Chapter 7

191 115 97
                                    

"Pagi bun-nda... loh lo ngapain disini pagi-pagi!?" Ucapku kaget. Hingga langkahku terhenti pada undakan tangga terakhir. Masih mematung tak mau mengarah ke meja makan.

Tentu saja kaget. Coba kalau kalian, bagaimana bisa orang yang kalian benci sudah nangkring dimeja makan. Sudah makan mendahului sang pemilik rumah pula.

"Bunda ngapain ijinin orang kaya dia masuk!" Ucapku dingin.

"Hus kamu itu, nggak boleh kayak gitu. Farel itu disini tamu. Udah cepetan sini sarapan." Tentu saja bukan Farel yang menjawab.

Mau tak mau aku pun kembali melangkahkan kakiku. Tatapan mataku masih tak luput dari Farel. Hingga akhirnya aku duduk berhadapan dengan manusia astral sepertinya. Moodku kembali buruk pagi ini, setelah semalaman aku diceramahi bunda. Huh! Coba saja kalau ayahku dirumah, tentu saja Farel yang akan mendapatkan semua itu. Farel yang salah eh aku yang kena omel.

Farel tak menggubris tatapan mataku yang seolah telah mengintimidasinya. Ia masih dengan santai meyendokkan nasi goreng ke mulutnya, masih dengan tampang tak berdosanya. 

Tak kusentuh sedikitpun nasi goreng yang telah terhidang didepanku. Sungguh baunya sanggat menggodaku tetapi selera makanku hilang begitu saja saat melihat makhluk astral itu tengah makan nasi goreng yang sama persis seperti punyaku. Hingga akhirnya aku hanya menegak sedikit susu yang sudah dibuatkan bunda.

"Bun..." aku berdiri dan menyalimi tangan bunda. "Ara berangkat dulu."

"Ara, kalo nggak mau makan susunya dihabisin dulu. Bunda udah capek-capek bikin lho."

Akupun hanya bisa menuruti perkataan bunda. Daripada aku kembali dapat ceramah lagi.

"Berangkatnya sama Farel ya sayang."

Uhuk! Uhuk. Aku tersedak susu yang kuminum. Apa tadi? Ah mungkin aku salah dengar. "Apa bunda?" Tanyaku ulang untuk memastikan apa yang kudengar tadi memang salah.

"Kamu berangkatnya sama Farel. Soalnya tadi Pak Udin ijin sama bunda mau nganter anaknya ke rumah sakit."

Ternyata apa yang kudengar tadi tak salah. Mataku sontak melotot. "Nggak! Ara nggak mau. Ara bisa naik Grab kok bun."

"Ngapain sih pake Grab segala, gue kan udah disini. Udah setengah 7 lebih nanti lo telat."

Akupun menolehkan kepalaku ke asal suara. "Nyamber aja sih lo. Gue nggak ngomong sama lo!"

"Sayang, udah ya. Bener kata Farel, ini udah jam segini loh, nanti kamu terlambat. Dihukum lagi kaya kemarin. Katanya udah kapok dikasih soal matematika 50."

Damn! Bundaaaaa. Sungguh bundaku ini ingin kucium. Ya Allah bunda itu aib anakamu.

Disana, Farel terlihat sedang menahan tawanya yang siap meledak. Tetapi ia masih punya hati untuk tidak menertawakan Ara yang saat ini tengah memejamkan matanya dengan wajahnya yang memerah. Malu mungkin.

"Udah sana berangkat. Ini juga bentuk tanggung jawab Farel sama kamu kok."

Percuma saja jika Ara menolak, pasti bundanya akan menceramahinya lagi dan lagi. Ia pun hanya pasrah dan lebih memilih mengikuti. Titah bundanya itu seperti sabda raja! Harus dilakukan.

"Iya! Yaudah Ara berangkat. Assalamualaikum." Putus Ara. Ia pun melangkahkan kakinya terlebih dulu ke depan.

"Yaudah bunda, Farel berangkat dulu ya. Assalamualaikum." Ucap Farel dengan menyalimi tangan bunda.

"Iya waalaikumsalam hati-hati ya."

"Iya bunda."

Sesampainya di depan rumah, Ara mengedarkan pandangannya ke seluruh halaman, tetapi ia tak juga menemukan sebuah kendaraan yang mungkin dibawa Farel. Kemudian matanya menangkap sebuah motor vespa di depan pagar. Tidak mungkin itu motor Farel kan, mana mau Farel membawa motor jadul seperti itu. Dilihat dari tampangnya pula Farel juga tidak mungkin selevel dengan motor itu.

About YOUWhere stories live. Discover now