XXXIV

225 31 15
                                    

Semenjak kejadian itu, Dewa agak ragu untuk mengikuti saran dari Juna. Diam? Di saat ada bahaya lain yang masih mengintai? Dewa berpikir kalau bisa saja dia akan kembali gagal kali ini. Namun, ada hal yang Dewa tangkap dan coba untuk pahami lebih dalam soal momen pertemuannya dengan Laura di supermarket beberapa waktu lalu.

Hatinya berdesir lagi ketika mengingat kata-kata Laura. Gadis itu nampak marah, tapi mengapa?, batin Dewa. Bahkan jika karena merasa bersalah dan tidak tahu terima kasih, harusnya tidak perlu marah? Harusnya dia meminta maaf, bukan mengomel meracau hingga matanya berkaca-kaca. Bahkan jika harus mengingat momen itu, Dewa tidak bisa berhenti tersenyum, pikirannya bingung, dan jantungnya terus-menerus berdegub kencang. Dewa tidak akan memungkiri lagi jika ia memang menyukai Laura. Sudah tidak ragu lagi. Ada sosok yang hadir secara tiba-tiba dan selalu membuatnya khawatir hingga mendorongnya berbuat lebih. Tanpa pikir dua kali, Dewa selalu saja mengulurkan tangannya bahkan tidak pernah sekalipun tidak memikirkan gadis itu, Laura. Dewa geli dengan dirinya sendiri. Selain Emy, ternyata ada sosok yang membuatnya kembali tidak waras karena jatuh hati.

Selama 1 minggu itu juga Dewa hanya berkomunikasi lewat telepon saja. Sebab, Kara meminta cuti karena ada hal mendesak dan Dewa harus ke Surabaya. Sesekali mengajak Laura video call hanya untuk memastikan gadis itu baik-baik saja. Sebenarnya Dewa sangat ingin mengajak Laura bertemu meskipun sebentar saja. Ia rela jika harus membeli tiket PP Jakarta-Surabaya di hari yang sama. Namun Laura melarangnya. Akhirnya Dewa hanya bisa memantau Laura melalui Hanung. Meskipun merasa was-was tapi Hanung juga bisa dipercaya. Dewa masih suka untuk menyuruh Hanung menemani Laura makan siang apabila Laura bingung memilih menu makanan bahkan mengantarnya pulang kalau Laura sangat lelah berkat bekerja seharian. Hingga suatu hari Laura juga bercerita kalau ia bertemu dengan Ayu untuk makan siang bersama. Jujur Dewa agak cemburu. Cemburu ketika Laura terlihat sangat gembira bisa menghabiskan waktu berdua dengan mami tanpa dirinya.

Di hari ia dalam perjalanan pulang, karna sudah kangen berat dengan Laura, bukannya menelepon mami tapi dia malah menelepon Laura. Setelah keluar dari bandara dan menuju mobilnya, Dewa berjalan sambil mendial kontak Laura, "Halo, Ra?"

"Iya Dewa, kenapa?" jawab Laura,

"Ra, lagi dimana?"

"Di rumah sama Ayah Ibu."

"Kesana boleh?"

"Enggak!" tolaknya tegas. Dewa hanya mengerjap. "Pulang, temuin mami!" Dewa hanya diam saja.

"T-tapi, Ra..."

"Pulang! Kalo belum ketemu mami, jangan harap lo bisa ketemu gue!" Laura sudah paham betul apa maksud Dewa. Pasti pria itu ingin menemuinya setelah baru saja sampai di Jakarta.

"Kalo besok boleh ketemu?" Dewa belum menyerah, ia agak cemas dengan jawaban Laura selanjutnya.

"Boleh."

Dewa bersorak sambil mengepalkan tangannya dan tersenyum sekilas, "Oke, Gue jemput?"

"Emang kita mau kemana?" Dewa sontak meleleh mendengar kata 'kita' itu.

"Ikut aja ya, see you tomorrow, Ra." Jawab Dewa.

🌴🌴🌴

Pagi-pagi Laura sudah dibuat bingung oleh Dewa. Bagaimana tidak, pria itu benar-benar menghilang setelah mengirimnya pesan bahwa ia akan menjemput Laura pukul 8 pagi. Tujuannya? Laura tidak tahu. Berulang kali ia bertanya jawabannya tetap sama. Dan sekarang Laura bingung harus memakai baju apa.

Pikirannya mendadak kemana-mana. Kalau diajak ke puncak bagaimana? Kalau diajak ke pantai bagaimana? Kalau tiba-tiba Dewa mengajaknya berwisata kuliner atau ke mall atau nonton? Atau bahkan sekedar jalan-jalan di taman? Lho, lho tapi kenapa gue mikir banget?, batinnya. Detik ketika Laura tersadar betapa konyolnya dia sedang mengamati beberapa setelan baju yang tengah ia pelototi saat ini. Detik kemudian ia hanya menggeleng. Ini cuma Dewa, pikirnya.

NEPENTHE [✓] - REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang