VI

369 54 7
                                    


L

aura POV

Setiap kali gue ada moment sama Dewa, rasanya niat gue tenggelam beberapa waktu lalu di laut itu keputusan paling bener.

Pagi ini gue terbangun di kamar Dewa dan dengan santainya dia bilang morning sambil memegang hpnya sedangkan gue udah parno banget kalo semalem kita ngelakuin hal aneh-aneh. Ditambah, dia masih sempat melempar senyum, kasih obat pereda, kasih susu, dan sekarang dia mengajak gue buat sarapan. Atau lebih tepatnya brunch.

Nggak ada yang bisa gue ucapin ke dia. Dia juga diem aja nggak ngomong apa-apa. Gue takut kalo semalem gue cerita atau ngomong aneh-aneh. Karna gue kalo mabok enggak pernah bareng siapapun dan itupun di apartement.

"Ra," sapanya dulu, mungkin sadar gue agak melamun.

"Hm??"

"We didn't do anything," tambahnya tanpa ditanya. Seolah dia udah berkali-kali di posisi ini dan gelagat gue udah mudah ditebak karna sedari bangun udah clueless. Tapi gue lega banget rasanya.

"Beneran, kan?" Gue sangat-sangat lega.

"Lu nggak inget?" 

Gue cuma menggeleng, ini yang menjadi alasan gue enggak pernah minum di club. Gue enggak pernah ingat apapun yang ge lakuin setelah itu. 

"Enggak ada apa-apa, lu kalo mabok anteng kok," Tutur Dewa.

"Oh, ok," Lempar gue asal.

Kami masih diam setelah pembicaraan singkat itu. Tidak berselang lama kemudian pelayan resto mengantarkan makanan ke kami dan kami langsung menyantapnya.

Tidak ada yang berbicara dan itu terasa sangat kikuk. Hanya saja detik berikutnya itu menjadi nyaman. Dia menikmati makanannya, gue menikmati makanan gue. Tenggelam dipikiran masing-masing.

Entah kenapa tiba-tiba banget jantung gue rasanya deg-degan. Seperti gugup ingin menghadapi sesuatu. Makin lama makin enggak nyaman. Tangan gue makin dingin ditambah angin laut siang itu. Berhembus kencang seolah membawa hal besar memaksa agar bisa berada ditengah-tengah kami berdua.

"Kenapa, Ra?" tanya Dewa melihat gue memakai jaket.

"Nggak tau nih dingin banget tiba-tiba." Dewa langsung memegang tangan gue dan memegang pipi gue.

"Lo sakit? Apa kita ke dokter aja?"

"Nggak usah, Wa, nggak tau gue kayak gugup gitu tiba-tiba." Tolak gue dan mencoba menepis tangannya pelan.

"Oh lo gugup makan sama gue ya Ra?!" Ya tuhan, bisa-bisanya Dewa bercanda padahal bukan itu yang gue maksud. 

Ini mirip seperti perasaan saat lo harus bersiap-siap tampil di sebuah pentas nyanyi sedangkan lo enggak ada skill nyanyi. Ya bayangin aja betapa gugupnya. Cuma sekarang ini gue enggak dalam kondisi itu. Perasaan gue makin enggak enak lama-lama.

"Dih enggak, habisin tuh makanan lo. Keburu dingin." Dan gue dengar Dewa sedikit mencibir. Raut mukanya lucu untuk orang yang seumuran gue. 

"Rara." 

Reflek gue batuk, hampir melepeh makanan yang barusan gue lahap. Panggilan dan suara yang familiar ditelinga gue. Panggilan yang gue kangenin sekaligus gue benci selama sebulan ini. Denger aja rasanya mau nangis, hati gue sudah mencelos terjun bebas. Gue seakan enggak punya keberanian untuk menoleh ke arah datangnya suara itu.

Sedangkan yang di depan gue, Dewa malah bolak balik menatap gue bergantian dengan orang di belakang gue.

Saat gue balik badan dan Tiar ada di sana. Gue mendadak pusing. Mata sayunya natap gue, rambutnya yang sedikit panjang mungkin lupa jadwal potong rambut atau bahkan tidak sempat melakukan itu. Mukanya terlihat lelah. Ada rasanya ingin memeluk Tiar saat ini juga. Seperti yang selalu gue lakuin selama 10 tahun belakangan ketika ia merasa penat, terpuruk, dan suasana hatinya sedang buruk. Tapi semuanya udah berbeda sekarang. Gue nggak bisa melakukan itu atau kalo gue lakuin sama aja gue bunuh diri. 

NEPENTHE [✓] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang