XLVIII

249 26 4
                                    

"Wa, main yuk!" ajakan dari suara yang keluar dari handphone milik Dewa. Ia menggosok matanya, memastikan nama yang tertera di situ.

"Gue di rumah, jangan bego lo. Masih pagi juga." Sahutnya dengan parau, baru terbangun gara-gara telepon ini.

"Makanya bangun, gue lagi pulang. Nggak kangen lo sama gue?"

Dewa berdecih, untuk apa kangen sama Wira. Mending kangen Laura. "Apaan sih, lo kalo kangen sini aja main ke rumah."

"Awas lo galau nyari gue ya?! Gue ludahin lo!" jawabnya. "Mentang-mentang udah dapetin Laura aja sombong."

"Haha, baperan!" ledek Dewa

"Bodo." Sahutnya cepat. "Cabut kaga? Mumpung gue free nih."

"Dalam rangka apa lo pulang? Katanya takut diteror sama nyokap lo?"

Wira menghela napas, "Gue habis ngedampingin mahasiswa gue kemarin lomba di UI, gue balik belakangan so-"

"Stop, nggak usah diterusin. Gue tau kelanjutannya." Dewa terkekeh. "Emak lo kangen, kan?" Wira berdeham. "Sempetin balik dong makanya, biar tante tuh nggak uring-uringan sama lo."

"Dih males, gue balik malah ditodongin cewek." Keluhnya.

"Bagus dong."

"Emangnya gue elu, ada cewek cakepan dikit disikat!" tukas Wira.

Dewa tidak terima, "Eh, cewek gue satu doang ya sekarang, mau jadi bini bentar lagi." Dewa beranjak duduk dan membenarkan posisi handphonenya. "Mending lo bantu gue aja di kafe, bantu apa aja deh, jadi pelayan atau nyuci piring atau nyirem taneman, gampang kok. Gue paham lo mau kabur kan dari tan-"

Tut...tut...tut...

"Halo... Ra? Wira??" Dewa melihat layarnya yang sudah tak lagi tersambung. "Oh, biadab!"

🌴🌴🌴


Wira turun dari mobil yang diordernya setelah memberikan selembar uang 50 ribu rupiah dari dompet. Jakarta terik, untungnya kafe Dewa itu membawa konsep taman yang setidaknya bisa mengurangi hawa panas itu sendiri. Pria yang mengenakan jaket berwarna abu-abu dan menenteng tas ransel bak mahasiswa tingkat akhir-padahal dia dosen- itu berjalan masuk. Rambutnya tersisir rapi dengan kacamata bertengger di batang hidungnya, membawa kesan dewasa dan cerdas.

"Gue ke sini ogah jadi babu lo!"

Dewa terjingkat, sampai selang air yang dia pegang itu bergetar dan hampir menyiprati celana Wira. "Anjing lo, kasih tau kek kalo dateng! Jangan tiba-tiba nongol di belakang gue!" Dewa mengelus dadanya. "Gue ada tanggung jawab nyenengin anak orang!"

"Makanya, olahraga. Di gituin aja jantungan. Payah lo!"

"Ngagetin, bangsat!" Dewa acuh, kembali menyirami tanaman talasnya yang hampir setinggi bahunya itu. "Duduk sono."

Wira duduk di kursi luar, masih dekat dengan jangkauan Dewa. "Kok kafe lo sepi?"

"Lo liat sekarang jam berapa!" Masih pukul 10 pagi dan tidak banyak pengunjung yang datang. "Makan nggak?"

Wira menilik ke dalam jendela, melihat ke Juna yang sibuk. "Kopi aja deh. Mau garap LPJ Proyek."

"Proyek apaan?"

"Penelitian Dosen."

Dewa acuh lalu pergi dan Wira enggan beranjak. Duduk di taman lebih menyegarkan untuk saat ini. Selang beberapa kemudian, Dewa kembali dengan membawa 2 gelas ice Americano. "Makin cakep aja lo sekarang. Udah ngegebet mahasiswi?"

NEPENTHE [✓] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang