XIX

226 42 7
                                    


Sebenarnya Hanung sudah terbiasa melihat orang mendadak blank seperti Laura. Ingin menangis tapi tidak bisa karena sudah merasa lelah. Hanya 1 hembusan nafas kasar dan beberapa decak kesal yang menghiasi atmosfer di dalam mobil itu. Hanung lama-lama juga merasa sangat gemas karena hampir 5 menit lamanya mereka berdua meninggalkan restoran itu, Laura juga belum kunjung memberikan arahan kemana dia akan pergi.

"Mbak, kita mau kemana ya?" tanyanya hati-hati. Takut jika menganggunya yang tengah asik meratapi nasib.

Laura tersadar, "Hah? Oh... turunin di indomaret aja kalo ngelewatin."

Hanung terheran, "Tapi kalo saya maksa nganterin gimana? Nggak apa-apa kok mbak." Tawarnya lagi.

Laura pasrah, dirinya tidak ingin berdebat. Mendebat diri dan egonya saja sudah melelahkan apalagi sekarang dia duduk di sebelah seorang pria yang pernah menghampirinya di club beberapa hari lalu, "Ikutin aja GPS di hp saya." Katanya sambil menyerahkan hp. Hanung hanya melirik lalu mengangguk. Ia tahu dimana tempat yang Laura maksud.

"Mbaknya tinggal disana?" berusaha membangun suasana. Namun, tak terasa terbebani saat melempar pertanyaan kepada Laura.

"Cuma mau ambil barang aja kok, rumah saya bukan disitu. Bukan lagi." Kata 'lagi' yang baru saja Laura katakan sontak membuat Hanung mengangkat alisnya sebelah. Seolah ada lubang besar yang menganga meminta untuk diisi supaya ia tahu keadaan yang sedang terjadi. Hanung bertanya-tanya, pria tadi siapa? Pria yang mengaku pacar Laura itu lalu siapanya lagi? Lalu, ambil barang? Apa wanita yang ada disebelahnya ini sudah bermain rumah-rumahan dengan pacarnya alias living with a partner gitu? Hanung dengan sedikit informasi justru asik menjelajah, memenuhi otaknya dengan serangkaian pertanyaan dan kemungkinan hingga membentuk potongan demi potongan adegan hasil dari imajinasinya sendiri.

"Jadi pacar benerannya mbak itu yang mana dong?" ucapnya dengan raut wajah penasaran dan tetap fokus menyetir.

"Kamu itu ngomong apa? Saya nggak ngerti deh. Emangnya kamu pernah ketemu saya jalan sama cowok berapa kali?"

Hanung terjingkat, "Lho, kan yang waktu di club itu bukannya pacar mbak? Dia itu yang ngusir saya pas ngobrol sama mbaknya!"

Laura kaget dan hanya menatap Hanung ngeri, "APA?" pekiknya.

"IH, mbaknya gimana sih? Dia itu abis ngusir saya malah buntutin mbak terus. Abis itu kalo ada yang dateng ya diusir lagi. Tau nggak pas saya samperin, dia bilang apa?" jelasnya. Laura menggeleng.

"Dia bilang lagi tengkar sama mbak. Jadi ya udah deh saya nggak berani ngobrol sama mbak lagi." Ujarnya panjang lalu sekilas melirik Laura, "Jadi itu bukan mas pacar? Jadi mas pacar yang asli itu tadi?" hanya hembusan nafas kasar Laura yang menjawab keingintahuan Hanung.

"Ohhh... sa ae fakboi satu itu!" Hanung memukul setir mobilnya ringan, "Dia ngajakin mbak kenalan juga? Bodoh banget sih saya!" rutuknya.

Laura menyandarkan kepalanya, "Enggak, emang udah kenal. Saya kira dia juga lagi main sama temannya disitu."

Hanung memincingkan matanya setelah mendengar anggapan Laura yang sangat positif itu, "Duh, mbaknya ini kayak nggak pernah dideketin cowok aja deh. Masa, nggak tau kalo ada yang lagi tertarik sama mbak sih?"

"Indeed, Saya nggak tau. Makanya saya pergi kesana. Just want to know that I am still attractive enough. Saya memang nggak lagi cari orang buat diajak berhubungan lebih jauh waktu itu dan saya juga nggak tau cowok kalo lagi tertarik sama cewek itu gimana, Nung."

Hanung mengerjapkan mata saat Laura menyebut namanya, berarti bukan dia saja yang mengingat nama Laura. "Mbak Laura, punya long-term relationship sama mas yang tadi?"

NEPENTHE [✓] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang