XLVII

241 27 3
                                    

4 bulan kemudian.

Akhir-akhir ini hari sabtu Laura selalu diisi dengan mengikuti beberapa seminar maupun seminar seputar perusahaan start-up. Beberapa waktu lalu, ia terkadang mengajak sekretaris atau staff HRD untuk menemaninya. Tetapi kali ini, dia mengajak Icha.

Karena lokasi seminar masih dekat dengan kafe Dewa, Laura sempatkan untuk mampir terlebih dulu sekalian mengisi perut sebelum memulangkan Icha yang rumahnya di Serpong. Sekalian nongkrong cantik dan Icha manggut-manggut saja saat diajak. Siapa sih yang mau menghabiskan malam minggu di rumah tanpa teman, begitu pemikiran Icha sesaat Laura menawarinya untuk mampir ke RoCco, kafe Dewa.

"Mbak, pusing yah? Udah nggak pernah ikut seminar tiba-tiba diajakin diskusi begituan." Keluh Icha sambil memasang seatbelt.

"Kenapa?"

"Ngantuuuuk." Laura menanggapi dengan tawa. "Gue malu banget sampai ada yang ngetawain masa enak-enak merem." Terus mengeluh sampai bibirnya mengerucut. "Besok-besok jangan ajak gue deh. Sumpah, nurunin derajat mbak Laura banget. Ajak Desi aja tuh, kan dia smart girl paraaaaah!"

"Biar lo itu ngerti, besok kalo si Reva jadi resign dan ikut suaminya pindah ke Bandung, lo bisa kena promosi kan, Cha?"

Mendengarnya Icha langsung mendelik. "Promosi?" Dia bergidik. "Ngeri ah, gantiin mbak Reva jadi Manajer Marcomm. Ilmu gue masih seupil!"

"Duh, Cha. Dulu si Reva gue ajakin bikin start up awalnya dia modal cuman jadi staff marketing 2 tahun lho. Belum settle-settle amat start-upnya tapi berani ambil resiko sama kayak gue." Laura mendadak sedih teringat adik tingkat kuliahnya itu hendak berpamitan untuk resign karena sang tunangan yang merupakan anggota satuan polisi yang bertugas di Bandung. "Kalo nggak siap ya nggak apa-apa deh." Lanjutnya. "Tapi, mbak harap lo belajar berani. Lo sama Ryan paling senior di antara staff marcoom yang lain."

Icha malah semakin ciut, duduk semakin menempel dengan pintu mobil, menyilangkan tangan di depan dadanya. "Kenapa nggak Ryan?"

"Ya sabar dong, mbak juga butuh liat performa kalian lebih bagus yang mana dulu."

"Ryan ajaaa!" celetuknya.

Laura menyetir sambil geleng-geleng. "Belom juga mau resign si Reva nya. Santai aja, Cha." Dia melirik Icha. "Berani dikit dong. Masa ngumpet mulu bisanya." Gadis itu malah semakin memanyunkan bibirnya lebih panjang. Senyaman itu Icha dengan Laura sampai lupa kalau sosok yang sedang menyetir itu adalah bosnya. Bagi Icha, Laura itu sudah seperti kakak dan mentor.

"Gue tuh lemot tau, mbak." Icha mulai merendah.

"Siapa bilang?" Laura heran.

"Hanung."

"Lo sendiri nilai diri lo gimana?"

Icha menimang. Kemudian berkata agak ragu. "Pinter sih, kadang juga goblok."

Laura terjingkat, "Dikira gue nggak pernah goblok juga?"

Icha mendadak gemas dengan reaksi Laura. "Ya beda sih, bodohnya mbak Laura bisa bikin start up agency creative kayak begini. Lah gue?"

Laura lagi-lagi terkekeh. "Ya nggak gitu juga kali, Cha. Reva juga ikut andil buat milih kok. Bukan mutlak sepenuhnya gue yang mau." Icha agak melemas, agak lega mengingat Laura yang sangat dekat dengannya, takut jika dia yang diincar menempati posisi itu. "Ryan juga gue ajakin kapan-kapan. Tapi nggak tau deh kapan tepatnya." Ada rasa curiga menelisik di benaknya. "Kenapa sih? Kok kayaknya nggak ada gairah buat saingan gitu?"

Gadis bermata bulat kecil bak boneka itu menggaruk pipinya. "Trauma."

Tawa Laura lantar meledak, terkesan meledek hingga Icha terdiam bingung. Apa yang Laura ketahui seolah-olah tawanya sangat mengolok Icha saat ini. "Ya ampun, santai. Nggak ada yang namanya jegal-jegalan, ya?"

NEPENTHE [✓] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang