Peluk

529 38 5
                                    

kau pernah berucap padaku bahwa kita menyimpan bagian-bagian kecil dari orang yang pernah kita temui. tuturmu, dengan begini kita tak pernah melupakan siapapun—tidak seutuhnya. bagian kecil dari mereka tetap bersama kita, tak pernah benar-benar pergi.

lalu pikiranku berkelana, bagaimanakah bentuk jejak yang aku tinggalkan pada setiap kehidupan yang pernah kusentuh? kadangkala, ketika aku merasa aku tak mengenali diri sendiri, aku ingin mengumpulkan bagian-bagian kecil itu, kemudian membentuk sebuah mozaik, sebuah peta— mungkin dengan cara ini aku bisa mengenali diriku lebih baik, mungkin dengan cara ini aku bisa melihat diriku dengan cara yang lebih baik.

ucapmu lagi, aku terlalu keras pada diri sendiri. katamu, harusnya aku memelan agar tak letih. coklat matamu kemudian beradu dengan hitam mataku, kataku; kau menghafalku dengan fasih, hitam-putih, teduh rupamu lantas meniadakan ruang-ruang sedih.

diantara rindu yang menggelayut, kau dekap aku erat— seolah esok rembulan akan meredup. kau kunci aku dalam ruas-ruas rusukmu, memenjarakan aku, menegaskan bahwa aku hanya milikmu.

ada rona-rona merah menyapu wajahmu, hangat tubuh kita menyatu, kau hirup aromaku selayaknya itu adalah nafas terakhirmu, seakan kau merekam momen ini lamat-lamat, menelanjangi pikiran kita masing-masing, lalu membingkainya dengan keabadian.

ujarku— aku tak ingin lagi berada pada posisi dimana aku bertanya; apakah aku cukup? apakah aku layak dicintai? apakah aku terlalu baik? apakah aku terlalu jahat? apakah aku terlalu peduli? apakah aku terlalu tidak peduli? — meragukan diri sendiri, menjadi jahat pada diri sendiri.

bagaimanapun, aku tau jawabnya; aku cukup. dan pernyataan ini sudah lebih dari cukup. diakhir, orang-orang akan menganggapmu pengecut jika tak melakukan apa-apa, namun mereka juga akan menganggapmu 'terlalu peduli' jika kau memutuskan melakukan sesuatu. aku tau polanya: orang-orang akan selalu punya sesuatu untuk diutarakan, akan selalu punya benci untuk disebarkan, akan selalu punya iri untuk disuburkan, akan selalu punya penyakit hati untuk dilestarikan.

'jangan— jangan jadi orang itu.' ujarmu. 'hidupilah hidupmu sebagaimana aku menghidupi hidupku. kecuplah aku ketika kau sedih, peluklah aku ketika kau letih. kau selalu punya tempat pulang, pada ruas-ruas rusukku, pada letih punggungku, pada tangis-tangisku, pada kekhawatiran-kekhawatiranku— kau selalu punya tempat untuk pulang; padaku, lalu pada dirimu sendiri'


ekwa.

HUJAN: Sebait Kenangan KusamWhere stories live. Discover now