Hiraeth

304 25 0
                                    

"lalu selain cinta, apalagi yang kita punya?"

Ada ratusan benang rumit yang memintal kita berdua, pada tiap jengkalnya tertuang perasaan-perasaan kalut, pada tiap pintalnya terngiang "aku mencintaimu" yang kemudian menyublim bersama angin. Hampa tanpa rupa. Aku benci kata 'hampir'—ia menggambarkan sesuatu yang terlalu jauh untuk digapai namun terlalu dekat untuk dilepas begitu saja. Aku benci ide-ide tentang 'bagaimana jika' di antara kita berdua, menerka-menerka tentang adanya semesta lain yang mungkin menghapus ketidakmungkinan, sebuah semesta dimana aku memeluknya lalu ia memelukku, — semesta dimana aku mencintainya dan ia mencintaiku. Sesederhana itu.

Pandanganku menerawang, kepada bulir-bulir hujan yang jatuh sejengkal demi sejengkal, membasahi tiap hamparan rerumputan kering yang pernah dibakar matahari. Hatiku tandus kala itu— melihatnya membuatku kembali ke masa-masa dimana kita hanyalah dua orang anak manusia yang ingin belajar jatuh lalu sakit. Luluh lalu bangkit.

Jemarinya mengelus jemariku, semacam mempertemukan dua hal yang amat sangat berlawanan. Ia dengan cintanya lalu aku dengan ketakutanku. Telapak tangannya mengusap lembut punggung tanganku, mengucap kata yang hanya bisa dimengerti pembuluh darah. Atau saraf sensori kulit. Atau rasa rindu yang kian habis dimakan waktu. Yang kuingat, waktu berjalan sangat lambat saat itu, ada kabut sedih yang kian pekat, kita berdua tau apapun dan bagaimanapun yang dipilih akan selalu menemui jalan buntu.

"Kau tau aku mencintaimu, dan itu tak akan mengubah apapun. Tidak tentangmu, lebih-lebih tentangku. Kau adalah ketakutanku. Kau adalah mimpi-mimpi. Kau adalah dusta-dusta. Kau adalah kesempurnaan yang tidak sempurna, ketidaksempurnaan yang sempurna. Aku jatuh, padamu. Diantara hari-hari yang cerah lalu pada malam-malam yang mencekam. Aku jatuh padamu terlalu dalam"

Dipeluknya ragaku, nafasnya terdengar berat dan jelas. Mungkin ia sedih, mungkin pula rindu. Butuh jeda cukup lama sampai aku merengkuhnya. Merengkuh raga itu. Kita membagi hangat yang sama. Aroma tubuhnya familiar, begitu pula hadirnya. Ada banyak yang tak kuceritakan padanya, terlepas ketika ia mungkin merasa bahwa aku adalah sebuah buku dengan halaman terbuka. Yang tak ia tau, aku juga sama gilanya. Aku juga sama jatuhnya— jatuh cintanya. Ada jawaban yang dicari dari retina ke retina, namun tak menemui jumpa. Hari itu, masing-masing diantara kita berdoa— pada Tuhan, pada Setan, pada apa-apa yang kiranya dapat menghapus angan. Kita menari diantara kemustahilan, berdansa diantara kehampaan.

Aku padanya sebagaimana ia padaku,
Aku baginya sebagaimana ia bagiku.
Ia hidup dalam takutnya, aku hidup dalam takutku.
Ia hidup dalam sakitnya dan aku hidup dalam sakitku.
Namun semesta, tak sama bagi kita berdua. —pada definisnya, pada hakikatnya.
Namun cinta, tak sama bagi kita berdua. —pada doktrinnya, pada esensinya.

"Aku tau kau mencintaiku; namun aku tau pula; bagimu; aku adalah nyala lilin yang hanya kau cari ketika gelap memelukmu, ketika kau tak temukan matahari. Aku adalah tempat berlabuh rasa sedihmu, dan karena itu kau mengagumi aku. Aku adalah stasiun bagi kecewamu, dan karena itu kau menyayangi aku. Aku adalah jurnal jurnalmu, dan karena itu kau mencintai aku.

—— yang aku benci dari ini semua adalah; kau mau aku namun tak pernah benar-benar menginginkanku. yang aku benci dari ini adalah, kau tau aku mencintaimu dan benar-benar mencintaimu. kau tau aku tak akan pergi, dan kau tau aku selalu punya tempat untukmu.

Namun, aku lebih dari sekedar tempat berlabuhmu— aku adalah tempat berlabuhku.
Aku lebih dari sekedar persepsimu tentangku; dan aku tau itu.
Benar, aku mencintaimu, namun aku lebih mencintai aku. Tempat pertama kurebahkan tubuh; ketika cahayaku layu dan kau tak butuh aku. Raga pertama yang memelukku ketika kau meninggalkan aku.
Sebanyak kau ingin aku kembali padamu, sebanyak itu pula aku ingin kembali kepada diriku sendiri.

Kelak kau akan mengingatku,
Kau akan mengingatku diantara jeda tawamu, Kau akan mengingatku diantara jeda tangismu, lalu diantara jeda lagu-lagu favoritmu.
Bahkan ketika itu menyakitimu.
Bahkan ketika kau tak yakin akan hal itu.

Dan pada akhirnya kau akan mengutus tanya padaku; Lalu selain cinta, apalagi yang kita punya?"


Surabaya, 27 Maret 2022.
EKWA

HUJAN: Sebait Kenangan KusamWhere stories live. Discover now