Perlahan, Ara membungkuk. Menyejajarkan posisi bungkuknya dengan posisi bungkuk si kecil. Mengambil krayon warna sambil sedikit menjelaskan.

Farel yang melihat interaksi antara Ara dan adiknya itu pun mengernyit bingung. Ia memandang bergantian antara Ara yang bersama adiknya dengan Clarissa yang saat ini tengah duduk di sofa belakang Ara. Apa maksudnya pula kalimat-kalimat yang barusan Ara lontarkan pada adiknya itu?

Tak hanya itu, tadi ketika masuk pun ia melihat bagaimana Ara memandang foto kelulusannya. Tidak bodoh untuk mengetahui bahwa Ara tersenyum, tapi sangat samar. Terlebih lagi, mata perempuan itu berkaca.

Merasa penasaran dengan semuanya, ia pun menyusul ibunya yang berada di dapur.

"Mah?"

"Iya?" Ucap Fitta tanpa menoleh karena tengah memasukkan es batu pada gelas yang berisi minuman berwarna kuning itu.

"Farel--"

"Nggak usah dipaksa, pelan-pelan aja. Nanti malah kamu sendiri yang sakit. Ya?"

Farel mengangguk menyetujui. Kemudian ia membantu ibunya itu untuk membawakan toples kue kering ke ruang keluarga.

"Wahh pada ngapain ini?"

"Mama! Kakak Ara pinter loh, tadi Farah diajarin ini."

Fitta tersenyum bahagia. "Iya? Wahh jadi sekarang udah bisa?"

Farah mengangguk kuat. Pipinya yang gembul itu ikut naik turun membuat Ara gemas.

"Ululu ini pipinya nggak berubah ya? Dari dulu gembul terus."

Farah tertawa-tawa karena pipinya dimainkan oleh Ara. Ara sendiri jadi ikut tertawa karena ekspresi dari gadis cilik itu.

"Oh iya, Ra, kuliah dimana sekarang?"

Ara tersenyum, "Ara belum masuk tante. Kemarin coba seleksi tapi enggak diterima."

"Loh enggak coba mandiri?"

Ara menggeleng, "pingin masuk yang seleksi tante, hehe."

"Oh gitu, kalo Clarissa?"

"Kuliah di Uspan tante."

Obrolan ringan itu pun terjalin begitu saja tanpa jeda.

Ara sendiri merasa kembali seperti saat ia pernah datang ke rumah Farel yang di Jakarta. Semuanya masih sama. Hanya saja laki-laki itu sendiri yang Ara rasa berbeda.

"Udah kalian nginep disini aja ya, nanggung kalo mau cari hotel."

"Iya kak! Bobok sini aja ya, nanti main lagi sama Farah."

Ara tersenyum tak enak. Matanya memandang Clarissa untuk sekedar meminta pendapat.

Clarissa sebdiri hanya mengedikkan bahu tanda untuk mengikut saja apa yang akan menjadi keputusan Ara.

"Ara nggak enak ah tante."

"Nggak enak gimana sih, udah nggak papa."

"Oh yaudah kalo gitu, makasih ya tante."

***

Ara duduk di sebuah kursi taman dengan semangkuk siomay ditangannya. Mulutnya menggelembung sebelah karena besarnya siomay yang tak kunjung ia kunyah.

Moodnya sukses dijatuhkan ketika dari setengah jam yang lalu ia ditinggal begitu saja oleh Farel. Cowok itu memilih menemani Clarissa untuk mencari makanan apa yang Ara sendiri tidak tau.

"Dikunyah kali, Ra."

Ara melirik sekilas pada Arga. Hah, cowok itulah yang sedari tadi menemaninya.

About YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang