Part 16: Penantian

Depuis le début
                                    

Untuk yang kedua kali, Aksara Aurellin Pradikta dikagetkan dengan kehadiran sosok manusia yang memilki wajah dengan tingkat estetika begitu tinggi di rumahnya.

Orang itu tertidur di sofa panjang ruang tamu. Terlihat berantakan. Bahkan pakaian yang dikenakannya masih sama dengan kemarin malam.

Aksa berjalan mendekat. Dengan sangat hati hati, ia duduk di lantai dan memandang wajah sahabatnya yang tengah tertidur. Ada rasa bersalah yang menyeruak kembali dan memenuhi hati serta pikiran Aksa sendiri. Lagi lagi Aksa salah mengambil keputusan. Benar. Seharusnya kemarin dia menurut pada Frans. Bukan malah menyetujui ucapan Alfa.

Sekarang, gadis itu menyesal telah melepas semua fotonya dengan Frans di ruang tamu dan ruang keluarga. Bukan apa apa. Alasannya hanya karena kedua orangtuanya sudah tidak ada, dan Aksa ingin foto mereka yang memenuhi setiap sudut ruangan. Frans? Cowok itu bahkan masih bisa Aksa lihat setiap hari.

Kedua sudut bibirnya terangkat sempurna ketika matanya menangkap rantai monel yang melingkar di leher Frans. Dengan bandul cantik bertuliskan "Fra", sahabatnya itu masih memakainya. Aksa juga punya. Ada di atas. Di kamar. Kalau bukan karena acara tadi malam, Aksa juga tidak akan melepaskannya.

"Kay, Frans semaleman disini?" tanya Aksa pada kucingnya yang juga baru bangun. Kucing abu-abu itu menggeliat. Semalaman rupanya meringkuk di bawah kaki Frans.

"Meong," jawab Kayla.

Aksa mengangguk. Atensinya kembali pada seorang cowok yang tidur di sofa rumahnya itu.

"Frans, bangun."

"Frans, tidurnya dilanjut di kamar, ya?" bujuk Aksa. Masih sangat pelan.

"Meong," timpal Kayla berniat untuk ikut membangunkan.

"Frans," Aksara menepuk pelan pipi Frans. Lantaran tetangga sekaligus sahabatnya itu masih belum bangun juga.

Perlahan, Frans membuka mata perlahan. Sepasang indra penglihatannya langsung disuguhi pemandangan seorang Aksara yang tengah menatapnya intens. Pupil matanya bergerak beriringan dengan neuron neuron otak yang mencoba menilik bagian demi bagian wajah Aksara. Tidak ada raut kaget sama sekali di wajah pemuda itu.

"Pindah ke kamar, ya? Engga usah sekolah dulu."

Frans masih diam. Ditatapnya kedua bola mata Aksa lamat lamat. Ada sesuatu yang berusaha Frans ingat. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Tapi apa?

Kepalanya berdenyut pusing. Ia baru tertidur setelah adzan Subuh berkumandang tadi. Frans tau. Karena Frans sempat mendengarnya sekilas. Sebelum lelah membawanya ke alam bawah sadar.

Pelan pelan, Frans berusaha mengangkat badan. Memaksakan tenaga untuk duduk. Dia letih. Sangat letih. Badannya terasa sakit semua meskipun sofa ruang tamu Aksa sangat empuk dengan kualitas dan merk ternama.

"Lo udah pulang?"

Bodoh, kan? Iya. Jelas jelas jawabannya ada di depan mata. Tak ada nada mengintimidasi dari ucapan Frans. Tidak ada lagi ucapan ketus dan pedas yang semalaman menghantui Aksa. Frans bertanya begitu santai. Aksa tersenyum sambil mengangguk.

"Ayo," ajak Aksa.

Ia tak berani menyentuh Frans lagi. Setelah menutup pintu, sang tuan rumah menaiki tangga. Sedangkan satu oknum lagi di sana mengikuti dengan malas. Entah kenapa dia menurut. Padahal rumahnya juga tidak terlalu jauh. Bahkan pas di sebelah rumah Aksa.

Aksa membuka pintu hitam yang ada di sebelah kamarnya. Kamar berukuran 4×6 meter dengan kamar mandi dalam ala hotel minimalis. Satu buah TV tergantung rapi. Sprei berwarna biru dengan beberapa bantal putih & navy. Dilengkapi pintu kaca yang langsung terhubung dengan balkon. Kipas angin menggantung rapi tepat di atas tempat tidur.

FRASA [✓]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant