Chapter 33

22 6 6
                                    

Kesibukan anak kelas dua belas sudah begitu terasa. Segala bentuk latihan-latihan ujian sudah digembleng sejak tiga bulan ini. Ara saja sudah tidak berani keluar untuk sekedar main. Paling mentok juga ke toko buku untuk membeli beberapa buku latihan Ujian Nasional.

Sikap semua teman sekelasnya juga berubah menjadi serius. Beberapa yang dulu bodo amat dan terkesan menyepelekan, sekarang sudah serius betul-betul insyaf. Ah benar kali ya kata orang, bila saat kelas 10 masih polos-polos patuh, naik ke kelas 11 waktu yang digunakan untuk senang-senang lalu sedikit nakal, dan saat kelas 12 insyaf serta taubat.

Bila dikatakan Ara terlalu memforsir diri, tidak juga. Tetapi bila tidak seperti ini, bagaimana lagi? Toh semua ini juga bakal ada gantinya kan. Untuk masa depannya juga kan?

Tok-tok-tok.

"Masuk."

Bunda menghampiri putrinya dengan segelas susu. Meletakkan gelas itu disamping buku dan mengelus sayang puncak kepala Ara.

"Belajarnya nggak usah terlalu keras sayang, kalo capek ya istirahat."

"Iya Bunda, makasih ya."

"Iya sayang, diminum dulu."

Ara mengangguk patuh. Menyelesaikan minumnya hingga tandas masih dengan bundanya dibelakang.

"Udah bunda istirahat aja, nanti biar Ara yang bawa ke bawah."

"Yaudah, iya."

Cup.

Kepergian Bunda diawali dengan kecupan lembut di pelipis Ara. Ara sendiri juga mengantarkan senyuman hingga akhirnya pintu kamar tertutup lagi.

Gadis itu menghembuskan napasnya pelan. Menatap kembali buku yang masih terbuka dengan sorot nanar. Capek. Belum ada setengah dari buku yang ia beli kemarin malam habis ia kerjakan, tetapi rasanya sudah bebal.

Ara melipat bagian terakhir buku yang ia buka lalu menutupnya. Meraih gelas kosong yang tadi untuk tempat susu dan melenggang turun ke lantai bawah. Sebelum sampai di dapur, Ara melihat ayahnya tengah bersandar di sofa ruang keluarga dengan televisi yang menyala. Ia ingin menghampiri, tetapi sebelumnya ia kembali ke niat awal untuk meletakkan gelas di dapur dulu.

"Ayah?"

Mata Gio yang tadi sempat tertutup tiba-tiba langsung terbuka dan menoleh. Seulas senyum pun terbit ketika netranya menangkap sosok putri satu-satunya itu. "Eh, kamu belum tidur sayang? Sini." Ucapnya sambil menepuk sofa tepat disampingnya.

Ara menggeleng sebagai jawaban. Kemudian duduk tepat disamping ayahnya. Menatap raut wajah satu-satunya laki-laki yang berada dikeluarganya. Guratan-guratan lelah sangat tercipta diwajah itu. Ara jadi berpikir, sebegitu kerasnya kah ayahnya bekerja selama ini? Rela bolak-balik keluar kota karena kewajibannya demi keluarga ini. Padahal awalnya Ara pikir setelah beliau dipindahtugaskan disini, beliau sudah tidak bolak-balik luar kota lagi. Tapi nyatanya tetap sama saja. Ara merasa kasihan bila ayahnya harus capek ketika berada di perjalanan. Ara yakin, capek itu berasal dari waktu yang ditempuh di perjalanan, bukan dari pekerjaan ayahnya sendiri.

Mata Ara sudah berkaca-kaca. Sorot mata ayahnya begitu teduh menggambarkan keayaahan. Tidak pernah beliau meluapkan rasa lelahnya di depan Ara. Entahlah kalau kepada bundanya, Ara tidak tahu. Ayahnya bahkan sama sekali tidak pernah keras saat mendidiknya. Selalu lembut bila menasehati. Hah, beliau adalah sosok ayah yang sangat-sangat Ara banggakan tanpa kecuali.

Kemudian Ara menyenderkan kepala di bahu sosok hero disampingnya itu. Yang kemudian dibalas langsung oleh dekapan hangat.

"Putri Ayah kenapa? Tumben manja?"

About YOUDove le storie prendono vita. Scoprilo ora