XXXIX

179 28 7
                                    

Dewa baru tau kalau Laura itu ternyata juga big eater. Sama seperti Dewa. Bedanya kalo Laura itu selera makannya suka berubah-ubah. Kadang makan sehari sekali, kadang ketika ingin makan banyak dia tidak akan berhenti mengunyah dan keluar masuk dapur. Iya, beberapa kali Dewa melihat Laura seperti itu semenjak ia menempati apartemen hampir sebulanan ini. Tak jarang sepulang dari kafe Dewa selalu mengunjungi Laura. Laura jenuh melarang pria itu, untuk datang. Daripada ia diganggu melalui telepon lebih baik datang langsung saja. Lumayan, Laura juga punya teman makan malam jika Dewa datang. Memasak hidangan untuk mereka berdua atau pergi makan di luar. Ah, teman makan, mungkin ini yang tepat menggambarkan keduanya. Lebih sering makan lalu berbincang-bincang lebih dalam. Bercerita soal betapa melelahkannya hari-hari mereka. Dan tadi siang, Laura mengeluh ingin makan banyak. Jadi sepulang gadis itu bekerja, Dewa langsung menjemputnya dan memboyong Laura pergi ke salah satu restaurant Shaburi dan Kintan Buffet di Bintaro.

Dewa agak tercengang sejenak melihat porsi makan Laura yang banyak. Dewa mengenal Laura bukan tipikal gadis jaim dan malu ketika makan banyak. Karena Dewa yakin, beberapa hari ke depan gadis itu pasti hanya makan buah saja, atau homemade garlic bread andalannya yang baru ia kuasai 3 minggu lalu, dan sekotak salad sayur yang ia sengaja memborong dari supermarket dan disimpan di dalam kulkas.

"Kenapa ngeliatin? Nggak ikut makan?" tanya Laura memasukkan sayuran dan daging ke dalam kuah kaldu.

"Tadi siang nggak makan?" Dewa menatap Laura heran. Wajahnya begitu riang melihat beberapa daging juga sudah mulai matang dari panggangan.

"Makan kok, sama Tiar."

Pandangannya beralih cepat ke Laura, "Kenapa makan sama Tiar terus ke mana kalian tadi? Hanung ke mana? Kan, biasanya sama Hanung? Terus kenapa nggak sama Ich-"

Kalimatnya terpotong ketika Laura menjejalinya dengan daging yang sedari tadi ia dinginkan untuk Dewa. "Satu-satu jawabnya, kenapa sama Tiar? Ya karna dia yang ngajak. Hanung kemana? Tadi dia nemenin kakaknya medical check up ke rumah sakit. Terus Icha, dia lagi keluar makan siang sama anak-anak yang lain. Lagian gue sama Tiar cuma makan batagor doang di kantor, Dewa. Nggak usah berlebihan."

"Oh, oke. Tanya doang sih. Hehe."

"Lo itu ngomongnya tanya doang, tapi pertanyaan yang dilempar udah kayak wartawan. Banyaaaak banget." Dewa terkekeh mendengar ledekan Laura.

"Ya namanya juga takut gebetan gue oleng ke yang lain. Wajar dong gue tanya-tanya, Ra." Kode keras ala Dewa jelas selalu saja menyentil Laura. Gadis itu hanya melempar senyum lalu kembali melahap makanan di depannya. Dewa mengulurkan tangannya mengusap rambut hitam gadis di hadapannya sedikit mengacak-acaknya. Seolah apa yang dilakukan Dewa itu bukan lagi hal yang mengusiknya. Itu sudah biasa. "Liat gue doang ya, Ra. Jangan cowok lain."

"Emang kenapa kalo gue liat cowok lain? Mata gue diciptakan untuk melihat hal buruk dan indah. Apa salahnya gue kalo kepingin liat cowok ganteng?"

"Ya udah coba aja lo liat cowok ganteng. Cuma liat aja, kan? Tapi hatinya buat gue aja."

Kemudian bukannya menanggapi Dewa. Laura malah terdiam saja dan fokus pada makanan di depannya. Matanya mengedar ke sisi kanan dan kiri. "Dewa, waiter itu menurut lo ganteng nggak?"

"Gantengan gue." Dewa menjawab sambil melahap makanan dipiringnya.

"Kalo mas-mas baju putih itu gimana?" Dewa melirik lalu mencebik.

"Masih kerenan gue." Jawabnya setelah melihat sekilas dengan tingkat kepercayaan diri level super-super pede itu.

"Kalo mas-mas yang lagi pake jaket denim itu?"

"Ah, masih cakep gue kemana-mana." Jawabnya, "Itu doang selera lo, Ra?"

"Kan, gue tanya menurut lo."

NEPENTHE [✓] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang