XLII.ii

200 25 7
                                    

Sesuai janji Laura, sepulang kerja di hari Jumat ia menginap di rumah Mami Ayu. Akhir pekannya yang diawali dengan pembicaraan dan kegiatan ringan dengan Ibunda Dewa. Mami Ayu mengajaknya berbincang ringan sambil meminum teh di sore hari. Beliau bercerita tentang keluh kesahnya akhir-akhir ini dalam mengurus yayasan, mengenai Dewa, kemudian soal beberapa pengalaman-pengalaman semasa hidup sebagai anak, sebagai pasangan hidup, dan sebagai ibu. Seakan sesi menginap hari ini adalah sebuah pelatihan tersendiri untuk Laura. Berlatih mengenal sosok calon mertua.

Kemudian menjelang malam, karena mami mendadak malas memasak, akhirnya Laura yang memasak. Masakan sederhana tapi Mami Ayu tetap menyukai ide itu. Mac n Cheese. Hidangan untuk menemani acara menonton film berjudul Habibie dan Ainun. Film yang membuat Mami Ayu menangis berkali-kali sampai Laura ikut galau.

"Mi, nonton yang lucu-lucu yuk. Jangan yang bikin nangis." Keluh Laura ditengah-tengah konflik film.

"Nanggung, cantik. Habis ini ada adegan yang bikin nangis lagi." Kata Mami Ayu dan benar saja. Mereka berdua nangis gara-gara film. Di depan mac n cheese yang hampir habis, di depan meja yang sudah hampir penuh dengan tisu, Mami Ayu bersandar sambil nangis sesenggukan.

"Mi, besok kalo mata Laura bengkak gimana?" katanya masih menitihkan air mata.

"Nggak apa-apa, Ra. Habis ini kita kompresan es batu." Pantes anaknya begitu, mami nya aja begini, batin Laura. Gadis itu akhirnya merasa lega ketika film sudah berakhir. Sedangkan mami malah bertepuk tangan sambil sesekali mengelap pipinya. "Mami keinget mendiang papinya Dewa. Maafin ya, Ra. Lagi kangen banget."

Laura terenyuh. "Yah, mami jangan bikin Laura mellow dong." Soalnya ia juga rindu Dewa.

"Mami itu nggak menyesal pernah cinta sama papinya Dewa. Baik buruknya yang selalu mami suka. Banyak keburukan yang juga manis menurut mami." Mami Ayu menatap Laura. "He is not a perfect man." Laura hanya tersenyum. "Tapi ketidaksempurnaan itu yang justru bikin dia sempurna." Senyum Laura memudar. "Yah, besok kamu bakalan tau kalo jadi nikah nanti sama Dewa. Mami harap kamu juga bisa mencintai buruknya anak mami juga."

Laura mengulas senyumnya lagi, "Iya, mi."

"Kamu kalo mau tidur di kamar Dewa juga nggak apa-apa kok. Kayaknya nggak di kunci sama dia." Ujar beliau. Padahal tadi beliau ingin tidur ditemani Laura. Pernyataan mami cukup Laura pahami, jika beliau mungkin ingin bernostalgia malam ini. "Yuk tidur, besok kamu jangan bangun kesiangan nanti kena macet pas pulang." Ajak mami menggiring Laura pergi ke kamar tamu yang bersebelahan dengan kamar Dewa dan kamar Mami.

Sesaat mami memasuki kamarnya, Laura malah berjalan ke depan kamar Dewa. Memdorong kenop pintu dan aroma parfum Dewa lantas menyeruak. Kamarnya gelap karena lama sudah tidak dihuni oleh sang pemilik. Dan ketika Laura menyalakan lampu, ia dikejutkan oleh benda-benda yang membuatnya membeku dan bersandar di pintu.

Ada satu rak dan penuh dengan pigura yang sengaja diturunkan. Rak yang penuh dengan sticky note dan kartu ucapan. Setangkai bunga mawar kering.

Laura menegakkan semua pigura-pigura foto itu. Tangan dan hatinya seolah tak sanggup dengan kenyataan ini tapi logikanya tetap menyuruh Laura untuk melihat kenyataan bahwa semua foto-foto dan segala macam yang ada di rak ini adalah tentang Emy.

Tertampar. Ketika ia melihat tulisan 'I lost her over and over.' Laura memijit batang hidung dan menggosok matanya. Ia tak bisa merasakan apapun saat ini. Bingung. Mana yang lebih penting? Mana yang harus gue lihat? Dewa yang dulu sangat mempengaruhi Dewa yang sekarang, apakah dia pantes gue percayai? Apa gue pantes dia sayangi? Apa beneran dia yang gue cari? Apa ego gue mungkin yang selama ini nyakitin gue sendiri? Apa ego gue udah nyakitin Dewa? Apa gue masih orang yang sama bahkan belum berubah sedikitpun?, batinnya. Ia menghembuskan napasnya perlahan lalu menutup kembali foto-foto itu seperti semula.

NEPENTHE [✓] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang