Chapter 39

22 8 3
                                    

Sudah hampir satu tahun dari kejadian itu tapi selama itu juga Farel tak juga menghubunginya. Cowok itu benar-benar hilang seakan memang benar-benar pindah dan tak akan kembali.

Seminggu-dua minggu pertama Ara masih dilanda gusar. Masih berharap bahwa Farel akan datang atau paling tidak mengiriminya pesan. Rasa hatinya masih tidak tenang walau sebenarnya masih ada kekecewaan yang terselip. Tetapi walaupun kecewa, Ara tetap tak bisa mengelak bila dirinya menginginkan cowok itu. Rasa kehilangan begitu tercetak bahkan sampai hampir bisa menutupi rasa kecewanya. Ara baru sadar ternyata pengaruh Farel begitu besar pada dirinya.

Ara sudah saking seringnya berusaha menghubungi nomor Farel, tetapi tetap hanya suara operator yang membalas. Sampai-sampai Ara lelah sendiri. Ingin sekali rasanya menelepon ibunda Farel, tetapi yang disayangkan Ara tidak memiliki nomor kontak beliau.

Huh, saking tidak bisa melupakan cowok itu Ara bahkan sering mengunjungi tempat-tempat yang dulunya kerap mereka kunjungi. Seperti halnya kedai jus, taman di dekat komplek Ara bahkan gor bulu tangkis yang menjadi tempat terakhir mereka kunjungi.

Ara sering kesana, dari ketujuh hari dalam satu minggu pasti satu hari ia sisihkan untuk kesana. Tetapi dirinya hanya berkunjung, alias tidak melakukan apa-apa ketika sampai. Ara hanya diam dan kadang kala menangis ketika mengingat setiap kebersamaannya dengan laki-laki yang membawa pergi sebagian hatinya.

Kali ini Ara tengah duduk diam di kedai jus. Memesan jus mangga dan alpukat masing-masing satu. Ia duduk di bagian depan dekat jendela kaca. Menandangi setiap pelanggan yang masuk atau hanya sekedar berseliweran di jalanan sana. Ara meneliti satu per satu kalau-kalau saja ada Farel di sana. Ah, Ara masih berandai-andai jika Farel kembali dan menemuinya di kedai ini.

Setiap datang ke kedai ini Ara membutuhkan waktu sekitar setengah jam agar dirinya lega. Bahkan kadang kala bisa lebih. Ia baru mau beranjak pergi ketika sudah lelah menunggu. Ketika pulang pun dirinya sudah pasti membawa jus alpukat yang masih utuh karena si penyuka alpukat tidak pernah datang.

Alhamdulillahnya, akhir-akhir ini Ara sudah tidak terlalu tenggelam pada rasa kecewanya. Ia sudah mulai menerima bila cowok itu memang benar-benar sudah tidak ada disini.

Sepuluh bulan, sudah cukup membuat Ara terbebas dari kecambuk mengenai Farel. Perlahan ia sudah menerima bahwa garis Tuhan tidak bisa dilaluinya. Semua ini takdir. Kedatangan Farel kala itu mungkin sudah cukup untuk memberikan kebahagiaan pada Ara. Walaupun sebentar dan belum merasakan bukti nyata dari perasaan cowok itu, tetapi Ara mencoba paham. Mencoba ikhlas.

Hari-harinya Ara lewati dengan kehidupan baru tanpa adanya cowok itu. Melakukan rutinitas biasa ketika di rumah. Sendirian, kadang kala ia ikut membantu bisnis Revan di cafenya. Dirinya juga jarang keluar rumah karena kesibukan Febby dan Clarissa yang sudah memasuki dunia perkuliahan.

Tahun ini Ara memang belum menjadi seorang mahasiswa. Jika kalian semua berpikir itu semua karena patah hati menelan kekecewaan pada Farel, dengan lantang Ara menjawab tidak! Ara tak sebodoh itu untuk mengorbankan masa depannya hanya demi sosok laki-laki yang entah besoknya milik siapa.

Tahun ini, Ara sudah berusaha mencoba berbagai jalur untuk bisa masuk PTN. Tetapi mungkin bukan rejeki Ara untuk kuliah tahun ini. Mungkin tahun depan? Ara tak patah semangat.

"Tumben nggak ke cafe sayang?"

Ara yang tadinya fokus pada lamunan tersentak kaget. Berusaha mengingat pertanyaan bundanya tadi agar tidak bertanya ulang. "Engg.... enggak bun, libur."

"Oh gitu."

Ara mengangguk-angguk. Karena bosan dan serasa tak ada yang bundanya bicarakan lagi, Ara mengambil ponsel yang berada di meja depannya.

About YOUWhere stories live. Discover now