Kopi dan Ragu

869 37 5
                                    

Hampir tiga ratus enam puluh hari, kita membagibicarakan mimpi. Menertawakan kekonyolan-kekonyolan diri dan meneriakkan luka-luka yang saling kita beri. Kau tau aku ini apa: seorang anak laki-laki yang terlambat memakai kacamata dan suka aroma kopi.

Rasanya, baru musim penghujan lalu kita berteduh pada kanopi sebuah kedai kopi kecil. Katamu, kau ingin berbicara tentang apa makna puisi-puisi yang aku tulis, tentang apa yang aku takuti dari masa depan, tentang orang-orang yang aku temui, tentang bagaimana kita telah banyak berubah.
"Apa yang kau cari belakangan?" ujarmu.

Bahkan ketika retina coklatmu mencoba menelisik jawaban diantara hamparan cahaya hangat yang aku pantulkan dari netraku, kau tak akan menemukannya. Atau kau mungkin menemukannya, tapi kau tak menyadarinya.

Yang aku lakukan waktu itu hanya tersenyum simpul, melihat banyak ragu yang menjalar ditubuhmu, juga menjalar di tubuhku.
"Entahlah, mungkin, aku sedang mencari diriku sendiri." ucapku. Sebuah jawaban yang membuatmu frustasi karena mungkin kamu belum mengerti. Bahkan saat kau mencoba mengalihkan pembicaraan menjadi sesuatu yang lebih ringan, kau tak bisa.
Kau selalu kehabisan kata ketika mencoba menelisik tentangku, dan aku suka itu. Yang selalu terjadi diantara kita berdua adalah obrolan tentang sesuatu yang sangat abstrak, lebih abstrak dari abstrak.

Yang tak kau tau adalah aku juga sama bingungnya. Tak mengerti apa yang sedang aku hadapi: sebuah ketakutan nyata namun menuntut dipuaskan. Bahkan ketika aku tau ini akan berakhir seperti apa, diriku yang lain mencoba meyakinkanku untuk terbuka saja padamu. Tentang aku, atau tentang bagaimana kamu di mataku.

Jika mungkin terbersit di pikiranmu bahwa kau sesuatu yang baru untukku, tidak. Kau sangat familiar. Sangat-sangat aku kenal. Bahkan ketika aku memelukmu dan merasakan hangat kita masing-masing, tubuhku mengenali itu. Seakan-akan kita pernah bertemu berabad-abad lalu di sebuah dinasti, lalu dilahirkan kembali untuk kemudian saling mempertanyakan satu sama lain lagi.

Bahkan ketika kau tersenyum simpul sambil berucap 'sampai jumpa lagi' di suatu sore, aku sungguh mengaminkan itu. Mari berjumpa lagi. Dan lagi. Dan lagi.

Lebih dari sekali aku membenci pikiranku. Kadangkala ia membisikkan tentangmu. Tentang sebuah kemungkinan bahwa mungkin, kau hanyalah sebentuk kekecewaan-kekecewaan lain yang nantinya akan membuatku berdarah lagi. Entah. Ada bagian dari diriku yang tak setuju, dan ingin lari menjauh. Sementara sebagian lagi menyuruhku menetap sebentar, katanya; bukannya aku sudah terbiasa?
Ah tidak. Terbiasa bukan berarti aku baik-baik saja.

Akhirnya, begini saja: anggap aku egois. Ketika hujan turun dimatamu, aku ingin jadi raga pertama tempatmu berteduh.

Akhirnya, seperti ini saja: semoga Semesta senantiasa melindungimu. Kemudian ia jauhkan kau dari makhkuk jahat yang bernama ragu. Sehatlah, dan bahagialah selalu. Ada seseorang yang akan senantiasa mendoakanmu. Jika bukan aku, mungkin seseorang yang lain.

---
Surabaya, 22 Desember 2019.
Ekwa.

HUJAN: Sebait Kenangan KusamWhere stories live. Discover now