XXII

238 39 9
                                    

"Pagi Geulis!"

Sapa Mirah, Ibu Laura, yang sedang sibuk menaruh makanan yang baru masak di atas meja makan. Beliau melihat Laura keluar dari kamar dengan wajah khas bangun tidurnya. Bengkak disana-sini terutama mata. Terlihat kalau ia sangat menikmati tidurnya yang hampir 12 jam itu.

"Pagi Bu, masak apa hari ini?" hatinya menghangat, pasalnya Laura sudah hampir tidak pernah bertanya seperti itu bulan-bulan akhir ini. Namun, Laura sepertinya mulai kembali ke sedia kala.

"Kesukaan kamu, semur ayam terus Ibu tambahin pete sama cabe di dalemnya."

Damar, Ayah Laura, yang sedari tadi menutupi pandangannya dengan koran tiba-tiba melipat gusar koran tersebut setelah mendengar pernyataan dari Mirah, "Lho, katanya masak tempe bacem? Kan ayah sudah nungguin, Bu!" Ya, ayah memang tidak bisa mengalah kalo soal makanan dengan anak-anaknya. Selalu menuntut sang istri juga turut menghadirkan makanan favoritnya. Tidak mau kalah bahkan disisihkan.

Mirah mencebik, "Iyaa, sabar dong Yah. Ini lho kompor satunya belum mati. Nggak bisa cium bau bumbu tempe bacemnya?" Laura cuma tersenyum mendengar perdebatan kecil keduanya.

"Oh..." kata beliau, "Ra, kamu kemarin dianterin siapa? Harusnya kamu telefon ayah kalo pulang biar ayah yang jemput."

"Halah, emang orang lagi asik mancing itu bisa diganggu, Yah?" sindir Mirah. Membuat keduanya malah beradu ekspresi jelek.

Ayah menyuruh Laura mendekat seperti ingin membisikkan sesuatu, "Kemarin di Bali ketemu Tiar?" Laura cuma mengangguk. Ia tahu sepertinya masalah ini hanya mereka saja yang boleh tahu. Lagipula, ayahnya juga terbilang lebay dan gegabah. Mengirim Tiar sedangkan anaknya tidak mau bertemu dengan Tiar. Memanglah ulah Laura yang gegabah itu didapat dari Ayahnya ini.

"Katanya kemarin pulang dianterin cowok? Siapa itu?" selidik Damar.

"Temen kok Yah, Hanung namanya. Emang kenapa?" ujar Laura.

"Bawa kesini lagi. Mau ayah tatar!" membuat Mirah berbalik menoleh sambil mengacungkan spatula ke arah Damar.

"Jangan macem-macem Yah! Kalo kabur nanti gimana?" menghadiahi Damar dengan lirikan tajam, "Sudah, pokoknya jangan keburu-buru. Ibu nggak apa-apa Laura sendirian dulu. Mending ditenangkan saja hatinya. Be single be happy kalo kata anak-anak muda sekarang!" celotehnya, "dan ayah, jangan suka natar anak orang! Besok anakmu ini ditatar terus sama ibu mertuanya gimana?"

"Latihan mental Bu. Kalo mau sama Laura ya hadepin Ayah dulu dong, iya nggak Ra?" katanya sambil menyenggol lengan Laura.

"Haduh, mending Ayah tuh dengerin Ibu aja deh. Hanung itu baru kenal sama Laura. Cuma temen ya, bapak ibu sekalian?! Ayah nggak usah aneh-aneh!"

Ibu malah tertawa terbahak-bahak karna dirinya merasa menang disini. Sedangkan ayah hanya kecut tidak mendapat dukungan dari anak bungsunya itu. "Udah ini tempe buat Ayah matang. Ayo sarapan dulu" kata beliau menata piring lalu melayani Damar terlebih dulu.

"Oh iya, Ibu lupa kasih tau kamu Ra. Mbak Nuri mau Lahiran. Kayaknya Ibu sama Ayah bakal ke Malang. Kamu ikut?" wajah Laura mendadak berbinar, akhirnya keponakan pertamanya lahir.

"Lho, kapan? Perasaan baru acara 7 bulanan deh Bu?!" serunya. Namun ia sangat senang sekali. Akhirnya saudara laki-lakinya, Kak Lingga, punya jagoan kecil.

"Makanya jadi anak itu jangan kerja-kerja terus sampai lupa kabar kakaknya sendiri. Kapan hayo terakhir telefon sama Kak Lingga?" kata Damar setelah menelan makanannya.

"Laura terakhir nelfon Kak Lingga malah diceramahin 2 jam Yah, 2 jam bayangin! Laura dimarahin pokoknya, ish!" Mirah dan Damar lagi-lagi tersenyum mendengar interaksi keduanya yang masih saja belum bisa akur padahal usia keduanya sudah tidak lagi anak-anak.

NEPENTHE [✓] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang