L

297 21 8
                                    

Kejadian Laura yang berseteru dengan teman-teman Sandara masih menghantui Dewa. Ia sangat khawatir apabila ayah Laura, Damar, bisa kecewa padanya jika melihat sang putri mendapat perlakuan tak mengenakkan dari orang yang kerap berada di sekitarnya dulu. Hanya untuk mendapatkan restu beliau tanpa diamuk saja sudah membuat Dewa uring-uringan berhari-hari.

Dewa teringat, betapa bingungnya ia harus kembali membangun hubungan —tidak hanya Laura melainkan juga kedua orang tua gadis itu—yang sempat terputus gara-gara dia harus menemani Emy di Swiss. Tepat 1 minggu setelah ia melamar Laura tanpa mengantongi restu siapapun, dan setelah dia sudah bisa mengatasi masalah jam tidurnya karena perbedaan waktu Indonesia dengan Swiss, lelaki itu berpikir keras bagaimana dia harus menunjukkan mukanya setelah menghilang 2 bulan lebih.

Serba minim informasi. Ia juga tidak tahu perihal apa yang Laura katakan ke orang tuanya mengenai dirinya. Bengong hampir seharian di depan televisi sampai Mami Ayu menegur Dewa untuk bergerak agar terlihat lebih produktif.

Lelaki itu langsung menyapu rumah, mencuci piring-piring di dapur, dan menyiram tanaman di taman belakang dengan MELAMUN. Pikirannya dipenuhi dengan satu pertanyaan yaitu bagaimana caranya setor muka ke calon mertua tanpa kena semprot?

Dalam lamunannya, dia tertawa kecil. Melamar Laura adalah hal di luar rencananya malam itu. Sepanjang perjalanan dari Swiss ke Indonesia yang dia pikirkan bagaimana ia bisa menampakkan muka di depan Laura sambil memohon maaf. Tetapi, berakhir dengan ia mendapatkan Laura kembali sebagai tunangan.

"Mampus, gue belum nongol di depan orang tuanya udah main sikat lamar-lamar." Gerutunya menyirami pohon camellia di belakang rumahnya. "Mi, aku mesti gimana?"

"Apanya gimana?" Mami Ayu membolak-balik buku bacaan dan tengah bersantai di ayunan kayu.

"Aku lamar Laura tanpa restu siapapun." Katanya dan mendadak suasana sunyi.

BUGH...

punggungnya dipukul keras dengan buku.

"KAPAN KAMU LAMAR LAURA?" Mami berkacak pinggang dengan kacamata menggantung di ujung hidungnya. "Kamu pulang-pulang kok sudah bikin onar?"

Dewa bingung menjelaskannya, dia mana cerita kalau ribut sampai berbulan-bulan dengan Laura. Mami Ayu juga sepulang stay di Swiss beberapa waktu lalu katanya langsung sibuk mengurusi Yayasan bersama teman-temannya. "Ya biar nggak ilang anaknya, mi."

Mami menggertak kesal sampai melototi anak semata wayangnya itu, menunduklah dengan dalam Sadewa Putera. "Ya temuin ayahnya. Bilang baik-baik aja pokoknya." Begitulah nasehat mami.

Prinsipnya Dewa, tidak apa-apa takut asal tetap percaya diri. Keesokan harinya, ketika hari senin kafe libur dan semua orang mulai sibuk bekerja, dia pergi ke rumah orang tua Laura sendirian.

Iya, sendirian, dengan membawa buah tangan seperti buah-buahan dan beberapa vitamin kesehatan untuk mereka berdua. Tidak peduli jika disebut menyogok atau penjilat, kedatangannya memang untuk mengambil kembali posisinya di mata orang tua Laura.

Yang Dewa tahu, ayah Laura itu seorang mantan Pengacara yang sudah berhenti bekerja karena alasan kesehatan beliau. Dan sekarang, kesibukannya hanya mengelola kos-kosan mahasiswa, memancing, dan bermain tenis bersama teman-teman clubnya. Akan sangat susah ditebak keberadaannya. Sehingga Dewa memutuskan pergi ke sana pagi-pagi waktu itu.

Setelah sampai di depan gerbang, dia disambut oleh Ayah Laura yang tengah duduk membaca koran pagi di teras. Beliau nampak tersenyum ramah dan membukakan gerbang untuk Dewa. "Selamat pagi, om. Apa kabar?" sapanya.

"Saya baik, ayo masuk dulu." Tidak ada amukan apapun, dia jadi heran, apa yang Laura ceritakan tentang dirinya kepada mereka. Saat memasuki ruang tamu, ia juga disambut dengan hangat oleh Mirah, Ibu Laura, yang masih mengenakan celemek.

NEPENTHE [✓] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang