Debaran Dua

990 47 3
                                    

Suatu sore di akhir november, Saat itu aku menunggu hujan reda, termangu di kampus. Mengutuki diri sendiri kenapa aku sampai lupa membawa jas hujan, dan berakhir membawa jas laboratorium padahal waktu itu aku sedang absen praktikum.
"Dingin", Ujarku dalam hati.

Seberapa banyak sih orang yang suka menunggu hujan reda? Maksudku, aku tak suka suara hujan di tengah hening seperti ini, seperti mengacaukan kedamaian yang selama ini aku bangun perlahan.

Hentakan irama Close to You-nya Rihanna mulai memenuhi pendengaranku waktu itu, aku duduk termangu, menatap jauh, mengamati beberapa anak yang mungkin sudah frustasi dan nekat menerobos hujan lebat ini. tapi aku? Aku belum punya keberanian, Hujan ini sebentar lagi pasti reda, pikirku.

Angka 5.00 PM terpahat jelas di layar Androidku, namun hujan belum berhenti menyapa bumi. Rindunya mungkin terlalu berat, pikirku.

"Aku masih belum pulang dari kampus, masih hujan. Kurasa aku akan terlambat. Atau lebih buruk lagi, aku tak bisa datang. Maaf" Ku kirim pesan itu ke seseorang di seberang sana.

"Tak apa. Disini juga masih hujan. Jika belum juga reda, kita bisa menundanya dulu. Tapi kuharap hujan segera reda" Balasnya.

"Baiklah" balasku lagi.

Menjelang setengah enam sore, hujan mulai reda. Tak butuh waktu lama, aku melangkahkan kaki ke parkiran fakultas dan mulai mengendarai motor tuaku pulang. Udara sore itu sangat amat sejuk, Surabaya seperti dilahirkan kembali, polusinya hilang dibasuh tangisan langit.

"Aku sudah sampai. Kau dimana?" Tak butuh waktu lama, pesan itu terbalas.
"Lihat keatas. Aku di meja nomor dua puluh. Jaket hitam" balasnya lagi.

Dua menit. Dia menebar senyum sumringahnya.
"Apa kabar?" Katanya basa basi.

"Kau tau, aku sangat benci kalkulus. Lebih baik aku membuat laporan praktikum dua kali".Keluhku padanya.

"Kau ini. Iced Moccachino? Kau suka ini kan?" Tawarnya.

"Apapun yang gratis aku suka kok" celotehku.

Aku suka mengeluh padanya. Hal-hal kecil seperti betapa membosankannya dosen kimiaku, betapa sulit dicernanya kalkulus, sampai jadwal tidurku-pun senantiasa aku keluhkan.

Dan kau tau bagian mana yang aku suka? Dia tak pemah berujar: "Mengeluhlah pada Tuhan. Dia tak akan pemah meninggalkanmu"

Dia senantiasa tau bahwa ketika seseorang mulai mengeluh tentang hal-hal kecil padamu, itu berarti dia sedang butuh seseorang untuk mendengarkan, untuk dibaginya keluh kesahnya.
Bukan. Ini bukan tentang aku tak percaya Tuhan atau apa, maksudku, tak pemahkah kau berfikir bahwa seseorang yang mengeluh padamu itu sebelumnya telah mengadu pada Tuhan, dan Tuhan ingin menjawab doanya lewat dirimu?

"Aku ke Jogja minggu depan"  Ujarnya singkat.
Baru saja aku hendak mengutarakan sesuatu, dia berujar lagi : "Iya, akan aku bawakan coklat Monggo kesukaanmu" Pungkasnya.

Rasa-rasanya tak pernah cukup aku mengucapkan terimakasih padanya telah menjadi pewarna kisah dalam hidupku.

Namun aku tau, diantara suram dan temaram, ada rentetan kisah yang tak kau ceritakan, yang mungkin, dalam perjalananmu keJogja, kau ingin membuangnya jauh-jauh.
Malam itu aku hanya bisa mengatakan padamu bahwa kamu akan baik-baik saja, Dan aku harap suatu saat-- kau mau menjadikan aku sebagai salah satu orang yang Tuhan jadikan jawaban atas keluh kesahmu : Telinga yang mendengarkan, Hati yang mengerti, dan Orang yang tak 'kan pernah pergi.

---
Ekwa

HUJAN: Sebait Kenangan KusamWhere stories live. Discover now