03. Kenapa?

51.5K 4.7K 1.4K
                                    


❛ [ S E R P I H A N ] ❜

"Bolehkah aku merasa lelah? Bolehkah aku menyerah? Karena saat ini aku benar-benar lelah dan ingin menyerah."

GADIS itu mengembuskan napas dalam. Ia kemudian mengikat rambut panjangnya menjadi satu ke belakang dengan jepitan kecil berwarna hitam pekat.

Ia lalu menunduk dan mengikat tali sepatu kanannya yang terlepas. Selesai, gadis itu kembali ke posisi awal dengan langkah kaki yang semangat--ah, disemangat-semangatkan oleh diri sendiri lebih tepatnya.

Sembari berjalan, gadis itu memperhatikan betis putih pucatnya yang semakin hari semakin seperti betis pemain bola saja sebab ia terlalu sering berjalan kaki jauh. Ah, tapi itu bukan masalah besar, bahkan tidak ia anggap masalah.

Angkutan umum jarang melintas di depan area sekolah SMA Tunas Bangsa pada sore hari membuat Aletta dengan mau tidak mau, ya, walaupun pilihannya harus tetap mau untuk menggunakan kedua kakinya agar sampai di rumah.

Perut dan bibirnya yang tadi siang terasa panas, sekarang sudah lebih baik. Setiap kejadian pasti ada sisi baik dan buruknya. Oleh karena ia yang diberi mi ayam dengan Cassandra yang memang sudah membayar makanan itu, membuat perutnya tidak perlu diisi lagi siang ini.

Ya, walaupun ditemani racikan pedas yang sukses membakar lidah, setidaknya gadis itu merasa bersyukur saat ini. Beberapa detik kemudian saku rok abu-abunya bergetar. Ada panggilan masuk ternyata.

"Halo, Yah. Jangan pergi ke mana-mana, ya." Seraya mengangkat telepon, gadis itu berjalan lagi. "Kalau lapar, udah ada di meja ikan dan sayurnya, oke? Kalau belum, kita makan sama-sama, ya."

"Iyaa, makasih, ya. Kamu ini sigap banget sama urusan masak-memasak begini," sahut pria paruh baya di seberang sana. "Mau jadi kayak Chef Renata banget pasti, haha."

Aletta tersenyum mendengar tawa sang ayah di seberang sana. Sejak kecil jika ia melihat seseorang di layar kaca televisi mereka, tak jarang gadis itu bergumam bahwa ia ingin seperti orang yang ia kagumi itu.

Memasuki rumah dengan pintu kayu berwarna putih itu, Aletta segera melepas sepatu dan meletakkannya di ujung tembok, lalu kemudian ia bergegas ke kamar mandi guna mencuci tangan serta wajah.

Selesai mengganti seragam sekolahnya menjadi kaos oblong berwarna biru juga celana seponggol berwarna hitam, Aletta segera ke ruang depan yang menampakkan tv menyala, lalu ia menggeleng pelan melihat sang ayah yang belum menyentuh makanan.

"Kenapa gak makan duluan, Yah?" Gadis itu duduk di tikar dengan anyaman yang semakin hari semakin terbuka, lalu ia menyendoki nasi ke dua piring yang ada di sana. "udah jam tengah empat, lho."

"Gak papa, biar makan sama-sama. Lagian tadi ayah udah makan satu pisang, kok." Pria paruh baya itu menjelaskan.

Beberapa waktu kemudian terdengar decitan pintu. Dengan sigap, gadis berkacamata itu mengambil payung berwarna-warni dari tangan sang bunda yang baru saja memasuki rumah.

Aletta mengangguk-angguk mendengar penjelasan pria paruh baya berstatus orang tuanya itu. Gadis itu kemudian menjelaskan mengapa ia tak turut mengisi perut pada saat ini.

"Di sekolah? Baik-baik aja, kan, Al?" Wanita yang tadi baru saja menampakkan diri di rumah mereka itu bertanya.

Gak baik, bun.

ALETTA حيث تعيش القصص. اكتشف الآن