How We Fix Sorrow ✅

By TaliaMefta

65.2K 5.4K 392

Flora punya banyak nama, mulai dari "gemuk", "culun", "lemah", bahkan beberapa nama yang tidak senonoh lainny... More

Prolog
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8
BAB 9
BAB 10
BAB 11
BAB 12
BAB 13
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30
BAB 31
BAB 32
BAB 33
BAB 34
BAB 35
BAB 36
BAB 37
BAB 38
BAB 39
BAB 40
BAB 41
BAB 42
Bab 43
BAB 44
BAB 45
BAB 46
BAB 47
BAB 48
BAB 49
BAB 50
BAB 51
BAB 52
BAB 53
BAB 54
BAB 55
BAB 56
Epilog
Bonus Chapter Info

BAB 1

3.3K 165 3
By TaliaMefta

Aku sudah mempersiapkan seluruhnya, aku yakin.

Sweter yang aku kenakan warnanya mulai luntur, mungkin karena aku sering mencucinya. Bagaimana lagi. . . pakaian ini membuat lekuk tubuh utamanya perutku tidak terlihat.

Aku punya beberapa sweter lain yang aku kenakan tapi penggunaannya tidak seluasa ini. Karet yang berada pada bagian pinggang sweter yang aku kenakan selalu melipat saat aku duduk. Aku tidak menyukainya.

Waktu aku berada di sekolah menengah, aku sering mengubah pakaianku menggunakan alat jahit yang aku punya. Aku sempat membuat banyak pakaian longgar untuk menyembunyikan kulit longgar yang ada di area lengan. Dulunya aku masih bisa mengubah pakaian yang aku beli, sekarang mesin jahit yang aku punya rusak dan aku masih menabung untuk membeli mesin jahit yang baru.

Aku mengunci kamar. Tas ransel yang aku gunakan berisi buku gambar dan buku harian. Setiap jam istirahat kerja aku biasanya menggambar. Aku punya banyak ide gambaran. Selain itu, menggambar dapat membuatku melupakan tentang makanan, utamanya makanan yang disediakan di rumah makan tempat aku bekerja.

Menuruni tangga, aku dapat mendengarkan saudariku yang berbicara keras melalui telepon genggamnya. Aku menelan ludah, melirik ayah dan ibu yang duduk berdampingan di ruang makan sambil memperhatikan dokumen tebal di tangan mereka. Aku menarik napas dalam. Mereka melirikku sebentar sebelum kembali ke makanan yang disediakan oleh pembantu rumah.

Aku bergegas keluar rumah melewati pagar utama. Aku harus berjalan selama beberapa meter ke depan sampai ada di persimpangan tempat pemberhentian bus. Kakiku bergerak ke kanan dan kiri. Bibirku terlipat sebelum aku menggigitnya kecil. Aku dapat merasakan bibirku yang pecah setiap menggeseknya. Tanganku menggenggam ponsel dengan kaca yang retak milikku. Hanya satu menit sebelum bus selanjutnya datang.

Beberapa tetangga yang aku kenali kadang melewatiku saat aku menunggu bus. Mereka mengendarai mobil pribadi mereka karena tempat tinggal yang aku tinggali penuh dengan orang yang saling iri dengan penghasilan satu sama lain. Mungkin alasan mereka bertetangga adalah karena mereka mencari kompetisi. Tapi aku tidak tahu kompetisi, aku tidak pernah memikirkannya.

Suara klakson bus membuat tubuhku melonjak kaget. Aku menunduk sedikit sebelum berjalan menaiki tangga bus, memperhatikan pintunya tertutup kembali dari belakang.

Aku duduk di belakang supir, menatap sinar matahari yang berada di balik pohon rindang sebelum cahaya oranye menyeruak menusuk mata. 

Di sebelah kanan akan ada pertigaan, tapi kita harus ke kiri. Di sana ada toko roti milik keluarga yang juga menjual bunga-bunga. Aku selalu mengingat rutenya.

Saat keluar dari area perumahaan, aku mulai melihat jajaran toko lokal mulai dari perabotan rumah, tanaman hias, hiasan rumah, serta toko kayu dan jerami untuk atap rumah.

Selang tiga puluh menit berikutnya, aku turun di pemberhentian bus berikutnya, tidak lupa membayar menggunakan kartu pengguna bus milikku yang saldonya kurang.

Aku harus mengisi ulang kartu ini sesegera mungkin, jika tidak aku harus berjalan dari rumah ke tempat kerja. Aku yakin aku sudah beberapa kali mendapat e-mail dari ponselku untuk segera mengisi ulang sebelum kartunya hangus. Masalahnya aku tidak punya banyak uang untuk mengisinya.

Aku berjalan menelusuri kepadatan orang-orang yang juga sibuk dengan dunia mereka sendiri. Kebanyakan dari mereka mengenakan jas. Beberapa lainnya mengenakan seragam sekolah. Sisanya mengenakan pakaian fashionable sambil sesekali meliuk-liuk indah dengan kacamata hitam mereka.

London selalu ramai setiap hari, apalagi saat jam kerja. Selama aku berjalan menuju ke perpustakaan tempat bekerja, aku sesekali menabrak beberapa orang yang sibuk dengan ponsel di tangan mereka. Ini sudah biasa. Beberapa mereka mengucapkan maaf saat mereka menabrakku, beberapa lainnya tidak peduli, mereka terus berjalan sesekali berdecak. Beberapa yang lain langsung memanggilku banyak nama: "gemuk", "lebar", "gadis besar", dan beberapa lainnya. Kebanyakan waktu aku berusaha menghiraukannya. Di waktu lainnya mataku langsung berair sebelum aku mengusapnya.

Aku sesekali mendongak ke atas hingga menemukan tanda yang menempel pada salah satu bangunan. Label "Perpustakaan dan Toko Buku" terpajang di atasnya. Untuk sekilas tempat aku bekerja ini terlihat biasa saja dan bahkan tidak memiliki branding sendiri.

Toko ini terdiri dari dua lantai. Lantai pertama digunakan sebagai toko buku sementara lantai kedua digunakan sebagai perpustakaan. Rak-rak buku menggantikan dinding toko. Beberapa buku menjulang hampir ke atas sampai Tonya memutuskan bahwa kami tidak boleh menambahkan buku lebih tinggi lagi demi keselamatan para pengunjung.

Perpustakaan dan toko buku akan buka dalam satu jam. Aku melihat jam berdetak di atas dinding sebelum pergi ke ruang belakang untuk mengambil kartu tanda pengenalku.

Di dalam sudah ada dua orang wanita yang lebih tua dariku. Salah satunya adalah pemilik toko, Tonya Smith. Dia merupakan wanita umur enam puluhan yang memulai membukai perpustakaan ini sejak umur dua puluhannya. Aku selalu terpukau dengan pencapaiannya, membuka toko buku terlihat sangat menyenangkan bagiku.

Yang kedua merupakan Jodi. Dia wanita berumur empat puluhan yang suka membaca cerita roman. Dia ditugaskan berjaga di kasir bawah bagian toko buku sementara aku diserahkan ke lantai atas di bagian perpustakaan, biasanya mencatat seluruh pinjaman buku lewat komputer lama yang belum Tonya perbarui.

Keyboard mechanical model lama kadang terdengar sangat keras. Aku bekerja selama kurang lebih empat tahun dan aku belum pernah mengganti keyboard-nya, mungkin aku harus menyisakan uang gajiku untuk mengganti keyboard keras ini agar tidak mengganggu para pengunjung yang ingin membaca dengan tenang.

"Selamat pagi," ucapku sambil tersenyum.

"Selamat pagi. Kau masih perlu menata perpustakaannya lagi. Ada empat kardus buku baru yang didonasikan dari sekolah. Kau juga harus menstempelnya dan menambahkannya ke dalam excel, aku harap kau tidak keberatan mengerjakannya." Tonya menginstruksikan, dia berjalan cepat melewatiku sambil menunjuk beberapa boks buku baru yang ada di balik pintu gudang.

Aku menggeleng menjawab pertanyaannya. Aku suka bermain dengan stempel buku perpustakaan, paling tidak aku melakukan sesuatu daripada harus berdiam diri sepertu batu sambil membuka email dan mengecek orang-orang yang meminjam buku.

"Tidak apa. Aku tahu beberapa orang lebih suka membaca cerita di sini daripada membawanya pulang, kecuali jika mereka membawa buku klasik. Aku yakin mereka merupakan anak remaja yang memiliki tugas membahas literatur," gumamku.

Tonya tertawa kecil sebelum ia keluar sambil membawa tanda dengan tulisan "open".

"Baiklah kalau begitu, kau punya kurang lebih satu jam untuk menata perpustakaan sebelum semua orang datang. Jangan lupa kau punya empat kerdus yang harus ditangani hari ini," ujarnya sambil menjauh dari pandanganku.

Kini aku bersama dengan Jodi di dalam ruang belakang. Kami sibuk memasukkan barang-barang ke dalam loker sebelum mengambil kartu pengenal di atas gantumgan dinding. "Selamat pagi, Jodi," sapaku sambil menempelkan tanda pengenal. Aku dapat melihat fotoku dari jauh. Aku tidak menyukainya.

Dia menyeringai. "Halo, kau dapat tugas banyak hari ini." Wanita umur empat puluhan itu menunjukku dengan pembatas buku yang dia ambil dari tas miliknya.

"Aku suka menstempel buku baru." Aku tertawa kecil.

Jojo tersenyum kecil sebelum menatapku sambil mengerutkan dahi. "Bagaimana kabarmu?"

Aku mengangguk kecil. "Baik," ucapku sebelum bergegas meninggalkannya dari ruang belakang.

Aku melangkahkan kaki ke garasi untuk mengambil satu boks buku sebelum membawanya ke lantai spiral atas di area perpustakaan.

Aku sesekali ingin terpeleset. Sepatu milikku sudah tidak memiliki karet yang kuat lagi. Tangga spiral yang sedikit memakan ruang membuatku  kewalahan. Entah apa ini karena tubuhku atau karena tangga mini ini.

Aku duduk di meja yang ada di sebelah tangga spiral. Meja khusus punyaku ini terlihat sederhana, hanya ada komputer, print, dan buku catatan meminjam pengunjung. Aku juga menyimpan buku catatan yang berisi daftar buku yang ada di sini.

Aku membuka kardus berisi berbagai macam buku sebelum mengambil stampel yang aku simpan dalam laci. Dengan hati-hati aku menempelkannya ke buku, tidak lupa  mencatat judul buku beserta nama penulis dan penerbit juga tahun terbitnya sebelum meletakkannya ke lantai sebelahku.

Aku tetap melakukan hal ini sampai jam istirahat siang. Ada larangan bagi pengunjung untuk makan dan minum di dalam, jadi kebanyakan dari mereka akan keluar dari perpustakaan saat jam istirahat. Aku yakin mereka tidak akan kelaparan karena di sebelah kanan dan kiri maupun bagian depan sudah dipenuhi oleh kafe maupun toko roti dan restoran.

Aku berjalan ke rak-rak buku perpustakaan, merapikan beberapa buku yang nampak tidak sesuai dengan genrenya. Sesekali aku mengutak-atik rak untuk menemukan buku yang pas, artinya aku harus mengeluarkan paling tidak selusin buku lalu mengaturnya ulang agar seluruh buku di dalamnya muat.

Tidak lupa aku mulai mengelap meja baca sambil menyemprotkan disinfektan. Tonya selalu memberitahuku bahwa dia suka jika tempatnya nyaman dan bersih, maka dari itu tiap jam istirahat aku biasanya membersihkan meja dan kursi yang diduduki, tidak lupa  membuang sisa sampah yang dipenuhi botol minuman plastik beserta brosur yang yang Jodi serahkan di lantai bawah.

Setelah jam istirahat selesai, aku mulai menstempel buku donasi pada boks ketiga. Buku-buku yang sudah aku stempel masih menumpuk di samping. Aku masih perlu mengurutkannya berdasarkan genre sebelum dapat meletakkannya ke dalam rak.

Beberapa orang mengatakan bahwa bekerja di perpustakaan sangat membosankan, tapi aku senang aku dapat kesempatan bekerja di sini setelah aku lulus sekolah jurusan seni desain. Umurku delapan belas saat Tonya mempekerjakanku. Sekarang aku sudah umur 22. Aku punya keinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, mungkin melanjutkan seni desain agar dapat menggunakan alasan memakai alat jahit setelah punyaku rusak empat tahun yang lalu.

Pukul empat perpustakaan mulai ditutup. Aku sudah menstempel keempat boks buku yang kini saling menumpu satu sama lain. Aku masih perlu mengatur buku tersebut menurut genre sebelum menatanya di dalam rak perpustakaan, tapi sepertinya aku harus melakukannya keesokan hari karena aku harus bekerja lagi setelah ini.

Membersihkan sisa brosur yang berserakan di lantai, aku memasukkannya ke dalam sampah yang aku genggam di tangan kiri. Aku menarik napas dalam sebelum menali tempat sampah tersebut dan membuangnya lewat pintu belakang.

Setelah melewati ruangan yang ada di belakang, aku meletakkan kembali kartu identitasku sebelum aku mengucapkan salam kepada Jodi dan Tonya.

Aku kembali menaiki bus merah melewati pusat kota London sebelum kembali turun di pemberhentian bus. Beberapa langkah dan penyeberangan selanjutnya aku sampai di depan ruang makan keluarga milik Lee.

Selain bekerja di perpustakaan selama empat tahun, aku juga bekerja di rumah makan Keluarga Lee sebagai kasir atau pelayan. Apapun pekerjaannya, aku tidak terlalu mengkomplain. Bekerja bersama di bisnis keluarga Lee membuatku senang.

"Selamat sore." Aku tersenyum kecil, mengibaskan apron milikku sebelum berjalan menuju ke konter, selanjutnya ke ruang belakang untuk meletakkan tas milikku.

"Kau tidak telat hari ini," ucap James. Dia merupakan pria berumur lima puluhan dari Cina yang bermigrasi ke Inggris untuk memulai bisnis rumah makan ini. Aku ingat cerita yang selalu dia katakan kepadaku. Pergi ke Amerika Serikat selamanya mengubah hidupnya.

Aku tersenyum miring. "Tidak ada kecelakaan hari ini." Kadang aku telat setiap sore saat berjalan menuju ke rumah makan, karena paling tidak ada kecelakaan yang melibatkan pengguna sepeda dan pengguna layanan aplikasi mobil online.

"Beruntung." Ia kembali membuka suara. Pria tersebut berjalan menuju ke dapur sambil memotong selada menjadi potongan kecil sebelum mencampurkannya dengan bumbu merah yang membuatku meringis.

Seorang wanita tertawa saat melihatku. "Kau masih belum kebiasaan melihat bumbu-bumbu sedap ini?" Ia meremas pundakku pelan sebelum meraih pisau persegi panjang dan menebaskannya pada daging babi yang masih utuh.

"Aku tidak terbiasa memakan makanan pedas." Aku berkata sejujurnya.

Lola hanya mengangkat satu alisnya kepadaku sebelum ia kembali meneruskan pekerjaannya. "Will baru saja pulang dari shift-nya. Aku ingin kau menggantikannya di konter dan pelayan. Rosie masih belum datang Sabtu kemarin, katanya dia punya presentasi kelompok, jadi kau harus bekerja rangkap."

Aku mengangguk. "Yap, aku akan ke konter sekarang."

Aku berjalan menuju ke meja kasir, tidak lupa menggulung rambutku rendah agar pipiku tidak terlihat terlalu bulat. Sesekali aku menarik rambut-rambut kecil dari kening sebelum menarik napas. Bibirku melebar setiap lonceng pintu masuk berbunyi, tanda bahwa ada orang yang masuk ke dalam rumah makan.

"Selamat sore, selamat datang di Rumah Makan Lee, mau pesan apa?"

•••

Aku menghembuskan napas kasar. Dahiku dipenuhi keringat. Sekarang sudah jam delapan malam, keadaan masih sangat ramai karena orang-orang menhabiskan waktu dengan kerabat atau keluarga mereka.

Aku berjalan mondar-mandir dari dapur menuju ke meja penyajian, masih harus menyajikan seluruh makanan mulai dari makanan dan minuman kepada orang-orang yang sibuk berbincang satu sama lain ini.

Aku sesekali menatap Rosie yang terlihat gelagapan. Wanita yang baru direkrut dua minggu yang lalu itu kini menghadapi horor untuk pertama kalinya karena melihat orang lebih banyak dari biasanya.

Aku sudah bekerja di sini selama empat tahun, kebanyakan dari mereka terlihat sabar, tapi tentunya ada beberapa kasus di mana orang-orang tersebut ingin segera dilayani. Lagipula besok merupakan tanggal merah, sudah pantas banyak orang yang datang kemari bersama dengan keluarga serta rekan mereka.

Tentu saja restoran keluarga ini hanya dibuat oleh keluarga, hanya ada empat orang di dalam dapur selain James dan Lola, yaitu Chao dan Poppy. Mereka merupakan anak asuh yang mereka adopsi saat mereka pertama kali datang ke Inggris.

"Ada pesanan lagi?" Aku bertanya sambil mengatur napasku yang berantakan. Rasanya aku akan pingsan kapan waktu.

"Yap, meja sembilan." Chao berkata sambil mengelap keningnya yang bersimbah keringat.

Aku menarik nampan berisi tiga piring mi kuah sebelum meletakkannya ke meja pesanan. Ada catatan yang ada di nampan mengenai pesanan mereka. Aku kembali menanyakan nama mereka sebelum mereka mengangguk. Aku ingin memastikan bahwa mereka merupakan orang yang memesan makanannya.

"Selamat makan." Aku tersenyum, menahan nampan yang aku bawa ke dada.

Selang dua jam kemudian, Poppy menggantai tanda rumah makan yang sebelumnya bertuliskan "open" menjadi "close". Aku bernapas lega, seluruh orang kembali membersihkan dapur sementara aku mulai menggosok meja depan yang dipenuhi oleh minyak bekas makanan serta bumbu pedas.

Aku kembali berjalan menuju ke dalam dapur, memasukkan kain lap yang aku gunakan ke dalam mesin cuci. Lola masih menggunakan dapurnya. Dila biasanya mulai mengelola bahan pada malam hari agar keesokan harinya dia dapat menyiapkan semuanya dengan cepat.

Aku mengambil tas milikku sebelum melepas ikatan rambutku menjadi kuncir kuda bawah. Aku sesekali mengucek mata sebelum berpamitan kepada keluarga Lee, melepaskan apronku lalu keluar lewat pintu belakang. Aku harus mengejar bus di pemberhentian akhir.

Sesampainya di depan pagar rumah, aku menarik napas sebelum meraih kunci rumah melewati dapur. Aku bergerak menuju ke kamar secara diam-diam. Saat berhasil mengijakkan kaki di dalamnya, aku segera mengunci pintunya dua kali sebelum menarik napas lega.

Mengambil buku harian yang aku bawa di dalam tas, aku mulai menuliskan semua hal yang terjadi kepadaku hari ini, berharap bahwa aku masih punya hari esok untuk mengubah hidup.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
Wuuu, bab pertama sudah selesai, semoga suka dengan pengenalan ceritanya. Makasih banyak sudah baca ya :)

Continue Reading

You'll Also Like

1.7K 529 14
Selama mereka menikah 5 tahun lamanya, Pravara Pranatha tidak pernah berkeinginan untuk mencintai suaminya, Pandu Laksamana. Pun dia pikir sebaliknya...
1M 77.7K 37
Bagi Melosa Helga, Eryx Baskara adalah rumah yang tak akan pernah ia miliki seutuhnya. Lelaki itu hanya akan menjadi angan, kasih tak sampai, lelaki...
49.3K 3.2K 27
Isabella tidak mengerti mengapa Milo, putra tunggal dari keluarga Kingham, memilih dirinya untuk dinikahi. Rupanya Milo bersedia menuruti perintah or...
1.3M 93.9K 43
COMPLETE🔥 [Bag. 1-40] [Spin-off Crazy Offer] [Bisa dibaca terpisah] Dicampakkan cowok. Gue pikir, itu adalah hal terburuk yang pernah terjadi dalam...