Mulmet: Mungkin - Cover by Tival Salsabilah
Target masih sama, 1k koment for next besok❤️🔥 Yuk ramein tiap paragraf, Bor.
Selamat membaca, semoga sukaa Aamiin❤️ tandai typo yeah<3
50. SATU LANGKAH LEBIH JAUH
Berubah— adalah cara lain untuk pergi secara halus.
**
Angkasa. Cowok itu berjalan menyusuri koridor besar SMANDA dengan tas hitam yang ia gantung di bahu kanannya, tidak sesantai biasanya, mata cowok itu bersirat tajam, membuat siapapun enggan berkontak mata langsung dengannya. Beberapa siswa lebih memilih untuk menepi, membiarkan Angkasa berjalan di depannya atau mendahuluinya.
Langkah cowok itu berhenti tepat di depan kelas XI.MIPA.4, dari luar kelas, ia bisa melihat kalau perempuan yang membuat emosinya naik hari ini sudah duduk rapi di bangkunya tanpa sadar akan kehadiran Angkasa di ambang pintu.
"Ini pesanannya, Bang," kata Dodo ketika menghampiri Angkasa.
Di tangan cowok berkacamata itu ada air mineral dan sekotak nasi yang sengaja Angkasa pesan di WAZEB.
Angkasa meraih pesanan itu, lalu memberikan anggukan kepada lawan bicaranya, tanda tugasnya selesai.
"Ok, permisi, Bang," ujar Dodo, lalu bersegerah pergi.
Sebelum melangkah masuk ke kelas Aurora, Angkasa harus menyakinkan dirinya untuk bisa menahan emosinya. Ia tidak mau marah di depan Aurora, ia sedang berusaha menjadi versi terbaik untuk perempuan kesayangannya itu, sekarang.
Kedatangan Angkasa di kelas XI.MIPA.4 sontak membuat seisi kelas diam, bahkan ada beberapa siswa yang memilih keluar, memberi ruang kepada cowok dengan dasi yang terikat di kepalanya.
Aurora tetap sibuk dengan buku yang ada di depannya, enggan menoleh walaupun ia merasakan ada seseorang yang sedang duduk di sebelahnya.
"Sarapan dulu, Ra," kata Angkasa halus. Ia meletakkan bawaannya di depan Aurora.
"Jangan kebiasaan nggak sarapan, nanti maag lo kambuh," lanjut cowok itu peduli.
Apa respond Aurora? Tidak ada. Ia seolah menganggap tidak ada orang yang sedang berbicara padanya.
"Atau mau gue suap, Ra?" goda Angkasa lagi.
Beberapa siswa yang mendengar cowok itu bersuara, menahan napasnya, tidak bisa membayangkan jika ia yang berada di posisi Aurora dan di perlakukan seperti itu oleh Angkasa.
"Gue udah sarapan," balas Aurora dingin.
Tangan putih perempuan itu mendorong kembali makanan dan minuman yang Angkasa bawa untuknya pas ke depan cowok itu. Tanda ia tidak minat dan tidak mau menerimanya.
Angkasa mengangkat alisnya satu, kemarin ia baik-baik saja dengannya. Kenapa hari ini ia merasa Aurora sangat dingin padanya?
"Gue mau sendiri," sahut Aurora lagi.
Ia mengusir Angkasa dengan halus, dan Angkasa cukup tahu diri dengan maksud pembicaraan Aurora.
"Gue nggak mau biarin lo sendiri," tegas Angkasa.
Percayalah, Angkasa mati-matian menahan emosinya. Perempuan berbanda biru ini sudah mengundang kobaran emosinya sejak tadi. Pertama, saat Aurora membiarkan Angkasa menunggu di rumahnya selama 1 jam dan ternyata ia sudah berangkat ke sekolah lebih dulu. Kedua, sekarang, ia mengacuhkan Angkasa, dan cowok itu tidak suka.
"Ok," balas Aurora. Perempuan itu lalu beranjak dari tempat duduknya, "Gue yang pergi."
Masih ada 20 menit sebelum bell berbunyi, Aurora bisa ke perpustakaan untuk mencari ketenangannya.
Angkasa menahan tangan Aurora, "Lo kenapa, Ra?"
Aurora melihat tangannya yang di tahan oleh Angkasa, dengan genggaman yang cukup erat. "Gue nggak suka cowok kasar!"
Bukan mata teduh yang menenangkan yang Angkasa lihat, tatapan itu, asing.
Angkasa melepaskan tangannya, kenapa Aurora memberinya tatapan asing padahal dia adalah pacarnya?
"Ra," panggil Angkasa, ia berusaha mengejar perempuan itu yang sudah melangkah jauh darinya.
"Ra," panggil Angkasa lagi.
Tidak peduli dengan semua mata yang kini berpusat padanya. Angkasa harus tahu apa kesalahannya hingga Aurora menatapnya seasing tadi, Angkasa benci tatapan seperti itu dari mata orang yang ia cintai.
"Ra? Gue salah apa sama lo?" sentak Angkasa. Tetapi lagi-lagi ia berusaha menekan emosinya, ia tidak ingin marah pada Aurora.
"Nggak ada," balas Aurora cuek.
Angkasa ingin sekali mencari samsak sekarang, ia tidak suka dengan jawaban Aurora, mengatakan 'tidak ada' padahal nyatanya pasti 'ada', tidak mungkin ia sedingin ini tanpa sebab.
"Ra, gue minta maaf,"
See? Ketua Satrova yang notabenenya menganggap kata maaf adalah kata paling sakral untuk ia ucapakan, kini mengucapkannya secara mulus di depan Aurora, bahkan ketika ia tidak tahu kesalahannya sendiri.
"Kesalahan lo apa?" tanya Aurora, dengan tatapan dinginnya.
Angkasa terdiam.
Aurora tersenyum kecut, "Aneh lo, Sa. Percuma lo minta maaf untuk hal yang lo sendiri nggak bisa akui."
"Sia-sia," lanjut Aurora sinis.
"Berarti gue punya salah kan? Terus kenapa lo bilang nggak ada?" timpal Angkasa.
Aurora tidak menyahut, ia terus berjalan menuju perpustakaan, dengan Angkasa yang sejak tadi mengekorinya.
"Ra, kalau gue punya salah. Ngomong sama gue," ujar Angkasa. Pagi ini, ia benar-benar frustasi melihat sikap Aurora.
"Jangan diemin gue. Masalah kalau lo simpan, nggak bakalan selesai," lanjut Angkasa lagi. "Jangan buat gue menebak-nebak juga, gue bukan Tuhan yang tahu isi hati lo tanpa lo beritahu, Ra,"
Aurora tetap diam, perempuan berbanda biru itu seakan tidak terusik dengan ucapan Angkasa, wajah tenang dan ekspresi yang biasa-biasa saja masih ia pertahankan.
"Ra?"
Tetapi sebelum Angkasa melanjutkan ucapannya, tangan cowok itu dengan gesit bergerak, memasang tubuhnya di samping kanan Aurora ketika bola basket melenting ke arah Aurora dan hampir saja mengenainya.
Mata Angkasa tiba-tiba saja berkobar, berbalik ke arah lapangan.
"Lo mau ngelukain cewek gue hah?!"
Bersamaan dengan teriakan Angkasa, bola yang ada di tangan cowok itu ia lempar dengan kasar kepada sang pelaku, membuat orang itu langsung ambruk karena serangan Angkasa yang sangat bertenaga.
Aurora yang tadinya biasa saja, langsung kaget melihat sikap arogan Angkasa, ia tahu kalau yang paling susah Angkasa lakukan adalah menahan amarahnya, dan ia sudah memancingnya sejak tadi.
Bugh
Bugh
Secapat kilat semua terjadi, Angkasa memukul orang yang melempar bola basket itu, membuat lapangan SMANDA heboh pagi ini. Bobby, Bara, Alaska, mulai berlari ke lapangan, melerai ketuanya.
Sedangkan Aurora? Ia menyandarkan tubuhnya di dinding koridor, shock melihat Angkasa, dan juga takut, cowok itu berbahaya.
"Bangun lo, bangsat!" bentak Angkasa.
"Anjir! Sadar lo! Aurora kaget ngeliat lo, Sa," kata Bara.
Angkasa membalikkan tubuhnya, melihat Aurora, dan perempuan itu terlihat menggelengkan kepalanya, tanda berhenti kemudian berlari pergi dari koridor itu.
Asing. Angkasa tidak suka tatapan itu.
"Bangsat," umpat Angkasa.
**
"Gue kayaknya nggak enak badan, Va, gue mau pulang istirahat aja," kata Aurora pada Vana.
"Seriusan, Ra?" Vana meletakkan tangannya di dahi perempuan berbanda biru itu. "Astaga, lo kayaknya demam deh, Ra."
"Gue anter lo pulang yah,"ujar Vana mulai panik. Ia membereskan barang bawaan Aurora, dan memasukkannya ke dalam tasnya.
"Gue bilang apa juga, harusnya lo nggak usah ke sekolah," omel Vana.
Vana tentunya tidak bisa tenang ketika melihat kondisi Aurora yang tiba-tiba drop drastis sekarang. Ia lalu mengambil ponselnya, mencari nomor seseorang yang pantas ia hubungi sekarang.
Tetapi tangan Aurora bergerak menyambar handphone Vana. Lalu menggeleng.
"Dia nggak perlu tahu," ucap Aurora.
"Ra, lo nggak boleh kayak gini dong," sela Vana.
Vana tidak tahu apa yang sahabatnya dengar tadi malam hingga membuatnya tiba-tiba menangis, Vana benar-benar tidak tahu apa yang terjadi hingga Aurora dengan lantangnya bersuara mengatakan kalau dia membenci Angkasa.
"Lo sama Angkasa kenapasih?" tanya Vana.
"Nggak papa," balas Aurora, ia menghindari pembicaraan yang membahas Angkasa di dalamnya.
Vana memang sempat membuka handphone Aurora saat perempuan itu tidur, tetapi tidak ada apa-apa yang ia temukan.
"Ra? Jangan suka mendam sendiri, gue di ciptakan buat jadi sahabat lo, itu artinya gue siap mendengar apapun keluh kesah lo," terang Vana tulus.
Lalu tanpa aba-aba, Aurora memuluk Vana, tidak mengatakan apa-apa, tetapi dengan begini ia merasa lega.
"Va, gue mau istirahat, gue mau pulang aja, gue capek," kata Aurora.
Yang Vana tahu, sahabatnya adalah perempuan yang kuat, bahkan untuk mengatakan capek rasanya aneh, karena Aurora paling pantang mengakui perasaan lemahnya.
Nyatanya, sekuat apapun seseorang, pada akhirnya akan berserah dan mengakui kekalahannya jika memang ia berada di titik terlemah yang sama sekali tidak bisa untuk ia ajak kompromi.
Setelah mendapatkan surat izin pulang, Vana lalu mengantar perempuan berbanda biru itu ke gerbang utama SMANDA, menunggu supirnya karena Aurora tidak mau jika Vana yang mengantarnya.
"Ra, lo serius nggak mau ngasih tahu Angkasa?"
Aurora terdiam, lalu menggeleng.
"Kalau dia nyari lo nanti, gue bilang apa?" tanya Vana. Ia juga takut jika harus berbohong dengan Angkasa.
"Bilang aja gue di perpustakaan, atau gue ke kantin, atau gue ke ruang guru," jawab Aurora. "Apapun jawaban lo, Va, asal jangan bilang kalau gue pulang karena nggak enak badan."
Vana menggigit bibir bawahnya. Ia tidak sanggup membohongi Angkasa nantinya tetapi ia juga tidak tega melihat Aurora yang memohon kepadanya.
"Gue usahain, Ra," kata Vana sembari mengangguk.
Angkasa yang sedang duduk di dalam pos jaga tertawa pedih. Lihat? Aurora sudah mulai lari darinya.
Tidak masalah, ia akan tetap berjuang, sebesar apapun dinding yang nantinya membentang di antara dirinya dan Aurora.
Mobil Alphard meleset di depan gerbang, Aurora melambaikan tangannya pada Vana, kemudian berlalu masuk ke dalam mobil itu.
"Pulang sekolah, gue balik ke rumah loh kok, Ra," teriak Vana.
Aurora tersenyum, memberi anggukan.
Setelah melihat mobil yang Aurora kendarai benar-benar sudah tidak bisa di jangkau oleh penglihatan Vana, perempuan itu memilih melangkah masuk, tetapi suara seseorang dari pos jaga tiba-tiba menghentingkan langkahnya.
"Kalau gue tanya sama lo sekarang, Aurora dimana? Lo masih akan jawab kalau dia ada di perpustakaan?"
Angkasa. Suara itu suara Angkasa.
"Angka-sa," guman Vana.
Angkasa berjalan mendekat ke arah Vana, "Handphone lo ada 'kan?"
Vana langsung bergerak mengambil handphonenya, dan memberikannya kepada Angkasa.
"Lo mau ngapain?" tanya Vana ragu.
"Mau nge-chat cewek gue," jawab Angkasa santai.
Vana mengangkat alisnya satu. Kenapa harus lewat handphonenya? Apa mungkin Angkasa tidak punya kuota? Ah! Bukan, sultan nggak mungkin semenyedihkan itu.
"Aurora block gue tanpa sebab," terang Angkasa.
**
TERIMAKASIH UDAH BACA PART 50❤️🤟 SEE U🔥