"Nggak sopan banget lo ngomongnya." Farel yang sedari tadi hanya menyimak pun menyuarakan.

Radit beralih. Menghentikan tawanya yang belum juga reda ketika menggoda ayahnya tadi. "Ck! Udah biasa kali. Eh iya! Lo belom cerita sama gue. Gimana bisa orang kaya lo diajak Ara sampai sini, kenal dimana kalian?"

"Maksud lo 'orang kaya lo' apa?" Nada Farel berubah sensi.

Radit mengangkat kedua tangannya pertanda menyerah dengan kalimat yang baru saja dilontarkan oleh laki-laki di depannya itu. "Selow bro. Maksudnya, yaa okelah Ara udah 2 tahun nggak balik. Tapi kok bisa sih dia ngajakin elo? Nih ya, selama disini itu Ara nggak pernah deket atau istilahnya banyak temen, apalagi cowok. Di SMP aja dia itu mainnya ya cuma sama gue. Gue sempet khawatir juga sih waktu dia SMA di Jakarta, takut gaada temen."

"Sebenernya gue juga baru kenal sih sama Ara. Kelas XI akhir baru aja pindah."

Mata Radit yang sipit itu dipaksa untuk melotot. "Serius!? Anjir kok bisa langsung deket? Pake pelet ya lo?"

Nah kan Radit itu. Kebiasaan kalo ngomong sekeluarnya dari mulut. Bila Ara yang bilang, Radit itu laki-laki paling bawel bin absurd yang ia temui di muka bumi.

"Sembarangan!"

Radit menatap Farel lekat. Menelisik hal apa yang mungkin membuat Ara tertarik dengan kehadiran cowok itu. Farel sendiri bergidik ngeri ketika Radit menatapnya tak berkedip. Lalu menoyor bagian kepalanya karena risih.

"Geli anjir! Ngapain lo liatin gue kaya gitu. Gue tau gue ganteng."

"Anjir! Gue normal ya." Mulut Radit sedari tadi terus komat-kamit. Menyumpahi kegantengan Farel yang memang benar adanya. Tetapi bila dibandingkan dengan dirinya sendiri, yaa bisa dibilang sebelas dua belas.

Puk! Timpukan bantal sofa tepat mengenai muka Radit yang masih mengarah pada Farel. "Katanya normal!"

Dan alhasil terjadilah perang bantal sofa pada kedua laki-laki tujuh belas tahun itu. Sudah punya KTP sih, tapi entahlah untuk masalah kedewasaan sepertinya patut diragukan.

Di bagian belakang, Febby dibuat melongo oleh adegan di depan matanya. Cowok bukan sih?

"Woi!"

Kedua laki-laki itu menoleh dengan masing-masing yang masih mengangkat bantal.

"Cowok bukan sih? Masa mainan bantal."

Dengan gerakan refleks keduanya langsung menjatuhkan. Lalu berseru bebarengan, "cowok lah! Perlu bukti?"

Febby semakin melotot. "Jijik!" Ia pun melangkahkan kakinya meninggalkan dua cowok yang sebenarnya masih diragukan itu. Masuk ke area dapur untuk mencari makanan karena perutnya terus meronta.

Febby membuka kulkas, hanya menemukan bahan-bahan mentah dan satu batang coklat. Ia mendesah lesu. Kemudian kembali lagi dimana cowok-cowok tadi berkumpul.

"Laper nih."

Kedua cowok itu pun mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk memainkan ponsel masing-masing. "Makan lah."

"Adanya mentah. Beli sana, Rel!"

"Lah kok gue? Yang ada nyasar nanti."

Febby mendengkus keras. "Katanya cowok! Cowok kok takut nyasar!"

"Ck! Yaudah sama gue yuk." Radit sudah berdiri. Bersiap melangkahkan kakinya untuk keluar.

"Ayok, Rel."

"Itu loh sama Radit."

Febby merendah, kemudian berbisik. "Yakali berdua. Canggung lah mana gue nggak kenal lagi."

"Bacot banget. Biasanya gimana?"

Tak segan Febby menampleng cowok di depannya itu. Dirinya sudah berbisik eh malah dibalas sentakan keras.

"Ayok!"

"Malu dia kalo cuma berdua sama lo. Nggak kenal katanya." Muka Febby sudah memerah padam. Diinjaknya kaki laki-laki yang bernama Farel itu.

"Auuuh!"

Febby berlalu. Berjalan cepat menuju dimana Radit yang tengah berdiri di ambang pintu. Sebelum benar-benar keluar, Febby menyempatkan menjaritengahkan jarinya kepada laki-laki yang saat ini masih mengusap kakinya yang terasa sakit setelah diinjak tadi.

Febby dan Radit. Mereka berdua berjalan beriringan menyusuri jalan komplek. Keduanya bungkam, tidak tau ingin berbicara apa. Febby sendiri merasa aneh ketika itu, suasana berubah menjadi awkard. Kakinya ia gunakan untuk menendang-nendang kerikil kecil di setiap langkahnya.

"Ehm! Lo udah lama kenal Ara?"

Febby menoleh, "emmm, yaa dari awal SMA sih."

"Ooh."

Keadaan kembali hening. Hanya ada suara beberapa kendaraan bermotor yang kebetulan melintas. "Enak ya disini, masih ada adem-ademnya."

"Ya gini lah. Tapi udah banyak berubah. Mari budhe."

Febby tak menyangka, Radit laki-laki yang awalnya ia rasa sombong, aneh dan absurd masih menjunjung tinggi sopan santun. Febby kagum. Eh?

"Masih jauh nggak?"

"Enggak, capek?"

"Capek? Haha enggak lah baru segitu juga."

"Maling! Maling!"

Radit tersentak. Dilihatnya beberapa warga tengah berlarian mengejar seseorang dengan pakaian serba hitam. Tak hayal Radit pun ikut berlari mengejar. Febby yang kebingungan pun mau tak mau ikut berlari mengejar Radit. Terjadilah aksi kejar-kejaran yang berakhir saling pukul.

Di tempatnya Febby gemas melihat Radit yang tak bisa menguasai perkelahian. Pukulannya terlihat acak-acakan dan berakhir dirinya sendiri yang terkena pukul.

Febby pun berlari ke sana dan memulai sesi pertarungan. Hitung-hitung latihan, rasanya ia sudah lama tak merobohkan lawan.

Setelah usai. Si maling tadi pun diarak warga ke kantor polisi. Radit sendiri tengah mengusap bibirnya yang terluka. "Gabisa berantem gausah sok-sokan."

"Ck! Bisa kok. Malingnya aja yang lebih jago. Eh btw lo bisa bela diri juga."

"Bacot!"

Radit tersentak. "Wuis jangan kasar. Bela diri apa lo?"

Febby memutar bola matanya malas. "Taekwondo."

"Gila! Gila! keren!" Ucap Radit sembari mengacungkan dua jempolnya. Tersenyum girang seolah tak merasakan sakit pada lebam di sudut bibirnya.

"Ck! Gue waras, elo yang gila! Yaudah pulang yok."

Radit menahan tangan Febby yang baru saja akan berbalik. "Lah kan belom jadi ke tukang bakso."

"Ck! Lo luka kaya gini masih mikirin tukang bakso?! Pulang!"

Radit melongo. Kok kaya suami yang lagi kena marah ya?

# # #

Comeback!

Semoga suka❤

About YOUWhere stories live. Discover now