sebelum Lila ikut memeluk mereka bergantian.

Kenapa orang-orang ini sangat akrab? Apa aku melewatkan sesuatu? Siapa mereka?

Wanita tersebut ganti menghadap ke arahku dengan senyum yang membekas sehabis memeluk ibu dan saudariku. "Halo, Flora. . . lama tidak berjumpa denganmu. Ibumu mengatakan kau selalu sibuk bekerja sehingga kau jarang berkumpul dengan kita."

Wanita tersebut mempersilakan kita semua untuk duduk. Ada tiga orang remaja di depanku; dua gadis yang sesekali berbisik kepada satu sama lain sambil melirikku, dan satu bocah lelaki yang sibuk bermain dengan ponselnya. Aku melihat bekas cat hijau di bagian pipinya. Aku bertanya-tanya apa yang dia lakukan sebelum dia duduk di sini.

Ayah, ibu, dan Lila sesekali berbicara bersama dengan orang-orang di depanku seperti mereka sudah mengenal satu sama lain sejak lama. Aku tidak tahu apakah ingatanku memudar atau aku memang tidak mengenal keluarga di hadapanku ini?

"Kita masih menunggu Caden. Dia masih dalam perjalanan kemari." Wanita yang aku ketahui bernama Samantha ini tersenyum ke arah Lila sambil meneguk gelas anggur di tangannya.

Ibu tertawa hambar. "Aku paham. . . anak laki-lakimu sudah mandiri—dia punya rumah sendiri, 'kan? Andai saja aku punya anak lelaki sepertimu."

"Ya. Lebih dekat dengan cabang perusahaaan tempat kerjanya."
Mereka kembali berbincang selama kurang lebih lima belas menit sebelum aku mendengar pintu depan terbuka dan menutup dengan kencang. Aku mengernyit sebelum mendongak menuju ke sumber suara.

Pria dengan kemeja hitam yang digulung sampai siku berjalan menuju ke ruang makan. Rambutnya yang berantakan di depan mata dia sibakkan ke belakang. Dia memperhatikan seluruh ruangan, menyapa ayah dan ibunya sebelum duduk di hadapan Lila.

Aku harap pria di depanku ini merupakan Caden.

Samantha dan Warden Green—orang tua Caden segera membuka makan malam dengan memanggil para pelayan yang keluar dari pintu dapur. Mereka memberikan kami masing-masing piring sebelum kembali ke dalam dapur membawa lauk-pauk beserta makanan pembuka.

Semua orang mulai mengambil makanan mereka satu persatu sementara aku memperhatikan berbagai macam jenis makanan di depanku. Aku menelan ludah sebelum mengambil satu potong daging ayam kecil lalu membawanya ke piringku.
Aku menggigit kecil makananku sambil sesekali mendengarkan orang-orang di hadapanku ini berbicara.

"Oh. . . kau makan daging? Aku jarang melihat wanita seperti kita makan daging apalagi dengan ukuran besar sepertimu." Samantha menunjuk piringku dengan garpunya. Aku mengerutkan dahi sebelum menelan ludah. Apa yang salah dengan sepotong daging?

Ibuku membuka suara sambil melirikku tajam. "Kadang aku lupa jika dia itu wanita—maksudku saat aku hamil aku pikir aku punya anak lelaki. Niatnya agar anakku dan Caden dapat berteman. Sayangnya yang keluar bukan laki-laki, melainkan gadis jadi-jadian yang suka makan banyak."

Seluruh orang di meja mulai tertawa pelan. Samantha dan Warden tertawa keras sementara ayah dan ibu tertawa masam masih melirikku. Apa ada yang salah dengan pola makanku?

Aku memperhatikan para wanita yang di piringnya hanya ada sayur dan jamur-jamur serta sup kuah tanpa daging di dalamnya. Aku menatap mereka satu persatu yang masih menatapku sambil tertawa sementara aku mulai menundukkan wajah.

"Aku dapat yakinkan kepada kalian bahwa Flora makan banyak di rumah setiap harinya." Lila terkikih sambil memotong jamur yang ada di piring sebelum memasukkannya ke dalam mulut.

Aku tahu Lila jarang makan daging setelah kasusnya di sekolah menengah saat beberapa teman kelas mengatai fisiknya. Setelah kejadian tersebut, ayah dan ibu langsung memesankan trainer pribadi untuk gadis tersebut.

Itu tidak benar. Aku jarang makan di rumah karena aku kerja enam belas jam sehari. Aku ingin berkata tapi menutup mulut kembali tidak ingin membalas mereka.

Aku menatap makanan di hadapanku sambil mengernyit, mendorongnya menjauh sebelum memilih untuk minum air putih yang disediakan oleh pelayan dapur. Aku menelan ludah beberapa kali sampai tenggorokanku kering. Mulutku terasa pahit, entah karena makanannya atau hal lain.

"Kau lupa cheesecake-nya." Caden menatapku dengan nada bergurau meskipun tidak sampai ke mata. Aku kembali menunduk sambil mengerjapkan mata berkali-kali. Kedua tanganku kembali nyeri, ini yang terjadi jika aku tidak mengeluarkan isi pendapatku.

"Tunggu lima menit, ia akan melahapnya nanti." Lila menjawab sambil tertawa ke arah Caden.

Aku menggeleng pelan. Aku tidak akan melakukan itu; aku sudah tidak berselera untuk makan, apalagi melihat seluruh orang menertawaiku puas.

"Kau bisa ambil punyaku jika kau kurang." Satu gadis yang aku yakini bernama Rosie terkikih sambil melirik kuenya kepadaku. Aku menggeleng pelan sambil memainkan kedua tangan.

Ya, Tuhan. . . ini akan jadi malam panjang bagiku.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Bab dua tuntas, kalo kalian suka ceritanya plis vote dan komen ya, terima kasih atas supportnya!

—Talia

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

96K 6K 62
Rei berhasil menipu semua orang, termasuk Joash, suaminya. Sikapnya yang baik, polos, patuh dan seolah-olah sangat mencintai Joash, sebenarnya hanyal...
17.3K 1.1K 28
Terkadang cinta datang karena sebuah keterikatan. Lee Chase, seorang pengusaha muda yang mapan. Dia normal layaknya laki-laki lain. Pergi bermain, mi...
129K 11K 33
Aku adalah anak broken home. Orangtuaku bercerai karena Bapak seringkali berperilaku kasar. Saat aku kecil, impianku menikah cepat sehingga aku bisa...
734K 57.6K 24
Enam tahun setelah Remi membantu Bumi, dia kembali dipertemukan dengan lelaki itu dalam situasi tak terduga. Remi sedikit berdebar, apalagi saat Bum...