Malang

1K 58 3
                                    

Maka,
kuputuskan untuk menjauh sebentar, untuk melihat gambaran lebih besar, untuk memperjelas, untuk mengurai.

Kota Malang adalah satu dari sedikit tempat yang bisa kusebut rumah.
Aku ingin melayarkan rasa lelah yang mengendap di tempurung kepala pada sisa hawa dingin yang bersemayam diantara lalu lalang manusia di Kota ini.

Segalanya kuharapkan membaur, mendahului cemas, mendahului roda-roda kereta, atau dengung cerita tentang kisah manusia lemah di hadapan waktu.
"Sampai kapan" adalah pertanyaan yang senantiasa aku kenakan-- diantara sajak-sajak ragu yang menyulam malam menjadi siang, dan membingkai siang sebagai malam. Setiap bait kalimat yang disentuh jemari waktu--menguncup dan menutup, maknanya menjadi tak jelas; memang ku khususkan untuk orang-orang yang mengerti, atau mungkin mengenalku lebih. Sebuah siklus basi, terus terpatri, tanpa mau berhenti.

Berjalan, berjalan, lalu lelah.
Berlari, berlari, lalu menyerah.
Berhenti, berhenti, lalu pasrah.

Kurampungkan saja segala arsiran kata di bawah selasar roda, menguap jadi arus sungai, riaknya deras, menyeret rasa kosong sampai jauh ke laut, supaya ombak-ombak mematikan disana punya lawan yang seimbang.
Namun waktu, tak pernah ada makhkluk yang tau.

Serpihannya kadang tersangkut bersama karang, tertahan di batas cakrawala. Seperti sisa-sisa tinta, yang tercecer diantara tumpukan kertas yang tak terbaca.

----
Malang, 10 Februari 2019.
Ditulis bersama alunan hujan dan kereta, dan hentakan The Good Side dari Troye Sivan yang memenuhi gendang telinga.
Jika kau mengerti, maka kau mengerti.
Jika tidak,mungkin belum saatnya.

----
Ekwa.

HUJAN: Sebait Kenangan KusamWhere stories live. Discover now