XXXVIII

218 27 29
                                    

Dewa menggeser layar handphonenya perlahan. Melihat setiap inchi momen hingga ekspresi sosok di layar itu. Sosok yang membuatnya gila karena jatuh hati. Jatuh sejatuh-jatuhnya kali ini. Laura. Foto yang ia ambil ketika mereka berdua menghabiskan waktu di Bali, foto ketika ia duduk bersebelahan dengan mami, foto yang sengaja ia ambil ketika menghabiskan waktu makan siang bersama mami saat dirinya berada di Surabaya beberapa waktu lalu. Sekaligus foto yang membuatnya agak cemburu tanpa sebab juga. Dan foto ketika mereka makan di hari pertama kepindahan Laura di apartemen barunya bersama Hanung dan Icha. Laura yang kekenyangan hingga mengantuk. Beberapa foto yang tak sengaja ia ambil saat Icha bersandar di pundak Laura tapi setelah itu Hanung mengusirnya. Laura mungkin tertawa melihat kelakuan mereka, tapi Dewa tidak. Seingat Dewa, Hanung tidak pernah main-main kalau benci seseorang. Yang artinya dia juga bisa saja benci dengan Icha.

Pemikiran itu terasa mengganggu bagi Dewa. Pria itu menggeleng singkat untuk mengenyahkan pertanyaan soal ada apa dengan Hanung dan Icha sebenarnya. Matanya kembali fokus saat ia tak sengaja memotret foto Laura yang tengah tertidur. Ah, ia jadi teringat momen itu, saat di Bali setelah gadis itu teler gara-gara dicekoki minuman oleh Dewa. Brengsek? Kan, Laura yang minta. Dewa cuma menemani dan menjaga saja. Dan, ingatan manis itu terputar di otaknya hingga menarik senyum simpul khas orang kasmaran. Foto Laura yang tertidur di pahanya dengan wajah menghadap ke atas setelah kekenyangan menghabiskan potongan ayam sambil menonton film di tv. Kalau saja tidak ada Icha, mungkin ia akan menginap. Dewa tidak tahu apa yang Laura rasakan sebenarnya sampai sama sekali tidak menolak setiap sentuhan kecilnya. Bahkan sebelum gadis itu jatuh tertidur, telunjuknya masih betah mengusap halus punggung tangan Dewa. Laura... Laura, stop teasing dong! Bilang kalo udah suka gue, please, batin Dewa malam itu. Tapi memang Dewa sadar kalau Hanung di sini perannya bukan cuma seorang teman dari Laura, melainkan juga anjing penjaga. Terpaksa Dewa pulang meninggalkan Laura setelah memindahkannya ke kamar dan menyuruh Icha untuk tidak lupa mengunci pintu. Selepas itu 2 pria itu pergi dari sana. Dewa teringat pembicaraan semalam.

"Lo bossy banget, nyuruh orang buat kunci pintunya."

"Bukan bossy, itu sekedar ngingetin doang kali." Dewa menggeleng pelan, tidak tahu alasan Hanung sesewot itu. "Lo kenapa jutek banget. Udah makan manis-manis masih aja cranky?" Hanung tidak menanggapi Dewa dan tetap berjalan di sampingnya. "Lo ada apa sama Icha?"

"Hah? Enggak. Nggak ada apa-apa." Jawabnya cepat tanpa pikir panjang. Terlambat. Dewa sudah menaruh curiga.

"Setiap kali gue tanya, lo ada apa sama Icha maka jawaban dan reaksi lo bakalan sama, Nung. Harusnya lo kalo mau nyembunyiin sesuatu itu yang bener dong. Jangan keliatan sama gue." Jelas Dewa.

"Beneran kali mas, nggak ada apa-apa. Gue sama dia cuma beda kubu aja. Dia kan tim mas Tiar banget tuh. Nah, kalo gue mah elo aja. Haha!" katanya sambil merangkul Dewa. "Syukur deh kalo malem ini dia ketemu sama lo. Setidaknya gue nggak perlu capek jelasin kenapa mas Tiar sama mbak Laura itu udah nggak bisa bareng. Dan mbak Laura juga udah punya lo. Tapi nggak tau deh, dia bahagia enggak sama lo." Lanjutnya.

"Ya kali kagak bahagia. Mau nongkrong nggak nih? Biar enak ngobrolnya." Ajak Dewa.

Hanung melepas rangkulannya, "Mau ngobrol apaan?"

"Malam masih panjang, Hanung. Ayolah gue traktir!"

"Ogah, gue mau tidur. Capek gue, lo puter-puterin tadi." Hanung membuang muka lalu masuk ke dalam lift lebih dulu.

"Bentar doang kali, ayo dong!" paksa Dewa.

Hanung tersenyum miring merasa agak risih ketika Dewa mendekatkan wajahnya ke telinganya, "Mau ngomong apaan sih? Ribet lo. Langsung aja kenapa sih!"

NEPENTHE [✓] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang