Politik

704 34 3
                                    

Dari awal yang kusoroti adalah kesetaraan gender. Hak yang setara antara pria dan wanita. Patriarki adalah budaya, dan budaya itu mengakar. Untuk lepas darinya, perlu generasi yang peduli untuk menciptakan pola pikir yang baru, sudut pandang yang baru. Tidak perlu jadi wanita untuk tau stereotype yang dihadapi mereka. Pun, tidak perlu jadi pria untuk tau hal yang sama. Kita hanya perlu belajar, belajar mengeja sudut pandang.

Aku tau bagaimana rasanya dipandang aneh karena stereotype. Memakai baju motif bunga ke kampus, people tend to make fun of you. Memakai skincare dan peduli terhadap perawatan diri, itu masalah. Menjadi lemah, tidak boleh. Menangis, tidak boleh. Menunjjukkan kasih sayang dan perhatian, itu tabu. Lemah lembut, tidak boleh. Nulis puisi--alay. Membawa parfum ke kampus, katanya: jadi cowok kok ribet. Pria itu harus maskulin, harus misterius-- konon katanya harus begitu.
Pria maupun Wanita sama sama menghadapi banyak stereotype yang dampaknya bagi mereka nyata; hanya satu yang semu: harapan bahwa stereotype ini bisa hilang tanpa kita mau memahami dan mengerti. Indonesia kekurangan literasi. Tidak hanya literasi buku, tapi juga literasi keadaan.

Tensi darahku naik saat aku mengetahui bahwa--singkatnya-- korban pemerkosaan 'dipaksa' menanggung anak dari pemerkosa. Apa yang lebih gila dari mendengar berita seperti ini? Saat kukaji lebih jauh pun, dari rumpun ilmu yang aku tau, beberapa kasus kehamilan tak dapat dideteksi dengan waktu secepat itu. Bahkan dalam mimpi pun, tak bisakah negara memihak korban, bukan lagi pelaku?

Akar masalahnya lagi lagi kembali ke patriarki. Katanya: wanita yang memancing pemerkosa. Begitu. Lalu si Pria tidak salah; wajar katanya jika seorang pria itu 'nafsuan'. Logika macam apa? Jika ada yang mencuri roti dari toko roti karena baunya 'memancing', apakah salah toko rotinya?

Kukira tak ada yang lebih buruk dari ini. Nyatanya, DPR membuktikan bahwa anggapanku salah. Mereka menghancurkan segala pucuk harapku bahwa negara ini bisa maju. Kutengok pasal-pasal ngawur mereka. Mulai dari ranah KPK, Sampai urusan selangkangan. Pak, Bu. Selangkangan saya bukan aset negara. Pak, bu. Dukun santet tak bisa dibuktikan secara ilmiah. Pak, Bu. Kenapa Denda Korupsi bisa lebih kecil dari yang melakukan hubungan atas dasar suka?

Ketika aku cermati lagi, dalam sudut pandangku, Undang-undang yang dicanangkan ini tidak pro-rakyat, Lebih-lebih Pro-wanita.
Kenapa para pria selalu lebih tau tentang tubuh wanita daripada wanita itu sendiri?
Kenapa yang membuat peraturan atas tubuh wanita adalah bapak-bapak berkumis tebal yang--paham tentang masalah reproduksi,pun--belum tentu?

Seorang wanita berhak menjadi ibu, pun juga berhak menolak untuk menjadi ibu.
Korban pemerkosaan dan pelecehan butuh lebih dari sekedar rasa kasihan, mereka butuh undang-undang yang melindungi mereka dari manusia-manusia tak berperasaan.

Cahaya diujung terowongan yang selama ini jadi bahan bualan itu nyatanya masih ada.
Aku dan kamu hanya perlu mengusir kabut satu demi satu. Petak demi petak. Langkah demi langkah.
Selalu ada esok pagi yang lebih baik.
Karena selama bunga pagi masih merekah,
Kamu dan aku masih belum kalah.

--

Ekwa.

HUJAN: Sebait Kenangan KusamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang